Ramen A Purba (Analisa/istimewa)
Analisadaily.com, Medan - Kasus bekas Kapolres Ngada, Nusa Tenggara Timur, AKBP Fajar Widyadharma Lukman, yang melakukan kekerasan seksual terhadap tiga anak, menunjukkan bahwa darurat kekerasan seksual terhadap anak masih menjadi momok besar bagi bangsa ini.
Bukti nyata betapa negara masih gagal dalam menjaga anak-anak dari predator, bahkan dari aparat penegak hukum sendiri. Pelaku yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat justru menjadi sosok yang paling berbahaya.
Demikian diungkapkan Aktivis Pemuda Gereja yang saat ini melayani sebagai Ketua MAMRE GBKP Runggun Pokok Mangga Klasis Medan Namorambe, Ramen A Purba, M.Kom, Selasa (18/3/3025).
Menurut Direktur Politeknik Unggul LP3M ini, kasus ini mengejutkan dan sangat memilukan karena pelaku tidak hanya melakukan kejahatan, tetapi juga mendistribusikan konten eksploitasi seksual anak di dark web.
"Kejahatan terhadap anak bukan hanya berskala lokal, tetapi juga berpotensi menjadi jaringan internasional yang sangat berbahaya.
Kekerasan seksual terhadap anak merupakan kejahatan luar biasa yang terus terjadi," ujarnya.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa negara bertanggung jawab mutlak melindungi generasi masa depan dari ancaman predator seksual. Lemahnya implementasi hukum dan minimnya tindakan preventif membuat kejahatan ini terus berulang.
"Jika Indonesia benar-benar negara beradab, maka perlindungan anak harus menjadi prioritas utama dalam sistem hukum, sosial, dan pendidikan," ungkap Mahasiswa Doktor Universitas Negeri Padang ini.
Indonesia memiliki berbagai regulasi terkait perlindungan anak. UU No 23 Tahun 2002 yang kemudian diperkuat dengan UU No 35 Tahun 2014, menambahkan pemberatan sanksi bagi pelaku kejahatan terhadap anak, serta pembentukan lembaga independen yang bertugas mengawasi kasus pelanggaran hak anak. Pada masa Presiden Joko Widodo juga telah dikeluarkan PERPPU No 1 Tahun 2016 yang disahkan menjadi UU No 17 Tahun 2016.
Regulasi ini menambahkan hukuman berat seperti pidana mati, pidana seumur hidup, hingga kebiri kimia. Ternyata tetap belum cukup untuk menekan angka kejahatan karena faktor utama penghambat perlindungan anak adalah lemahnya penegakan hukum dan sistem pengawasan yang masih buruk, ujar Pengurus Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia (PIKI) Kota Medan periode 2024-2029 ini.
Meski undang-undang diperbarui berkali-kali, kasus kekerasan seksual terhadap anak masih terus meningkat. Membuktikan bahwa regulasi tanpa implementasi yang efektif hanyalah sekadar teks hukum tanpa kekuatan yang nyata. Seperti kasus ini, Penyidik menjerat pelaku dengan UU No 12 Tahun 2022 serta UU No 1 Tahun 2024, dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda hingga Rp1 miliar. Saya pribadi menilai hukuman terlalu ringan dan tidak sebanding dengan dampak kejahatan yang dilakukan, ucap Sekretaris Umum PERMATA GBKP 2004-2006 ini.
Menurut Ramen, yang baru-baru ini dilantik sebagai Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Perkumpulan Politeknik Swasta Indonesia (PELITA) Provinsi Sumatera Utara Periode 2025-2030, di banyak negara maju, perlindungan anak menjadi prioritas utama dengan mekanisme pencegahan yang kuat, sistem pelaporan yang mudah diakses, serta hukuman yang ditegakkan tanpa pandang bulu. Di Indonesia, masih terdapat berbagai kendala yang menghambat perlindungan anak secara maksimal.
Hal tersebut menurut Ramen bahwa pertama kurangnya edukasi seksual di sekolah. Kedua, ketakutan dan stigma sosial. Ketiga yakni lemahnya sistem pengawasan dan penegakan hukum.
Menurut Ramen lagi, untuk benar-benar melindungi anak, negara tidak cukup hanya mengeluarkan regulasi atau menjatuhkan hukuman berat bagi pelaku. Ada beberapa langkah konkret yang harus dilakukan.
Pertama, pemerintah harus memasukkan pendidikan seksual dalam kurikulum sekolah, mulai dari usia dini hingga remaja. Kedua, harus ada mekanisme pelaporan, seperti hotline khusus yang dijamin kerahasiaannya serta aplikasi digital yang dapat digunakan untuk melaporkan kekerasan seksual. Ketiga, harus ada sistem evaluasi berkala dan ketat bagi pejabat yang berwenang dalam penegakan hukum.
Keempat, jika aparat penegak hukum terbukti melakukan kejahatan terhadap anak, maka hukuman yang diberikan harus lebih berat. Kelima, pemerintah harus memastikan adanya layanan rehabilitasi bagi korban kekerasan seksual. Dan keenam, negara harus memperkuat pengawasan terhadap dark web dan platform digital untuk mencegah penyebaran konten ilegal yang melibatkan anak.
Negara memiliki kewajiban mutlak untuk melindungi anak-anak dari segala bentuk kekerasan seksual. Kasus mantan Kapolres Ngada menjadi peringatan keras bahwa sistem perlindungan anak di Indonesia masih sangat lemah. Regulasi yang ada tidak akan berarti apa-apa jika implementasi di lapangan masih penuh dengan kelemahan.
Perlindungan anak harus menjadi prioritas utama. Hukuman berat bagi pelaku harus ditegakkan tanpa pandang bulu, sistem pencegahan harus diperkuat, dan negara harus memastikan bahwa anak-anak mendapatkan haknya untuk tumbuh dengan aman dan bebas dari ancaman kekerasan seksual. "Saatnya negara benar-benar melindungi anak, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan nyata demi mewujudkan Generasi Emas 2045," tutup Ramen A Purba yang merupakan juara 1 Lomba Karya Tulis Pilkada Tahun 2024 yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sumut.
(NS/BR)