Film Pengepungan di Bukit Duri, Pesan Tanpa Politik, Tapi Sarat Kritik

Film Pengepungan di Bukit Duri,  Pesan Tanpa Politik, Tapi Sarat Kritik
Film Pengepungan di Bukit Duri, Pesan Tanpa Politik, Tapi Sarat Kritik (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily.com, Medan - Sinar mata Joko Anwar tampak berbeda ketika berbicara tentang film terbarunya Pengpungan di Bukit Duri. Dalam temu media pada Senin (14/4/2025) di Medan, sang sutradara menyebut film ini sebagai karya paling spesial sepanjang kariernya. Bukan karena aspek teknis atau bintangnya, melainkan karena isu yang diangkat: kekerasan dan intoleransi yang mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

“Kalau film ini adalah film yang paling spesial sepanjang karier aku sebagai sutradara. Karena membicarakan soal negara,” ucap Joko Anwar dengan nada serius.

“Isunya sangat penting. Budaya kekerasan dan budaya intoleransi yang kini bukan hanya terjadi di kalangan orang tua, tapi juga di anak-anak muda,” tambahnya.

Film ini hadir bukan sekadar tontonan, melainkan juga peringatan. Menurut Joko, Indonesia saat ini tengah berada di titik krusial. Pendidikan sebagai pondasi karakter bangsa semakin terpinggirkan, meski sempat digadang-gadang menjadi prioritas dengan alokasi 7% dari APBN. Namun, Joko menilai itu belum cukup. “Harusnya bukan dibandingkan dengan APBN, tapi dengan GDP. Dan Januari 2025, pendidikan malah diturunkan jadi prioritas pendukung. Itu yang bikin gelisah,” katanya.

Dengan latar waktu dua tahun ke depan, yakni 2027, film ini mencoba memproyeksikan kondisi Indonesia jika masalah kekerasan, pendidikan, dan intoleransi tidak segera ditangani. “Kalau kita tidak menempatkan pendidikan sebagai prioritas, kita akan semakin terpuruk,” ujar Joko.

Ia menggambarkan kondisi yang sudah nyata: murid memukuli guru, geng motor yang memaksa anggotanya melukai orang sebagai syarat masuk, hingga masyarakat yang tak lagi peduli hukum.

Menariknya, Film Pengepungan di Bukit Duri menjadi kolaborasi pertama antara rumah produksi Indonesia, Come and See Pictures, dan studio legendaris Amazon MGM Studios diAsia Tenggara. Dengan sinematografi dan produksi desain kelas dunia, film ini menciptakan versifiksi Indonesia di masa depan yang mencekam dan terasa nyata — kacau, penuh ketakutan, namun tetap memancarkan harapan.

Film ini dibintangi oleh Morgan Oey, Omara Esteghlal, Hana Pitrashata Malasan, Endy Arfian, Fatih Unru, Satine Zaneta, Dewa Dayana, Florian Rutters, Faris Fadjar Munggaran, Sandy Pradana, Raihan Khan, Farandika, Millo Taslim, Sheila Kusnadi, Shindy Huang, Kiki Narendra, Lia Lukman, Emir Mahira, Bima Azriel, Natalius Chendana, dan Landung Simatupang.

Morgan Oey, yang memerankan Edwin dalam film ini, menyebut naskah karya Joko Anwar—yang ditulis sejak 2007—masih sangat relevan. “Pas syuting dan sampai sekarang, kita sadar masalah ini makin menjadi-jadi,” ujar Morgan.

Ia mengaku merasa terhormat bisa mewakili suara kelompok minoritas yang kerap dibungkam.

Morgan juga menyinggung memori kelam kerusuhan Mei 1998. “Banyak generasi muda sekarang nggak tahu. Itu bikin sedih,” katanya.

Ia berharap film ini bisa menjadi pengingat penting agar tragedi serupa tidak terulang.

Omara Esteghlal yang juga membintangi film ini menambahkan bahwa akar dari banyak kerusuhan di Indonesia adalah kebiasaan membenci tanpa alasan logis. “Sering kali kita membenci karena semua orang membenci. Tapi kita nggak pernah benar-benar tahu alasannya,” ujarnya.

Ia menyoroti bagaimana masyarakat Indonesia yang terkenal gotong royong dan solidaritas tinggi, justru sering kali abai terhadap perbedaan dan malah ikut-ikutan mayoritas.

Meski tidak menyinggung politik secara langsung, film Pengpungan di Bukit Duri menyampaikan kritik sosial yang dalam. “Ini bukan tentang pemerintah. Ini tentang rakyat. Tapi tetap jadi kritik, karena pemerintah tidak memperhatikan pendidikan,” ujar Joko.

Dengan gaya bertutur yang khas, Joko Anwar menghadirkan film yang tidak hanya menghibur, tetapi juga menggugah. Sebuah karya yang mengajak penonton merenung: apakah kita masih memiliki empati? Atau justru telah menormalisasi kekerasan dan intoleransi sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari?

(DEL)

Baca Juga

Rekomendasi