Dirasah Islamiyyah dan Universitas Islam: Konversi IAIN sebagai Keniscayaan Epistemologis dan Legalitas Pendidikan Tinggi

Dirasah Islamiyyah dan Universitas Islam: Konversi IAIN sebagai Keniscayaan Epistemologis dan Legalitas Pendidikan Tinggi
Prof. Dr. Ibrahim Siregar, M.Cl.  (Analisadaily/Istimewa)

Oleh: Prof. Dr. Ibrahim Siregar, M.Cl.

TRANSFORMASI kelembagaan dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) mencerminkan fase penting dalam sejarah pendidikan Islam Indonesia. Gagasan ini berakar pada kebutuhan epistemologis terhadap Dir?sah Isl?miyyah, yaitu studi Islam berbasis pendekatan integratif, interkonektif, dan holistik—yang tidak semata tekstual dan normatif, melainkan juga kontekstual dan multidisipliner.

Di sisi lain, dari aspek legalitas, bentuk kelembagaan seperti Sekolah Tinggi dan Institut tidak lagi memadai dalam struktur regulasi nasional. Pasal 60 UU No. 12 Tahun 2012 menegaskan bahwa penyelenggaraan berbagai rumpun keilmuan hanya dapat dilakukan oleh lembaga berbentuk Universitas. Maka, konversi IAIN menjadi UIN adalah keniscayaan—baik dari segi ilmiah maupun hukum.

1. Perkembangan Epistemologi Pembelajaran Islam: Dari Ulum al-Din ke Dir?sah Isl?miyyah

Model pembelajaran Islam mengalami evolusi historis yang kompleks:

  • ‘Ul?m al-D?n menekankan tafaqquh fi al-d?n melalui studi ilmu-ilmu keislaman klasik seperti tafsir, hadis, fikih, kalam, dan tasawuf. Pendekatan ini bersifat tekstual dan normatif.
  • al-Fikr al-Isl?m? memperkenalkan pendekatan reflektif dan filosofis terhadap ajaran Islam, membuka ruang bagi dialog antara teks dan konteks, serta integrasi antara wahyu dan akal.
  • Dir?sah Isl?miyyah adalah puncak evolusi ini, yang menempatkan studi Islam dalam kerangka interdisipliner dan transdisipliner. Studi Islam tidak hanya berdiri sendiri, tetapi bersentuhan dengan ilmu sosial, humaniora, sains, teknologi, dan lingkungan. Ini adalah bentuk tafaqquh fi al-d?n wa al-kaun wa al-ins?n.
Transformasi dari IAIN ke UIN pada dasarnya mencerminkan peralihan paradigma ini: dari sistem pendidikan normatif menuju sistem pendidikan Islam yang integratif dan progresif.

2. Universitas Islam: Wadah Epistemologi Integratif

Dir?sah Isl?miyyah menuntut kehadiran ekosistem keilmuan yang tidak sekadar religius, tetapi juga rasional, empirik, dan multidisipliner. Karena itu, hanya lembaga berbentuk universitas yang secara struktural dan legal mampu mewadahinya. Konversi IAIN menjadi UIN tidak hanya perubahan nomenklatur administratif, melainkan representasi dari transformasi epistemologis pendidikan tinggi Islam, menuju integrasi ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu modern.

Dalam konteks ini, UIN hadir sebagai lokomotif peradaban Islam baru: mengakar pada tradisi, berpijak pada realitas, dan bergerak ke masa depan.

3. Model Pendidikan Tinggi Islam di Indonesia

Untuk memahami posisi strategis UIN, berikut klasifikasi model pendidikan tinggi Islam:
1. Ma’had ‘Ali – Berbasis pesantren, fokus pada penguasaan ‘Ul?m al-D?n.
2. Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) – Menyelenggarakan satu atau dua prodi rumpun keislaman.
3. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) – Mengelola beberapa fakultas keislaman dengan cakupan terbatas pada ilmu umum.
4. Universitas Islam Negeri (UIN) – Institusi paling komprehensif, menyatukan ilmu agama dan umum dalam kerangka ulul alb?b.

4. Sejarah Konversi IAIN ke UIN: Tiga Gelombang Transformasi

Gelombang Pertama (2002–2006):
• UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Keppres No. 031/2002)
• UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2003)
• UIN Maulana Malik Ibrahim Malang (2004)
• UIN Sultan Syarif Kasim Riau (2005)

Gelombang Kedua (2013–2017):
• UIN Ar-Raniry Banda Aceh, UIN Sunan Ampel Surabaya, UIN Sumatera Utara Medan, dll.

Gelombang Ketiga (2021–2022):
• Termasuk UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, UIN K.H. Achmad Siddiq Jember, dan UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan (Perpres No. 87/2022).
• Hingga 2022, tercatat 29 UIN telah berdiri di seluruh Indonesia.

5. Ma’had Jami'ah: Basis Pembentukan Kompetensi Dasar Integratif (Kep.Dirjen Pendis No.1519 Tahun 2021)

Dalam semangat penguatan Dir?sah Isl?miyyah, beberapa UIN seperti UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dan UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan mengembangkan Ma’had J?mi‘ah sebagai platform pembentukan kompetensi dasar mahasiswa. Mahasiswa semester pertama hingga kedua diwajibkan tinggal di asrama ma’had dan mengikuti pembinaan intensif meliputi:

  • Penguatan baca-tulis Al-Qur’an (tahsin dan tahfiz),
  • Moderasi Beragama,
  • Penguasaan dasar bahasa Arab dan bahasa Inggris,
  • Pembinaan karakter dan etika keislaman (character building).
  • Keterampilan ini menjadi prasyarat menuju studi Islam yang lebih mendalam dalam bentuk Dir?sah Isl?miyyah—karena penguasaan bahasa adalah jembatan epistemologis menuju integrasi wahyu dan akal.
6. Menuju Visi Pendidikan Islam Ulul Alb?b: Paradigma Teo-Antropo-Eko-Sentris

Transformasi IAIN menjadi UIN bukan semata soal struktur, melainkan misi besar mencetak generasi ulul alb?b—yakni manusia rabbani (QS Ali ‘Imran: 79 dan 146) yang menjadikan wahyu dan akal sebagai fondasi berpikir dan bertindak. Dalam konteks ini, UIN Syahada Padangsidimpuan menegaskan paradigma keilmuannya dalam tiga fondasi: al-Il?hiyyah (wahyu), al-Ins?niyyah (kemanusiaan), dan al-Kauniyyah/B?’ah (lingkungan). Ini adalah paradigma Teo-Antropo-Eko-sentris, yang memandang pendidikan sebagai sarana membangun kesalehan spiritual, sosial, dan ekologis secara simultan.

Penutup


Dirasah Islamiyyah menandai lahirnya fase baru dalam pendidikan tinggi Islam di Indonesia—fokus pada integrasi ilmu-ilmu wahyu dan ilmu-ilmu insaniyah secara seimbang. Konversi IAIN menjadi UIN bukan hanya keniscayaan legal, melainkan keniscayaan epistemologis dalam membangun peradaban Islam Indonesia berbasis ulul alb?b. UIN bukan sekadar universitas, tapi rumah besar transformasi ilmu, iman, dan amal bagi masa depan umat dan bangsa.

(Penulis adalah Direktur Pascasarjana UIN Syahada dan mantan Rektor IAIN Padangsidimpuan)

(DEL)

Baca Juga

Rekomendasi