
War Djamil (analisadaily/istimewa)
SABTU, 19 April 2025. Jam 12 lewat sedikit. Di meja makan bundar. Kami ber-6. Tiga redaksi media, dua dosen FISIP tepatnya dari Departemen Ilmu Komunikasi serta seorang pemilik media.
Kami sepakat. Kontrol sosial, satu dari fungsi utama pers. Khusus di Indonesia, dalam Undang Undang Nomor 40/1999 tentang Pers (= UU Pers) dijumpai pada Pasal 3 Ayat-1.
Fungsi ini memang harus dilakukan pers. Awak media, khususnya redaksi media patut memberi perhatian atas beberapa sisi. Terutama atas pelayanan publik. Kebijakan pemerintah, tak luput kebijakan di daerah yang dilakukan pemprov, pemkab, ataupun pemko.
Buka cuma itu. Penegakan demokrasi, bagian penting patut diperhatikan pihak pers. Penegakan hukum dengan fokus keadilan, persidangan di pengadilan hingga mahkamah. Sektor pendidikan, kesehatan dan hak-hak publik lainnya.
Sejumlah masukan kami utarakan saat itu. Publik menyampaikan berbagai hal. Dan, itu tadi sebagian mengatakan begini :
Pertama, sepertinya sebagian kritik pers "berlalu" begitu saja. Padahal, biasanya begitu diungkap pers, spontan masalah itu segera ditangani pihak-pihak terkait. Kini, terlihat, ada kritik pers yang akhir setelah beberapa waktu, seolah-olah memang tak ditanggapi.
Kedua, kritik tertentu. Setelah beberapa media sekaligus menyoroti dengan tajam, barulah pihak terkena sorotan merasa heboh. Kemudian mengadakan temu pers, menjelaskan masalah tersebut. Namun, banyak tanpa temu pers, tetapi ditangani serius.
Ketiga, seperti biasa, tanggapan awal melayangkan penjelasan dengan mengirim Hak Jawab kepada media, sekaligus bantahan/sanggahan. Jika berita itu masih lanjut, dan terbukti ada dugaan korupsi misalnya, pihak ini juga bungkam.
Benarkah kemungkinan dalam era digital ini, kritik pers memang mengalami penurunan ? Dari sisi kualitas dan juga kuantitas ?
Beberapa kemungkinan jawaban atas hal itu. Boleh jadi, kritik sekilas. Karena data kurang lengkap. Ya, cuma sampai di situ.
Boleh jadi, ada semacam perubahan kebijakan. Yakni, kebijakan fokus pada pemasaran untuk mendapat pemasukan terbaik, agar media tak makin anjlok. Sehingga, fokus sorotan/kritik tak mendapat skala prioritas.
Atau, urutan pertama dalam skala prioritas memang terkait "pemasukan" untuk biaya operasional dan kesinambungan hidup media yang sedang "Senin-Kamis" alias penerimaan "pas-pasan" yang kadangkala malahan minus.
Lalu kritik media siber ? Nah, di sini ada pendapat. Sebagian kritik sekilas, lalu hilang. Atau, kritik kurang lengkap data. Atau, kritik hanya untuk terjalin komunikasi. Tetapi, harus dicatat. Cukup banyak kritik media siber yang akurat.
Pendapat lain mengulas. Karena kritik media siber harus "membuka media" barulah diketahui sorotan itu, akhirnya karena kesibukan pihak-pihak, selalu kritik akurat-pun berakhir begitu saja.
Dari bincang-bincang "di meja makan bundar" itu. Mungkin ada lebih tepat jika mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi FISIP melakukan semacam penelitian. Benarkah kritik pers tak tajam seperti dulu ? Betulkah kritik media saat ini mengalami penurunan dari sisi mutu dan jumlah ?
Kemungkinan apapun dapat terjadi atas fungsi-fungsi pers di dunia sekarang. Terutama sejak internet hadir dan memasuki era digital. Perubahan nilai-nilai secara umum mungkin ada.
Dan, jika kekuatan pers di dunia saat ini mengalami perubahan, tentu sesuatu yang alami pula. Sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Teristimewa seirama teknologi terkait informasi dan komunikasi.
Saya kira : Munculnya pendapat publik tentang kritik pers tidak tajam seperti tempo hari, mungkin akibat bergesernya posisi media cetak yang semula mendominasi dari sisi pemberitaan, akurasi informasi, kelengkapan liputan, sajian iklan serta kritik murni untuk perbaikan. Kini, justru sebaliknya. Media cetak tergerus fatal dari sisi eksistensinya.
Berita kiriman dari: