Korban penyerobotan lahan, Budi Priyanto menunjukkan bukti laporan polisi usai melaporkan, MH ke Mapoldasu atas dugaan pembuat keterangan palsu, surat dan akta palsu (Analisadaily/Yogi Yuwasta)
Analisadaily.com, Medan - Diduga menggunakan akta, surat dan keterangan palsu untuk mempermainkan hukum, MH dilaporkan oleh korban penyerobotan lahan, Budi Priyanto, dan Alimin warga Medan. Laporan itu tertuang dalam Nomor: LP/B/724/V/2025/SPKT/Polda Sumut tanggal 14 Mei 2025.
"Kami datang ke Mapolda Sumut melaporkan MH atas dugaan keterangan palsu, membuat surat autentik palsu, akta palsu sesuai dengan KUHP Pasal 263 dan 266," ujar Budi Priyanto didampingi Alimin pada wartawan, Kamis (15/5).
Didampingi kuasa hukum Alfin F. Karim, SH, Ketua Marga Napitulu Medan, Kornel Napitupulu dan Ketua Solidaritas Merah Putih Medan, Deddy Mauritz Simanjuntak.
Mereka berharap pihak kepolisian cepat dan tegas dalam memberantas praktik-praktik pemalsuan dokumen dan keterangan palsu.
Disebutkan Budi Priyanto, asal usul/warkah tanah MH, pada 1953 berada di sebelah barat sungai. Namun pada 1991 dengan memberikan keterangan palsu, merubah letak bidang tanah menjadi sebelah timur sungai Selayang.
"Surat keterangan tanah (SKT) MH sudah dicabut, dibatalkan dan SKT yang sudah dinyatakan tidak dapat dijadikan bukti alas hak tanah," sejak tahun 1993 sebut Budi Priyanto
Namun menurut dia, MH dengan SKT dan akta cacat hukum masih menggunakannya untuk mempermainkan hukum dengan berbagai cara.
Alimin menceritakan, pada 2013 bersama Budi Priyanto (saksi) membeli sebidang tanah dengan luas 4,865 M2 di Jalan Sei Belutu, Kelurahan Tanjung Rejo, Kecamatan Medan Sunggal sesuai dengan Surat Sertifikat Hak Milk (SHM) No. 509, 871 dan 510.
Sedangkan asal mula objek tanah milik MH berada di Jalan Sei Sikambing A Pasar IX (tahun 1953), sesuai surat pemberian hak antara Sofjan bin Sahmo Pawiro kepada Soeratman Bin Sahmo Pawiro pada 14 Maret 1953. Baru pada 1991, objek tanah diubah dan/atau disebutkan berbatasan dengan Sei Belutu, sesuai SKT No. 591.1/9 tanggal 6 September 1991, atas nama Nurdin Sarifuddin.
"Pada 23 Mei 1993 Nurdin Sarifuddin meninggal dunia, lalu pada 1 Maret 1994 Lurah Tanjung Rejo membuat Surat Keterangan No. 593/37/1994 atas nama Nurdin Sarifuddin ( pada Hal Nurdin Sarifuddin sudah meninggal di tahun 1993) Nurdin Sarifuddin dianggap masih hidup menyatakan menguasai tanah tersebut dan tidak dalam masa silang sengketa kepada pihak manapun," katanya.
Pada 26 Maret 1994, ahli waris Nurdin Sarifuddin membuat Akta Pengoperan dan pelepasan Hak No. 30 di hadapan notaris, kepada Ferry Satmoko. Lalu, 14 Mei 1995 alm Ferry Satmoko dan MH (terlapor) menjaminkan tanah di Sei Belutu, Kelurahan Tanjung Rejo, Kecamatan Medan Sunggal dengan menggunakan SKT No. 591.1/5KT/9/1991 seluas 4.380 M2 atas nama Nurdin Sarifuddin. "Padahal surat tersebut sudah dibatalkan," tuturnya.
Ketua Marga Napitupulu Medan, Kornel Napitupulu dan Ketua Solidaritas Merah Putih Medan, Deddy Maurits Simanjuntak mengatakan pihaknya akan mengawal kasus tersebut. "Kami konsern dengan kasus-kasus berkaitan dengan perampasan tanah dan lahan, kami akan kawal kasus ini hingga selesai," sebut keduanya.
(YY/RZD)