
“Saya jual rumah, mobil, dan sawah demi bisa operasi di Penang. Di Medan, saya hanya bisa menunggu,” kata Bu R, 54 tahun, penderita kanker payudara. Ia bukan satu-satunya. Ribuan pasien asal Sumatera Utara memilih menyeberangi batas negara demi satu hal: harapan sembuh yang lebih cepat dan pasti. Tak sedikit pula yang menjual aset demi satu tes penentu: PET-CT scan. Teknologi krusial ini belum tersedia merata di rumah sakit dalam negeri. “Saya tahu kanker harus dilawan sejak dini, tapi bagaimana bisa jika untuk tahu pasti saja antre berbulan-bulan?” keluh Pak J, pensiunan guru yang terbang ke Malaysia hanya untuk diagnosis awal.
Pada tahun 2024, saya bersama tim Universitas Gadjah Mada berkesempatan mengunjungi fasilitas pabrikasi PET-CT dan cyclotron di Melbourne, Australia. Kunjungan itu menyadarkan saya bahwa teknologi ini bukan sesuatu yang mustahil diadopsi di Sumatera Utara. Tapi pertanyaannya tinggal satu: mau dibangun di rumah sakit dengan bunker khusus, di kawasan industri, atau cukup mengandalkan pasokan bahan radioaktif dari luar negeri?Masalah utamanya justru bukan pada teknologi, tetapi pada koordinasi. Kita belum duduk bersama sebagai satu sistem. Inisiatif menghadirkan teknologi ini kerap berjalan sendiri-sendiri, terjebak dalam ego sektoral dan persaingan antar rumah sakit, bukan diarahkan untuk kepentingan publik secara luas. Akibatnya, investasi tidak efisien, inovasi mandek, dan harga layanan tetap mahal.
Padahal, bahan radioaktif dari satu cyclotron bisa dimanfaatkan oleh beberapa rumah sakit sekaligus. Jika rumah sakit-rumah sakit di Medan bersedia bekerja sama dalam sistem berbagi pakai, maka biaya operasional dapat ditekan, dan harga layanan seperti PET-CT bisa jauh lebih terjangkau. Ini bukan hanya akan menyaingi layanan luar negeri, tapi juga mengembalikan kepercayaan pasien untuk berobat di rumah sendiri.Sayangnya, selama rumah sakit sibuk membangun benteng sendiri-sendiri dan tidak membentuk jejaring kolaboratif, harga tetap tidak bersaing dan pasien tetap memilih terbang ke negeri orang. Dalam urusan hidup dan mati, semestinya bukan soal siapa yang lebih unggul, tetapi siapa yang lebih peduli.
Mengapa rumah sendiri tak cukup memberi harapan sembuh?Laporan Global Cancer Observatory (GLOBOCAN) 2020 mencatat lebih dari 396.000 kasus baru kanker dan 234.000 kematian di Indonesia setiap tahunnya. Sumatera Utara termasuk lima besar provinsi dengan beban kanker tertinggi di luar Jawa (Kemenkes RI, 2022). Sayangnya, hanya sedikit rumah sakit di provinsi ini yang memiliki layanan onkologi terpadu dengan tenaga spesialis, teknologi mutakhir, dan sistem layanan yang efisien.
Menurut model akses layanan kesehatan Levesque et al. (2013), akses tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan layanan semata, tetapi juga oleh kemampuan individu dalam merasakan kebutuhan, mencari, mencapai, membayar, dan terlibat dalam proses layanan kesehatan. Di sisi penyedia, layanan harus dapat diakses secara fisik, terjangkau secara ekonomi, dan diterima secara sosial dan budaya. Ketimpangan dalam salah satu aspek ini dapat menghambat pasien mendapatkan layanan yang layak.Sayangnya, banyak rumah sakit di Sumatera Utara belum mampu memenuhi berbagai aspek ini. Kekurangan dokter onkologi, antrean radioterapi yang bisa mencapai berbulan-bulan, serta teknologi diagnostik seperti PET-CT scan yang hanya tersedia di rumah sakit besar dan mahal menjadi hambatan nyata.
Rencana Kanker Nasional 2024–2034 secara tegas menyoroti masalah ini. Laporan tersebut menyatakan bahwa akses terhadap deteksi dini dan diagnosis kanker di Indonesia masih sangat terbatas. Sebagian besar pemeriksaan imunohistokimia (IHK), PET-CT, dan biomarker molekuler hanya tersedia di pusat kanker nasional atau rumah sakit swasta di kota-kota besar. Bahkan, hanya 32% fasilitas layanan kesehatan tingkat rujukan yang memiliki layanan kanker dasar, dan kurang dari 5% yang memiliki peralatan lanjutan seperti LINAC atau PET-CT. Dengan kata lain, meskipun kebutuhan layanan kanker meningkat tajam, sistem kita masih kesulitan menjangkau pasien dari sisi kemampuan dan ketersediaan layanan. Model Levesque menegaskan bahwa tanpa mengatasi hambatan di kedua sisi penyedia dan pasien akses yang bermakna tidak akan pernah tercapai.
Penelitian Mahendradhata et al. (2017) dalam The Lancet Global Health menyebutkan bahwa kesenjangan akses dan mutu layanan di Indonesia merupakan penyebab utama meningkatnya penyakit katastropik, termasuk kanker. Pasien yang mampu secara ekonomi lebih memilih berobat ke luar negeri, bukan karena layanan lebih mewah, melainkan karena di sana mereka mendapat kepastian dan kecepatan yang tidak ditemukan di dalam negeri.Bagi pasien kanker di Sumut, pilihan bertahan atau berobat ke luar negeri bukan sekadar keluhan, melainkan keputusan hidup. Rumah sakit tampak megah, tapi banyak yang belum lengkap. Teknologi seperti PET-CT scan, LINAC, dan layanan imunohistokimia (IHK) sangat terbatas. Bahkan untuk diagnosis awal pun, pasien harus menghadapi antrean dan ketidakpastian.
Rencana Kanker Nasional juga mengungkap bahwa angka pemanfaatan layanan skrining kanker di Indonesia masih sangat rendah, hanya 10–20% dari target populasi yang disasar—jauh dari ideal. Akibatnya, lebih dari 70% kasus kanker terdiagnosis sudah pada stadium lanjut, ketika biaya pengobatan jauh lebih tinggi dan peluang kesembuhan menurun drastis .Ketimpangan ini berdampak langsung pada angka harapan hidup. Studi CONCORD-2 menunjukkan angka kesintasan lima tahun untuk kanker paru di Indonesia hanya 6%, jauh di bawah rata-rata negara Asia yang mencapai 15% atau lebih. Maka tidak mengherankan jika banyak pasien lebih percaya berobat ke luar negeri—meski harus menjual aset pribadi.
Lebih menyedihkan, 79% pasien kanker peserta JKN tetap mengalami toksisitas finansial beban ekonomi berat yang membuat mereka kesulitan memenuhi kebutuhan dasar seperti listrik, perumahan, dan transportasi. Ini terjadi karena tidak semua terapi dan pemeriksaan lanjutan ditanggung JKN. Pasien harus membayar mahal untuk hasil pengobatan yang lebih baik.Akhirnya, di tengah janji layanan kesehatan universal, sistem yang belum siap membuat rumah sendiri terasa asing bagi mereka yang ingin sembuh. Bagi banyak pasien, lebih baik menjual rumah dan terbang ke negeri orang daripada menunggu tanpa kepastian di negeri sendiri.
Peta Masalah Layanan Kanker di Sumatera Utara
Kasus kanker di Sumatera Utara terus mengalami peningkatan yang mengkhawatirkan. Berdasarkan data dari YLKI Sumatera Utara (2024), pada tahun 2022 tercatat sebanyak 3.206 kasus kanker, dan meningkat drastis menjadi 5.037 kasus pada tahun 2023. Peningkatan ini bukan hanya angka statistik, tapi mencerminkan tekanan berat yang kini ditanggung oleh fasilitas layanan kesehatan di wilayah tersebut.
Sayangnya, lonjakan jumlah pasien tidak dibarengi dengan kesiapan kapasitas layanan rumah sakit. Hanya segelintir rumah sakit di Sumut yang mampu memberikan layanan onkologi secara komprehensif, yaitu layanan yang mencakup diagnosis melalui patologi anatomi dan imunohistokimia (IHK), terapi kemoterapi dan radioterapi, serta tindakan pembedahan oleh ahli bedah onkologi. Rumah sakit seperti RSUP H. Adam Malik dan RS Murni Teguh di Medan memang telah menjadi pusat rujukan utama, tetapi beban pasien sangat tinggi. RSUP Adam Malik sendiri mencatat lebih dari 67 ribu kunjungan pasien kanker per tahun, sedangkan RS Murni Teguh harus melayani 150 pasien radioterapi dan 30–70 pasien kemoterapi setiap harinya.
Faktanya, belum semua kabupaten/kota di Sumut memiliki rumah sakit yang mampu memberikan layanan bedah onkologi, apalagi radioterapi. PET-CT scan, yang penting untuk penentuan stadium dan evaluasi pengobatan kanker, hanya tersedia di rumah sakit swasta besar dan dengan biaya yang tinggi. Bahkan di tingkat rumah sakit pemerintah, banyak pasien masih harus antre berbulan-bulan untuk menjalani radioterapi karena jumlah alat dan tenaga medis yang sangat terbatas.
Permasalahan utama lainnya adalah minimnya jumlah tenaga medis spesialis kanker. Berdasarkan data terbaru (2024), Sumatera Utara hanya memiliki 9 dokter spesialis onkologi radiasi. Jumlah dokter bedah onkologi, onkologi medik, dan spesialis patologi anatomi juga sangat terbatas, tidak sebanding dengan populasi provinsi yang mencapai lebih dari 12 juta jiwa. Kekosongan ini menyebabkan banyak pasien harus menunggu lama untuk diagnosis dan pengobatan, yang tentu berdampak langsung terhadap prognosis penyakit mereka.
Akibat dari seluruh keterbatasan ini, pasien kanker di Sumut sering kali harus dirujuk ke luar daerah seperti Jakarta atau bahkan memilih berobat ke luar negeri seperti ke Penang dan Kuala Lumpur. Mereka rela mengorbankan harta benda demi akses terhadap teknologi medis yang lebih maju dan pelayanan yang lebih cepat dan pasti. Ketergantungan ini bukan hanya mencerminkan ketimpangan sistem, tetapi juga memperlihatkan hilangnya kepercayaan terhadap layanan kesehatan lokal.
Sementara pemerintah pusat telah mulai berupaya memperbaiki situasi seperti dengan membangun pusat kanker terpadu delapan lantai di RSUP H. Adam Malik dan mengembangkan RS Haji Medan menjadi rumah sakit rujukan kanker untuk kawasan timur sumatera yang prosesnya masih berlangsung dan belum menyentuh akar persoalan di daerah-daerah pinggiran Sumut. Dengan demikian, peta masalah kanker di Sumatera Utara menunjukkan bahwa sistem layanan masih tertumpu pada sedikit titik rujukan, SDM spesialis yang terbatas, serta akses layanan diagnosis dan terapi yang timpang. Tanpa intervensi sistemik dan pemerataan sumber daya, beban kanker akan terus membengkak, dan rumah sendiri akan tetap terasa jauh dari harapan sembuh bagi sebagian besar pasien.
Investasi Alkes, Tapi SDM TertinggalPemerintah pusat melalui Kementerian Kesehatan terus menunjukkan komitmennya dalam memperkuat layanan kanker di daerah. Salah satu langkah konkret adalah penyaluran alat kesehatan (alkes) berteknologi tinggi ke berbagai rumah sakit daerah. Beberapa RSUD di Sumatera Utara, seperti RS Haji Medan dan RSUD dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar, telah menerima bantuan berupa alat radioterapi, mesin kemoterapi, hingga digital pathology system sebuah inovasi yang memungkinkan analisis jaringan kanker dilakukan lebih cepat dan akurat.
Namun, seperti pepatah lama: “teknologi tanpa manusia hanyalah mesin tak bernyawa.” Sayangnya, tidak semua rumah sakit penerima bantuan siap mengoperasikan alat tersebut. Masalah klasik kembali muncul: minimnya sumber daya manusia (SDM) yang kompeten. Di banyak RSUD, belum tersedia dokter spesialis onkologi medik, radioterapis, ahli patologi anatomi, apalagi teknolog medis yang terlatih mengoperasikan perangkat canggih tersebut.
Hal ini menimbulkan ironi. Di satu sisi, negara telah berinvestasi besar dalam alat kesehatan. Di sisi lain, rumah sakit masih terpaku karena tidak ada “pengemudi” yang siap menjalankan mesin-mesin canggih itu. Ketiadaan jejaring rujukan regional dan sistem pelatihan terpadu memperparah keadaan rumah sakit yang menerima alat tidak bisa memanfaatkannya secara maksimal, sementara rumah sakit lain yang memiliki SDM justru tidak kebagian fasilitas.
Situasi ini mirip dengan memberi mobil mewah kepada sebuah desa yang belum memiliki sopir, belum memiliki jalan beraspal, dan bahkan belum ada bahan bakarnya. Alat tersedia, tetapi tetap tak bergerak. Bagi pasien, ini berarti penantian yang lebih panjang dan harapan yang tertunda.Tanpa perencanaan SDM yang terintegrasi dan penguatan jejaring rujukan antar wilayah, investasi alkes hanya akan menjadi etalase diam di ruang steril. Sementara pasien yang tak punya waktu untuk menungguakan terus melirik ke luar negeri, di mana harapan seolah terasa lebih nyata.
Mengapa Pasien Lebih Memilih Luar Negeri?Setiap tahun, ribuan pasien dari Sumatera Utara dan provinsi lain di Indonesia memilih berobat ke luar negeri khususnya ke Penang, Kuala Lumpur, dan Singapura. Pilihan ini bukan sekadar soal “gengsi” atau layanan mewah. Ia lahir dari kebutuhan mendesak: mendapatkan kepastian, kecepatan, dan ketenangan hati dalam menghadapi penyakit yang mengancam hidup. Banyak pasien dan keluarga percaya bahwa rumah sakit di luar negeri lebih cepat memberikan diagnosis, lebih pasti dalam penanganan, dan lebih manusiawi dalam perlakuan. Mereka menceritakan pengalaman hanya menunggu 2–3 hari untuk PET-CT scan atau operasi besar di Penang, sementara di rumah sendiri bisa menunggu hingga berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan.
Di sisi lain, realitas layanan dalam negeri masih jauh dari ideal. Antrean panjang, birokrasi berbelit dalam sistem rujukan BPJS, dan keterbatasan layanan pendukung seperti perawatan paliatif dan dukungan psikososial membuat proses pengobatan terasa menegangkan dan melelahkan. Pasien tidak hanya menghadapi kanker, tetapi juga menghadapi sistem yang membuat mereka merasa semakin kecil. Biaya tinggi di luar negeri pun bukan lagi penghalang utama. Saat harapan hidup dipertaruhkan, banyak pasien berkata, "Lebih baik menjual rumah dan sembuh, daripada menunggu dalam ketidakpastian." Keputusan ini adalah bentuk perlawanan terhadap sistem yang belum memberi rasa aman bahwa hidup mereka dihargai dan ditangani dengan sepenuh hati.
Kondisi ini menjadi alarm keras bagi sistem kesehatan nasional. Jika rumah sendiri tak mampu memberi harapan, maka kepergian pasien ke negeri orang bukan sekadar pilihan rasional, tapi refleksi dari rasa kehilangan kepercayaan. Dan mengembalikan kepercayaan itu adalah pekerjaan rumah terbesar kita bersama.
Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah dan Rumah Sakit?
Kanker bukan hanya persoalan medis,ia adalah krisis sistem, sumber daya, dan harapan. Oleh karena itu, menjawab tantangan kanker di Sumatera Utara tidak cukup dengan membangun gedung baru atau membeli alat canggih. Dibutuhkan strategi menyeluruh dan berkelanjutan yang berakar pada manusia, sistem, dan nilai kemanusiaan.
Pertama, pemerintah perlu merancang perencanaan SDM onkologi yang terintegrasi dan berjangka panjang. Ketersediaan dokter spesialis seperti Sp.B(K) Onkologi, onkologi medik, radioterapis, hingga ahli patologi anatomi harus menjadi prioritas dalam pembangunan kesehatan daerah. Ini bisa diwujudkan melalui kerja sama yang erat antara Dinas Kesehatan dan fakultas kedokteran, pemberian beasiswa ikatan dinas, dan program percepatan pendidikan spesialis yang disesuaikan dengan kebutuhan rumah sakit daerah.
Kedua, Sumatera Utara memerlukan pusat kanker regional yang tidak hanya menjadi rumah sakit rujukan, tetapi juga pusat pelatihan, riset, dan inovasi layanan kanker untuk kawasan barat Indonesia. Gedung pusat onkologi delapan lantai yang sedang dibangun di RSUP H. Adam Malik adalah langkah awal yang penting, namun perlu diperkuat dengan sistem rujukan yang terstruktur dan pembagian peran antar rumah sakit di kabupaten/kota.
Ketiga, kemitraan internasional harus dioptimalkan, baik melalui kerja sama pelatihan SDM, transfer pengetahuan, hingga layanan telemedicine onkologi. Rumah sakit di Medan bisa menjalin kolaborasi strategis dengan pusat kanker di Penang, Bangkok, atau bahkan Australia, guna mempercepat alih teknologi dan membangun kepercayaan pasien terhadap layanan lokal.
Terakhir, yang tak kalah penting adalah pendekatan holistik terhadap pasien kanker. Layanan tidak boleh berhenti di meja kemoterapi atau ruang operasi. Pasien butuh dukungan psikologis, layanan paliatif yang bermartabat, serta navigasi layanan yang membantu mereka memahami dan melewati proses pengobatan dengan lebih tenang. Rumah sakit harus menjadi ruang penyembuhan, bukan tempat pasien merasa tersesat atau kehilangan arah. Karena sejatinya, penanganan kanker adalah tentang menyelamatkan harapan, dan harapan itu hanya bisa hidup jika sistem dibangun dengan empati, strategi, dan keberpihakan yang nyata.
Penutup: Harapan yang Harus Dihidupkan“Saya ingin sembuh di negeri sendiri, dekat keluarga, tanpa harus menjual rumah atau meninggalkan anak. Tapi kadang, saya merasa seperti bukan prioritas.”
Ibu Y, pasien kanker payudara dari Padang Lawas Utara.
Suara seperti ini bukanlah satu-satunya. Di balik angka-angka statistik dan rencana pembangunan, ada ribuan pasien yang berharap bisa sembuh tanpa harus meninggalkan tanah kelahiran mereka. Mereka tidak menuntut kemewahan, hanya ingin dipulihkan dengan martabat, di rumah sendiri, bersama orang-orang yang mereka cintai.
Sudah saatnya kita menyadari bahwa negara hadir bukan hanya lewat alat canggih dan bangunan besar, tapi juga melalui sistem yang berpihak dan hati yang benar-benar peduli. Perjuangan melawan kanker terlalu berat jika harus dilalui sendirian, apalagi dalam sistem yang belum siap menopang langkah mereka. Karena pada akhirnya, pasien tak semestinya memilih antara bertahan dalam antrean atau terbang mencari harapan. Yang mereka butuhkan bukan sekadar layanan, melainkan kepastian bahwa harapan bisa tumbuhdi tempat yang mereka sebut rumah.