
Resistensi AMR Jadi Ancaman dalam Dunia Kesehatan, Penggunaan Antibiotik Harus Tepat (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Medan - Ancaman Resistensi antimikroba (AMR) diharapkan bisa menjadi perhatian bersama baik dari dunia medis, pemerintah, maupun perorangan. Pasalnya, jika tak diantisipasi, resistensi antimikroba bisa memicu masalah dalam dunia kesehatan. AMR bisa terjadi disebabkan penggunaan antibiotik yang tidak tepat. Akibatnya, sejumlah bakteri menjadi resisten (kebal). Sehingga ketika seseorang terinfeksi bakteri itu, tidak dapat lagi disembuhkan dengan antibiotik.
Sebab, penggunaan antibiotik secara sembarangan akan memicu resistensi atau kekebalan bakteri terhadap antibiotik. “Ketika bakteri menjadi resisten terhadap antibiotik, maka kedepannya bakteri ini akan menjadi kebal dan tidak akan mati oleh antibiotik. Ini adalah ancaman nyata dalam dunia kesehatan,” kata dr Harry Parathon saat berbicara pada “Seminar Jurnalisme Sains untuk Mitigasi Resistensi Antimikroba” yang digelar oleh AJI Medan belum lama ini di Hotel Four Points, Medan. Dijelaskannya, penggunaan antibiotik memiliki tujuan untuk membunuh bakteri yang berpotensi menginfeksi tubuh makhluk hidup baik hewan maupun manusia. Akan tetapi, tidak semua penyakit membutuhkan antibiotik dalam penyembuhannya. “Tidak semua penanganan medis ataupun penyembuhan penyakit harus menggunakan antibiotik. Dan jika harus menggunakannya, maka dokter yang meresepkannya sesuai takaran agar tepat sasaran,” ujarnya. Akan tetapi, tingkat pengetahuan di masyarakat terkait penggunaan antibiotik yang rendah, membuat antibiotik sering digunakan tanpa resep dari dokter. Hal ini membuat antibiotik tersebut memicu resistensi atau kekebalan bakteri terhadap anti biotik. “Dari hasil penelitian di Indonesia, tingkat penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan kebutuhan masih sangat tinggi. Termasuk pada penyakit yang seharusnya tidak membutuhkan antibiotik. Ini yang perlu keterlibatan dari semua pihak untuk menyadarkan masyarakat, bahwa jika bakteri menjadi kebal, maka penyakit-penyakit infeksi akan sulit disembuhkan dan bisa berakibat pada kematian,” pungkasnya. Data yang disampaikan, kekebalan bakteri menjadi ancaman kesehatan manusia dan hewan. Hal ini berdampak pada mata pencaharian manusia terkait keamanan pangan. Pada tahun 2019 lalu jumlah kematian akibat kekebalan bakteri sudah mencapai hampir 5 juta. Jumlah ini 3 kali lebih banyak dari total kematian yang berasosiasi dengan diabetes atau kanker paru-paru. Sementara itu, Ketua AJI Medan Tonggo Simangunsong dalam paparannya, mengajak jurnalis melirik sains sebagai fokus liputannya. Menurut Tonggo, topik ini sangat penting dan penuh tantangan. Topik ini, sebut Tonggo akan terus berkembang di masa mendatang. "Memang ada tantangan. Karena liputan sains memerlukan data dan narasumber yang banyak. Peliputannya tidak sekadar straight news tapi lebih mendalam," kata Tonggo. Diceritakannya, saat awal-awal pandemi covid-19 misalnya, jurnalis saat itu hanya menerima informasi dari satu pintu. Dari pengalaman itu, kata Tonggo, ke depannya sains harus menjadi daya tarik bagi jurnalis(WITA/WITA)