Pelestarian Tari Melayu, Merawat Identitas di Tengah Modernitas

Pelestarian Tari Melayu, Merawat Identitas di Tengah Modernitas
Pelestarian Tari Melayu, Merawat Identitas di Tengah Modernitas (Analisadaily/irin juwita)

Analisadaily.com, Medan - Sorak sorai, tepuk tangan dan lantunan musik Melayu menggema di Pelataran Istana Maimun, Medan, Rabu (21/5/2025) malam. Alunan irama beradu dengan suara hujan, tak menghilangkan senyum dalam hentakan kaki dan gerak tangan anak muda dalam balutan pakaian tradisional.

Malam itu, ratusan muda-mudi dari 29 delegasi daerah di Indonesia dan luar negeri, Malaysia Singapura, Thailand, hingga India tetap menari dalam parade di pembukaan Festival Gelar Melayu Serumpun (Gemes) 2025.

Gemes ke-8 ini bukan sekadar perayaan budaya pertunjukan seni, tapi juga napas identitas. Melayu tak hilang ditelan zaman. Ciri khas dalam balutan pakaian tradisional, kuliner, serta tarian masih berdenyut di tengah modernitas.

“Melayu bukan hanya soal etnis. Ia hidup dalam pantun, syair, gurindam, zapin, dan adat,” kata Wali Kota Medan, Rico Tri Putra Bayu Waas.

Tarian Sebagai Identitas, Bukan Sekadar Hiburan

Bagi para peserta dan penikmat, tarian Melayu bukan sekadar hiburan panggung. Ia adalah simbol identitas, warisan nilai, dan filosofi hidup. Hal itu ditekankan oleh Sultan Deli XIV, Sultan Mahmud Arya Lamantjiji Perkasa Alam Shah.

“Menari adalah identitas kita. Bukan sekadar joget tanpa makna, tapi ada nilai moral, sosial, dan religius di setiap gerakannya,” tegas Sultan yang turut hadir malam itu.

Komitmen untuk melestarikan budaya Melayu, terutama dalam bentuk tari-tarian, juga digaungkan melalui berbagai cara, mulai dari penampilan di festival hingga promosi di berbagai kegiatan resmi, baik pemerintah maupun swasta.

Bertarung dengan Dance Challenge Digital

Namun, menjaga eksistensi budaya Melayu bukan perkara mudah. Di tengah serbuan budaya populer, dari K-pop hingga dance challenge digital, tarian Melayu menghadapi tantangan besar untuk tetap relevan di mata generasi muda.

Muhdi Kurnia, seorang penggiat budaya sekaligus penulis buku Tari Tradisi Melayu: Eksistensi dan Revitalisasi Seni, melihat tarian Melayu perlu mengalami transformasi.

“Tantangan terbesarnya adalah budaya populer yang serba cepat dan viral. Tapi ini bukan soal warisan yang ketinggalan zaman, melainkan soal cara kita menyampaikannya,” ungkap Muhdi.

Ia mendorong agar tari Melayu dikemas lebih kekinian, melalui platform digital seperti TikTok dan Instagram, lewat remix musik tradisional, kolaborasi fashion, atau tantangan tari yang mengangkat unsur budaya.

Rebranding ini, menurutnya, bukan berarti kehilangan makna, justru memperluas jangkauan dan daya tariknya. “Kalau anak muda melihat budaya ini keren, mereka tidak akan ragu untuk ikut merayakannya,” tegasnya.

Panggung Sekolah hingga , dari Lobi Hotel ke Dunia Maya

Di balik semangat pelestarian itu, Dinas Pariwisata Kota Medan turut mengambil peran strategis. Bersama Dinas Pendidikan dan pelaku industri perhotelan, pemerintah kota punya upaya ingin membangun ekosistem budaya yang hidup dan berkelanjutan.

“Kami ingin budaya Melayu semakin dikenal dan dicintai, terutama oleh generasi muda,” kata Kepala Dinas Pariwisata Medan, Odi Anggia Batubara.

Bersama dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan akan bekerja sama akan melestarikan tarian Melayu. Melalui pembinaan sanggar tari di sekolah, sosialisasi wisata budaya, hingga menyulap lobi hotel menjadi panggung mini tradisi, tarian Melayu kembali hadir di ruang-ruang publik. Tidak hanya di pentas, tapi juga di kelas, bahkan di hadapan tamu-tamu internasional.

Tarian Melayu pun tidak lagi berdiri sendiri sebagai tontonan seremoni, melainkan menjadi bagian dari denyut kehidupan Kota Medan.

Jangan Lupakan

Muhdi percaya, pelestarian budaya tak cukup hanya dengan pesan “jangan lupakan”. Anak muda, katanya, butuh alasan untuk merasa terhubung dan bangga.

“Kalau kita bilang kamu bisa mengekspresikan diri lewat budaya ini, mereka akan datang dengan sendirinya,” katanya penuh optimisme.

Dalam pendidikan formal, menurut Kurnia, sering kali terlalu normatif dan kurang memberi ruang eksplorasi. “Seringkali tari hanya diajarkan untuk nilai, bukan untuk dinikmati,” katanya. Ia menyarankan agar kurikulum memberi tempat bagi kreativitas dan pengalaman, bukan sekadar hafalan gerakan.

Sementara itu, komunitas budaya dan sanggar seni menjadi tempat subur bagi regenerasi. “Komunitas bisa lebih fleksibel. Mereka bisa bikin konten bareng, kolaborasi lintas bidang, atau tampil di festival. Anak muda belajar sambil berkreasi,” tambahnya. *

Penulis:  Irin Juwita
Editor:  Adelina Savitri Lubis

Baca Juga

Rekomendasi