STEM dan Masa Depan Bangsa: Saatnya Guru Bergerak Bersama (Analisadaily/Istimewa)
Oleh: Claresta Vega Audrey
Analisadaily.com, Batubara - Di tengah tuntutan zaman yang serba cepat dan berbasis teknologi, pendidikan STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) menjadi salah satu kunci penting untuk menyiapkan generasi unggul yang mampu berpikir kritis, kreatif, dan adaptif. Karena itu, langkah pemerintah menjadikan pendidikan STEM sebagai program prioritas nasional perlu kita sambut dengan serius, terutama oleh para guru sebagai ujung tombak perubahan.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menyatakan bahwa pendidikan STEM menjadi salah satu program prioritas nasional untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Sebagai langkah awal, pendidikan matematika akan diperkuat di tingkat sekolah dasar karena bidang studi tersebut merupakan fondasi STEM.
Namun, menjadikan STEM sebagai bagian dari ekosistem pendidikan Indonesia bukanlah tugas yang mudah. Ia memerlukan kolaborasi lintas sektor, kurikulum yang fleksibel, dan peningkatan profesionalisme guru secara menyeluruh.
Ketertinggalan yang Perlu Dikejar
Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam pengembangan sumber daya manusia di bidang STEM. Menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada tahun 2023, hanya 18,47 persen lulusan perguruan tinggi Indonesia berasal dari bidang STEM. Bandingkan dengan Malaysia yang mencapai 37,19 persen dan Singapura 34,3 persen. Angka ini menunjukkan kesenjangan yang tak bisa diabaikan, terutama jika kita ingin bersaing secara global.
Padahal, pendidikan STEM memiliki banyak manfaat strategis. Ia menumbuhkan rasa ingin tahu dan kemampuan eksplorasi, meningkatkan kemampuan problem solving, hingga membuka berbagai peluang karier masa depan. Di sisi lain, dunia kerja masa depan juga semakin menuntut talenta dengan keterampilan lintas disiplin, yang menjadi kekuatan utama dalam pendekatan STEM.
Pentingnya Peran Guru
Jika STEM adalah mesin masa depan, maka guru adalah operator utamanya. Sayangnya, jumlah guru STEM di Indonesia justru menurun dari 31.000 menjadi hanya sekitar 20.000 per tahun. Di saat yang sama, minat guru untuk mengembangkan pendekatan STEM di sekolah terus tumbuh. Ada semangat, ada ketertarikan—namun masih kurang dukungan sistemis.
Pendidikan STEM menuntut guru untuk tidak hanya menguasai materi, tapi juga mampu mengintegrasikan berbagai bidang ilmu secara kontekstual. Untuk itu, dibutuhkan pelatihan pedagogi modern, kurikulum yang aplikatif, dan dukungan dari berbagai pemangku kepentingan.
Kolaborasi: Kunci Inovasi Pendidikan
Karakter interdisipliner dari STEM menjadikan kolaborasi sebagai fondasi utama dalam pelaksanaannya. Guru tidak bisa berjalan sendiri. Kolaborasi bisa dilakukan dalam bentuk tim lintas mata pelajaran di satu sekolah, atau bahkan antar-sekolah yang membentuk komunitas belajar.
Salah satu contoh nyata datang dari program Fasilitator Daerah (Fasda) Perubahan yang dikembangkan oleh Tanoto Foundation. Dalam program ini, para guru dari berbagai daerah diberi ruang dan dukungan untuk merancang proyek inovatif yang menjawab tantangan literasi dan numerasi di sekolah mereka.
Di Kabupaten Batubara, Sumatera Utara, misalnya, guru-guru seperti Juni Hari Yanto, Lili Gusni, dan Siti Najaliyah merancang proyek bertajuk “Pengembangan Media Berbasis Sumber Daya Lingkungan”. Proyek ini menciptakan alat bantu pembelajaran numerasi berbasis lingkungan sekitar. Dampaknya sangat terasa: anak-anak menjadi lebih tertarik belajar matematika karena merasa materi pelajaran dekat dengan kehidupan mereka.
Masih dari Batubara, guru Wahyuni Pane menciptakan inovasi “Warung Kejujuran”. Melalui simulasi kegiatan jual beli, siswa belajar matematika secara menyenangkan, sekaligus menanamkan nilai kejujuran. Pembelajaran tak lagi hanya soal angka, tapi juga membentuk karakter.
Kurikulum Fleksibel dan Gudang Masalah
Agar pembelajaran STEM berjalan efektif, fleksibilitas kurikulum sangat dibutuhkan. Ini bukan berarti guru bebas tanpa arah, tapi justru membuka ruang bagi guru untuk mengintegrasikan materi antar mata pelajaran secara bermakna.
Di Kabupaten Karo, seorang pengawas sekolah bernama Totaria Simbolon memimpin pendekatan lesson study— model pengembangan guru melalui kolaborasi dan diskusi rutin bersama dalam satu kelompok guru. Ia menggabungkan pelajaran matematika dengan seni budaya, menciptakan pengalaman belajar yang holistik dan menyenangkan. Hasilnya? Murid lebih antusias, lebih mudah memahami konsep, dan guru menjadi lebih kreatif.
Agar implementasi STEM semakin mudah, guru juga membutuhkan semacam gudang masalah, yakni kumpulan soal atau tantangan berbasis STEM yang siap digunakan di kelas. Tantangan ini bisa diambil dari peristiwa sehari-hari—seperti perubahan cuaca, fenomena teknologi, atau bahkan aktivitas ekonomi lokal—sehingga pembelajaran menjadi lebih relevan.
Dukungan Kebijakan dan Profesionalisme Guru
Dibutuhkan kebijakan teknis yang jelas agar pendekatan STEM tidak berhenti sebagai jargon. Kurikulum perlu disertai panduan implementasi dan asesmen yang mendukung pemahaman lintas disiplin. Di saat yang sama, lembaga pelatihan guru seperti Balai Besar Guru dan Tenaga Kependidikan (BBGTK) perlu merancang pelatihan konten STEM secara lebih sistematis dan aplikatif.
Guru juga harus didorong untuk bertransformasi dari penyampai materi menjadi fasilitator pembelajaran. Pendekatan student-led learning—di mana siswa diberi ruang untuk mengeksplorasi dan memimpin proses belajar—harus menjadi fondasi.
Dengan pelatihan yang tepat, guru akan lebih percaya diri dalam memandu siswa untuk bereksperimen, berdiskusi, dan menyelami dunia STEM dari sudut pandang kehidupan sehari-hari.
Menyongsong Masa Depan dengan Keyakinan
STEM bukan sekadar soal teknologi tinggi. Ia adalah pendekatan pendidikan yang membumi dan menyiapkan generasi penerus dengan kemampuan menyelesaikan masalah nyata. Pendidikan yang menggabungkan logika, kreativitas, dan nilai-nilai kolaboratif.
Untuk mewujudkan itu, kita butuh ekosistem pendidikan yang bergerak bersama: guru yang terampil dan berdaya, kurikulum yang fleksibel dan kontekstual, serta dukungan lintas sektor dari pemerintah, perguruan tinggi, dan dunia usaha.
Jika pendidikan adalah investasi masa depan bangsa, maka STEM adalah jalur cepatnya. Dan guru—dengan segala dedikasi dan semangatnya—adalah penggerak utama. Kini saatnya kita mendukung mereka sepenuhnya.*
*Penulis merupakan Tanoto Foundation Fellows
(DEL)