
Analisadaily.com, Medan – Pemerintah terus menggulirkan dua kebijakan strategis di bidang pendidikan menengah: penghapusan biaya pendidikan SMA/SMK negeri dan penerapan sistem sekolah lima hari. Meski digadang-gadang sebagai langkah progresif menuju pemerataan akses dan peningkatan mutu pendidikan, pelaksanaan di lapangan masih menyisakan berbagai persoalan yang tak bisa diabaikan.
Anggota DPRD Sumatera Utara Komisi E, Dr. H. Ahmad Darwis, S.Ag., MA, Selasa (24/6/2025) menyampaikan kritik konstruktif atas dua program tersebut. Ia menilai, tanpa kesiapan infrastruktur, pendanaan memadai, dan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat rentan, kedua program tersebut justru berpotensi memperlebar ketimpangan sosial.
Meski secara formal siswa tidak lagi dikenakan SPP berkat Dana BOS dan dukungan APBD, di lapangan realitanya berbeda. Para orang tua tetap terbebani biaya seragam, atribut OSIS, buku LKS, hingga iuran komite dan kegiatan ekstrakurikuler.
“Ini jelas tidak sejalan dengan semangat pendidikan gratis. Jika orang tua masih harus mengeluarkan ratusan ribu bahkan jutaan rupiah, maka keadilan pendidikan belum benar-benar hadir,” ujar Darwis.
Pihak sekolah sendiri mengakui, keterbatasan Dana BOS menjadi alasan masih adanya pungutan. Terutama untuk kebutuhan gaji guru honorer dan operasional kegiatan siswa. Situasi ini menurut Darwis harus menjadi perhatian serius pemerintah.
Kebijakan lima hari sekolah yang bertujuan memberikan waktu lebih untuk keluarga di akhir pekan, di sisi lain menimbulkan persoalan baru terutama di wilayah pedesaan dan daerah tertinggal.
“Anak-anak pulang sore, sementara orang tuanya bekerja di ladang atau pasar. Makanan tak selalu tersedia, kantin mahal, belum lagi uang jajan yang makin tinggi. Ini bukan efisiensi, tapi potensi beban tambahan,” jelasnya.
Selain itu, guru honorer juga disebut menghadapi penambahan jam kerja tanpa jaminan peningkatan honor. “Guru juga manusia. Kalau jam kerja bertambah, wajar kalau mereka menuntut insentif lebih,” tambahnya.
Ahmad Darwis menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap dua kebijakan ini. “Gratis bukan sekadar menghapus SPP. Harus ada bantuan tambahan untuk seragam, buku, transportasi, hingga makan siang. Pemerintah daerah juga harus berperan aktif lewat APBD dan sinergi dengan CSR,” tegasnya.
Ia juga mendorong fleksibilitas penerapan sistem lima hari. “Tidak semua daerah siap. Perlu ada kebijakan yang adaptif. Daerah terpencil atau belum siap sebaiknya tetap diperbolehkan menjalankan pola enam hari, dengan pengawasan kualitas belajar.”
Darwis juga mengusulkan adanya, transparansi pengelolaan Dana BOS, standarisasi batas maksimal iuran tambahan, integrasi program pendidikan dengan bantuan sosial seperti PKH atau BPNT, penyediaan kantin sehat dan subsidi makan siang bagi siswa kurang mampu dan penyesuaian tunjangan guru, terutama bagi yang honorer
“Pemerintah perlu membuka mata dan telinga. Aspirasi dari lapangan tidak boleh diabaikan. Janji pemerataan hanya bisa terwujud jika kebijakan didukung oleh anggaran memadai dan keberpihakan pada kelompok rentan,” tutup Darwis.
Kritik yang ia sampaikan bukanlah bentuk penolakan, melainkan dorongan perbaikan agar semangat mencerdaskan kehidupan bangsa benar-benar dirasakan oleh seluruh anak negeri, tanpa terkecuali.
(NAI/NAI)