
JUDUL dengan tanda tanya (?). Ya. Dipertanyakan ekosistem media saat ini. Itulah pembahasan Diskusi Pers, Kamis lalu di kampus. Saya diundang. Saya baca. Tertera dengan huruf kapital merah di spanduk : Topik “Benahi Ekosistem Media”.
Dalam pikiran saya. Huruf merah ini, gambaran ekosistem media berada dalam status “lampus merah”. Artinya, hati-hati, perlu segera ditangani serius.
Dua dosen dari Departemen (dulu : jurusan) Ilmu Komunikasi dengan gamblang berkata : Secara umum, ekosistem media saat ini, kurang sehat. Beberapa mahasiswa tingkat akhir dari departemen serupa serta aktivis pers mahasiswa/kampus juga berpendapat sama.
Ketika giliran ditanya. Saya bilang begini : Kiranya perlu dibangun ekosistem media yang sehat. Lebih tegas, media dikelola sebagai institusi pers. Dan, lebih fokus lagi, sebagai institusi pers dari sisi ekonomi, dengan catatan sajian berita bermutu sesuai norma-norma jurnalistik.
Ada beberapa prinsipil yang patut ditangani dalam membangun ekosistem media.
Pertama, sebenarnya hal ini tanggungjawab semua pihak. Negara (baca : pemerintah) diminta hadir. Mengapa ?. Regulasi itu lahir dari pihak eksekutif dan legislatif. Proses kelahiran dalam bentuk Undang Undang dan peraturan lainnya, tetap saja dari tangan pemerintah. Lihat saja. UU Pers, UU Penyiaran, tentang Publisher Rights dan lain-lain.
Keberadaan aturan-aturan itu tentu dengan tujuan positif. Seharusnya peraturan ini mendukung perkembangan pers nasional. Ini penting. Selain sebagai landasan hukum bagi pers, juga menjadi kepastian hukum atas aktivitas pers.
Begitu juga terkait perpajakan yang dikenal, seumpama terhadap impor kertas, tentang pajak periklanan dan sebagainya.
Kedua, kebebasan pers. Ini hal utama. Adanya kemerdekaan pers, kalangan pers dapat melakukan kerja-kerja jurnalistik secara maksimal. Tak terdengar lagi tindakan tergolong kriminalisasi atas pers. Namun kenyataannya? Sampai kini kekerasan terhadap wartawan dan media, masih terjadi meski dalam skala kecil.
Ketiga, penerapan standar perusahaan pers. Sudah maksimalkah perusahaan menjabarkan ketentuan yang tercantum dalam standar itu ?. Terus terang saja. Sampai detik ini sejumlah keluhan awak media di Tanah Air masih menyentuh soal penggajian. Walau harus dicatat, beberapa media dengan manajemen profesional mampu memberi tingkat kesejahteraan yang baik bagi awak medianya.
Keempat, tingkat kemampuan wartawan. Ini hal pokok juga. Awak media sebagai yang terdepan dalam meliput, lalu di bagian redaksi sebagai penyunting/editor yang mengolah (editing) agar menjadi berita berbobot, seharusnya memiliki kualifikasi terbaik. Kompetensi dan pengetahuan serta keterampilan jurnalistik, haruslah memenuhi persyaratan tertentu.
MASIH beberapa hal lain perlu digarisbawahi pihak pemilik dan pengelola media, jika ingin memiliki ekosistem media yang baik.
Kalau saja disadari arti penting ekosistem media dalam upaya menuju kesinambungan hidup media ke depan yang makin meningkat, tentu sisi-sisi terkait ekosistem media akan ditangani serius.
Jangan lupa. Membiarkan elemen-elemen ekosistem itu, justru dalam operasional media yang makin mengalami kemunduran. Dan, pada titik tertentu berada di tahap “jalan di tempat” atau mungkin pula aktivitas terhenti.
Kalau saja kalangan media terutama pemilik dan pengelola media sejenak melihat nasib media yang sudah “gulung tikar”, mestinya ada langkah-langkah berani yang matang guna mempertahankan eksistensi media agar tidak anjlok. Itu kenyataan !.
Namun agak mengherankan, sebagian pengelola media memang tak peduli tentang ekosistem media. Pura-pura lupa atau memang tak tahu. Atau memilih sikap pembiaran. Itulah kenyataan kini ?.
Begitulah, diskusi pers diakhiri.