
Analisadaily.com, Batubara — Deru kereta api di jalur Kuala Tanjung kini menyisakan kecemasan bagi warga. Bukannya menjadi simbol kemajuan dan kemudahan logistik, jalur kereta sepanjang 17 kilometer dari Simpang Bandar Tinggi hingga Pelabuhan Kuala Tanjung justru berubah menjadi “jalur maut” yang merenggut nyawa. Dalam kurun waktu 15 bulan terakhir, tercatat sudah 10 nyawa melayang akibat kecelakaan di perlintasan sebidang yang tak terjaga.
Kondisi ini memicu keprihatinan mendalam dari Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara, Ahmad Hadian, yang menyerap langsung aspirasi masyarakat saat melaksanakan reses di Desa Lalang, Kecamatan Medang Deras dan Desa Kuala Tanjung, Kecamatan Sei Suka—dua titik rawan yang dilalui jalur kereta tersebut.
“Ini bukan sekadar angka, ini nyawa masyarakat kita. Dalam waktu 15 bulan, 10 orang meninggal dunia karena tabrakan kereta api. Apakah harus menunggu lebih banyak korban untuk bertindak?” tegas Ahmad Hadian, Kamis (26/6/2025).
Anggota legislatif dari PKS Sumut ini menjelaskan bahwa jalur kereta api ini melintasi kawasan padat penduduk sepanjang 13 kilometer. Dalam lintasan tersebut, terdapat lebih dari 15 perlintasan sebidang—termasuk jalan-jalan kecil desa yang menjadi satu-satunya akses warga ke jalan provinsi. Tingginya frekuensi lalu lintas motor dan mobil kecil di jalur itu membuat risiko kecelakaan sangat besar.
Padahal, menurut rencana awal, hanya tiga perlintasan besar yang akan diaktifkan. Namun hingga kini, pembangunan dan pengalihan jalan alternatif belum tuntas. Di beberapa titik seperti Kampung Lalang, jalan baru yang seharusnya menggantikan jalan lama justru belum bisa difungsikan maksimal karena pembebasan lahan yang belum rampung.
“Kalau palang pintu dibangun, tapi jalan pengganti belum siap, itu sama saja jebakan. Warga tidak punya pilihan lain selain melintas di jalur berbahaya itu. Pemerintah harus hadir menyelamatkan rakyatnya,” tambah Ustaz Hadian.
Ahmad Hadian mendesak Kementerian Perhubungan melalui Ditjen Perkeretaapian untuk segera menyelesaikan persoalan sosial ini secara serius dan menyeluruh. Ia juga meminta Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan Pemerintah Kabupaten Batubara bahu-membahu mendorong percepatan penyelesaian jalur ini, termasuk dalam urusan pembebasan lahan dan pembangunan jalan kolektor.
Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak mungkin masyarakat akan kehilangan kesabaran. Protes, blokade, hingga aksi demonstrasi dikhawatirkan akan muncul kembali—mengancam stabilitas dan iklim investasi di kawasan industri strategis Pelabuhan Kuala Tanjung.
“Kita ingin pembangunan berjalan, kita ingin investasi tumbuh, tapi semua itu harus dibarengi dengan keselamatan dan keadilan bagi rakyat. Jangan sampai rakyat Batubara menjadi korban atas nama kemajuan,” tutup Ahmad Hadian.
(NAI/NAI)