
SEBELUM media siber muncul. Plagiator sudah ada. Saat era digital mencuat, makin meluas yang melakukan plagiat. Kini, publik geleng-geleng kepala. Tidak habis pikir. Mengapa ada penulis lepas yang menjadi plagiator. Dan, mengapa oknum wartawan juga terkena label plagiator.
Patut diingat. Meski kebebasan berekspresi (freedom of the expression) dijamin Undang Undang, tetap saja perbuatan plagiat tidak dibenarkan. Solusi terhormat, silahkan mengutip karya orang lain dengan menyebut sumbernya.
Kita tahu. Secara umum, plagiat adalah mengambil atau mengutip karya orang lain (tulisan/berita/foto), lalu diterbitkan sebagai karya sendiri. Padahal, bukan. Pelaku disebut plagiator.
Ada dua oknum dengan predikat plagiator. Pertama, penulis lepas. Mereka yang gemar menulis mengirim artikel ke media massa, entah karena kehabisan bahan atau ide. Atau agar ingin materi artikel lebih bermutu. Atau karena tak menguasai materi tertentu, namun ingin memperbanyak artikel. Lalu mengutip atau mengambil-alih karya orang lain.
Oknum penulis semacam ini, bermakna dengan sengaja mengutip atau mengambil karya tulis orang lain. Dan, menyatakan sebagai karyanya sendiri. Begitu dipublikasikan. Bisa terjadi dua hal. Memang tidak ada pihak yang tahu. Atau hal fatal memang ketahuan, sehingga menjadi masalah. Kehebohan adanya plagiat.
Kedua, oknum wartawan melakukan hal serupa. Kini. Ya, sekarang di tahun 2025 ini masih terjadi plagiat. Oknum wartawan mengutip atau mengubah judul berita. Cara lain. Mengubah lead dan bagian penutup berita. Tujuan sama, untuk “mengelabui” publik, sehingga seolah-olah berita itu benar hasil liputannya. Padahal bohong !.
Hari Minggu 22 Juni 2025. Saya ketemu dan dengan wartawan senior, dulu pernah di kantor berita. Spontan beliau bilang : Bagaimana menyikapi kondisi saat ini di mana plagiat atas berita merajalela. Sangat banyak dan meluas. Mereka tak malu sebagai plagiator.
Beliau usul : Kiranya komunitas pers mendeklarasikan tindakan plagiat sangat tercela dan menjalin kerjasama dengan pihak kepolisian untuk penindakan perbuatan plagiat ini.
Lihat saja, kata beliau, banyak media yang beritanya sama. Bukan dari siaran pers instansi. Tetapi oknum wartawan seenaknya mengutip, lalu otak-atik sedikit dan ditayangkan. Paling banyak melalui media siber (= online).
ITULAH kondisi yang memprihatinkan pers nasional. Meski harus diberi catatan, hal ini terjadi pada beberapa media tertentu. Tidak semua media membiarkan plagiat terjadi.
Plagiat adalah perbuatan sangat tercela dalam dunia pers. Di luar negeri, begitu ketahuan oknum wartawan melakukan plagiat, tiada ampun. Nama wartawan yang plagiator itu, akan tersisih dari profesi pers. Dan, tiada media yang akan menerimanya bekerja. Sanksi moral lahir !.
Di Indonesia. Pelarangan plagiat tercantum jelas dalam pasal-2 Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Bunyinya : Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Penafsiran pasal itu : Cara-cara yang profesional adalah : ”Tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri” (butir-g).
Saatnya kini, jajaran redaktur media (cetak/radio/televisi/siber) melakukan langkah terpuji dan normatif, antara lain tak membiarkan terjadi plagiat.
Tetap check and recheck terutama tentang kebenaran liputan itu, murni hasil karya jurnalistiknya, bukan plagiat.
Bagaimana dengan siaran pers dari Humas ?. Ini tak tergolong plagiat, karena disebut sumbernya (Humas). Media profesional menugaskan reporter melakukan proses penyuntingan (editing process). Supaya berita itu “tampil beda” termasuk sisi tata bahasa.
Populer di kalangan awak media : kopipaste (copy & paste). Ini perlu perhatian redaksi di kantor. Perlu olahan agar menjadi berita bermutu. Tak cuma salin dan tempel (copypaste).