
Analisadaily.com, Jakarta — Anggota DPD RI, Pdt. Penrad Siagian, angkat bicara terkait penyitaan kawasan seluas 81.793 hektare di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) yang meliputi tiga kabupaten di Provinsi Riau, yaitu Kabupaten Pelalawan, Indragiri Hulu, dan Kuantan Singingi.
Penrad menyatakan mendukung langkah pemerintah dalam menertibkan kawasan hutan lindung, namun dengan tegas menolak rencana relokasi mandiri yang dicanangkan Satgas Penanganan Kawasan Hutan (PKH).
"Masyarakat pada awalnya membeli tanah di sana karena ada yang menjual, lalu negara memfasilitasi, melalui menjadikannya kawasan administrasi desa, membangun fasos dan fasum, memberikan KTP. Ini bentuk kelalaian kesalahan negara, maka negara harus bertanggung jawab, bukan mengusirnya dan melimpahkan semua kesalahan pada masyarakat," tegas Penrad dalam keterangannya, Jumat (18/7/2025).
Merespons persoalan itu, Senator asal Sumatra Utara (Sumut) ini menawarkan solusi translokal dengan memasukkan warga terdampak ke dalam program transmigrasi lokal.
Menurutnya, pemerintah seharusnya hadir dengan solusi nyata, bukan malah membebankan masalah kepada masyarakat.
"Pemerintah tidak bisa mengusir mereka begitu saja, karena ada unsur kelalaian negara sejak awal bahkan memfasilitasi masyarakat untuk bermukim dan berladang di kawasan tersebut. Ada masalah yang harusnya negara bertanggung jawab termasuk anak-anak sekolah yang berjumlah ribuan dari warga tersebut," ujarnya.
Lebih lanjut, Penrad juga menyoroti ketidakadilan kebijakan negara yang dinilai hanya menargetkan warga kecil, sementara perambah besar dengan luas lahan puluhan ribu hektare kerap luput dari penertiban.
"Masa kebijakan negara diarahkan untuk mengusir dan mengorbankan warganya? Seharusnya mengamankan aset-aset negara yang banyak dan lebih banyak secara ilegal digarap oleh perusahaan besar, dan jumlah luasannya jauh bahkan ratusan kali lipat dari yang dikelola masyarakat," kata Penrad.
Penrad mempertanyakan arah kebijakan negara melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan.
Ia mendesak agar pemerintah lebih tegas menindak perusahaan besar yang justru memanfaatkan kawasan hutan secara masif.
"Seharusnya negara sebagaimana mandat konstitusinya seharusnya menjamin kesejahteraan hidup setiap warganya termasuk menyediakan tanah-tanah untuk jadi sumber-sumber kehidupan bagi masyarakat. Kok malah kebijakan dibuat pertama-tama diarahkan untuk mengorbankan warganya," tutur Penrad.
"Kebijakan ini sebenarnya untuk siapa? Para pengusaha perambah hutan seharusnya yang dijadikan sasaran, bukan malah mengorbankan masyarakat dan warganya," tambahnya.
Penrad juga menyoroti kondisi anak-anak di TNTN yang terpaksa belajar di kebun sawit akibat lahan yang disita. Ia menilai ini sebagai potret kegagalan negara dalam memenuhi tanggung jawab terhadap warganya.
"Ini bukti kelalaian negara bahkan awalnya negara fasilitasi masyarakat untuk bermukim, ada KTP, ada sekolah, ada Puskesmas, dijadikan wilayah administrasi desa, dan lain-lain. Jadi negara jangan lari dari tanggung jawab dan kesalahannya, jangan cari gampang, cari kambing hitam, melemparkan dan main usir saja," ucapnya.
Penrad menegaskan, konflik lahan yang melibatkan masyarakat tidak bisa diselesaikan secara sepihak hanya dengan kebijakan relokasi mandiri.
Ia menekankan, ada bukti sejarah, kronologi, dan dokumen lengkap yang menunjukkan keberadaan warga di kawasan tersebut diakui secara administratif sejak lama.
"Konflik dengan masyarakat harus diselesaikan dengan memperhatikan hak warga. Ada kronologinya, bukti sejarah, dan dokumen yang lengkap. Negara tidak boleh lari dari tanggung jawab dengan hanya melempar persoalan ke rakyat," katanya.
Di akhir, ia mendesak pemerintah mengevaluasi kebijakan penertiban kawasan hutan agar tidak menambah beban rakyat kecil yang justru sudah lama tinggal dan menggantungkan hidup di sana.
"Pemerintah Pusat melalui satgas PKH bersama dengan Pemerintah Daerah harusnya mencari lahan untuk lokasi transmigrasi lokal karena bagaimana pun mereka adalah warga tiga kabupaten tersebut dengan telah memiliki KTP di sana. Jadi bukan memaksa mereka untuk melakukan relokasi mandiri yang sama saja artinya pemerintah mengusir warganya sendiri," ucap Pdt. Penrad Siagian.[]
(NAI/NAI)