Salah seorang peserta Cultra 2025 berlari saat matahari akan terbit (Analisa/istimewa)
Analisadaily.com, Malaysia - Cameron Highlands selalu punya tempat tersendiri di hati saya. Udara sejuk, lanskap hijau yang memanjakan mata, dan tentu saja tantangan lintasan alam yang menggoda para pelari trail dari 39 negara di dunia. Tahun ini, saya kembali datang ke Cameron Ultra (Cultra) 2025. Saya datang untuk menantang rute Gunung Berembun yang menyiksa para pelari.
Pukul 06.00 Waktu Malaysia, Sabtu (19/7/2025), udara di Cameron Highlands sangat sejuk. Langit masih tampak gelap. Beberapa pelari sedang melakukan pemanasan di sekitar Lapangan Padang Awam yang tak jauh dari Century Pines.
Mereka adalah para pelari di kategori 14 km, kategori yang tahun lalu juga saya jajal untuk menaklukkan Gunung Berembun. Bagi saya, berlari di Cultra bukan sekadar perlombaan, tapi perjalanan batin yang membuat saya memang ingin lagi kembali ke event trail ini.
Tahun lalu, luka dan lelah masih ingat sekali saya rasakan. Apalagi tahun lalu kaki saya sempat kram dari kilometer 9. Untuk mencapai garis finish memang betul-betul perjuangan.
Saat berlari di garis finish Cultra 2025
Bukan hanya saya, rasa ini juga saya pastikan dirasakan pelari trail lainnya di Cultra 2025 maupun tahun-tahun sebelumnya. Apalagi bagi mereka yang kategori 100 km, 60 km maupun 30 km.
Tak sedikit dari mereka yang mencapai garis finish meneteskan air mata. Mereka terasa haru dan bahagia bisa menyelesaikan tantangan untuk diri mereka sendiri. Finish sebelum cut of time (COT).
Saya juga masih ingat dengan jelas, bagaimana rute di Gunung Berembun tahun lalu menyiksa lutut dan mental. Tanah yang licin, tanjakan terjal yang seolah tak habis-habis, dan trek yang seperti menguji apakah kita benar-benar ingin menyelesaikan lomba ini. Tapi justru di sanalah letak sensasi dan perjuangan yang membuat saya ingin kembali. Rasa sakit dari pendakian itu, entah kenapa, perlahan berubah menjadi candu.
Saya sempat berucap "cukup sekali.” Tapi nyatanya, semangat untuk menaklukkan kembali trek yang sama itu tumbuh. Saya ingin merasakan kembali sensasi berada di tengah hutan lebat, aroma tanah basah, dan gemuruh napas para pelari yang sama-sama berjuang.
Tahun 2025, saya berhasil finish lebih strong. Tanpa kaki kram dan drama lainnya. Tahun ini, atmosfernya juga terasa lebih istimewa. Barangkali karena saya datang bukan untuk membuktikan sesuatu pada siapa pun, melainkan semata-mata hanya untuk mengulang momen yang dulu begitu berkesan. Saat race dimulai, langkah demi langkah membawa saya naik menembus perbukitan aspal, lalu masuk ke hutan hingga akhirnya di kilometer 9 ke atas, mulai merasakan kembali terjal nya Gunung Berembun.
Rute-rute ini napas kita satu-satu, detak jantung juga berpacu dengan cepat. Di kilometer ini saya berulang kali berhenti sejenak, bertegur sapa dengan para pelari dan benar-benar menikmati momen lari di Cultra.
Gak kerasa di rute 12 km, saya sudah berada di puncak Gunung Berembun. Bergegas langsung tancap gas ke finish. Bagi saya, garis finish bukan segalanya. Yang paling penting adalah adalah proses saya menuju garis finish tersebut. Bagaimana cara saya untuk melawan pikiran tidak ingi menyerah, bagaimana saya belajar mengenal tubuh dan kemampuan pace saya sendiri, dan yang terpenting, bagaimana saya menemukan kenikmatan lari di race ini. Apalagi saya bukan pelari trail.
Cultra bukan hanya tentang siapa yang tercepat. Tapi tentang siapa yang paling kuat menjaga semangatnya. Dan di lintasan 14 km itu, saya menemukan kenikmatan. Sampai jumpa lagi, Gunung Berembun. Tahun depan, siapa tahu saya mencoba rute 30 kilometer. Hehehehe.
Penulis: Nirwansyah Sukartara
Editor: Bambang Riyanto