Oleh : Destanul Aulia, SKM, MBA, MEc, Ph.D

Sistem Kesehatan Akademik: Kolaborasi Nyata untuk Sumatera Utara

Sistem Kesehatan Akademik: Kolaborasi Nyata untuk Sumatera Utara
Sistem Kesehatan Akademik: Kolaborasi Nyata untuk Sumatera Utara (analisadaily/istimewa)

Tri Dharma Perguruan Tinggi—pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat—telah lama menjadi fondasi peran kampus di Indonesia. Tiga pilar ini telah melahirkan jutaan sarjana, berbagai inovasi penting, dan beragam kegiatan sosial. Namun di tengah tantangan global yang semakin kompleks, seperti ketimpangan layanan kesehatan, kesenjangan ekonomi, perubahan iklim, dan ketidaksetaraan pendidikan, tiga pilar tersebut tidak lagi cukup. Dunia kini menuntut perguruan tinggi untuk mengambil peran yang lebih aktif sebagai motor perubahan sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Paradigma pendidikan tinggi pun harus bertransformasi. Kampus tidak lagi cukup sekadar menjadi pusat akademik yang mencetak lulusan dan publikasi, tetapi harus menjadi aktor pembangunan yang menghadirkan dampak nyata di tengah masyarakat. Kampus harus hadir dalam ekosistem pembangunan yang menyatukan riset, pendidikan, pelayanan, dan pemberdayaan untuk mendorong tercapainya Sustainable Development Goals (SDGs). Dalam konteks ini, sektor kesehatan menjadi medan pembuktian yang paling mendesak dan konkret.

Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam pemerataan layanan kesehatan, terutama terkait distribusi dan ketersediaan dokter spesialis. Wilayah-wilayah di luar Jawa, seperti Kepulauan Nias di Sumatera Utara, masih mengalami kekurangan tenaga medis, tenaga Kesehatan dan dokter spesialis yang akut.

Masyarakat di daerah-daerah ini sering kali harus menempuh perjalanan jauh dengan biaya tinggi demi mendapatkan layanan kesehatan yang memadai. Ketimpangan ini tidak bisa diatasi hanya dengan menambah kuota mahasiswa kedokteran; dibutuhkan pendekatan sistemik dan kolaboratif. Di sinilah peran Sistem Kesehatan Akademik (Academic Health System/AHS) menjadi sangat relevan dan strategis.

AHS merupakan platform kolaborasi yang menyatukan institusi pendidikan tinggi kedokteran dan kesehatan, rumah sakit pendidikan, pemerintah daerah, dan komunitas. Tujuannya bukan hanya menghasilkan tenaga medis, tetapi memastikan mereka memiliki kompetensi yang sesuai, tersebar merata, dan berorientasi pada kebutuhan masyarakat lokal.

Melalui prinsip gotong royong, AHS menjembatani pendidikan dengan pelayanan, memperkuat pusat-pusat unggulan di daerah, serta mendorong hilirisasi riset kontekstual yang relevan dengan tantangan setempat.

Di Sumatera Utara, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (FK USU) menjadi aktor utama yang menggerakkan implementasi AHS. FK USU dipercaya sebagai Koordinator AHS Wilayah 1, yang mencakup enam provinsi di Indonesia bagian barat: Sumatera Utara, Aceh, Riau, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, dan Jambi. Implementasi AHS terlihat nyata melalui penempatan peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) senior di rumah sakit daerah yang mengalami kekurangan dokter spesialis, seperti RSUD Pandan (Tapanuli Tengah), RSUD Dabo (Kepulauan Riau), dan RSUD Encik Mariyam (Kabupaten Lingga).

Langkah ini mencakup pengiriman PPDS dari berbagai program studi spesialis seperti patologi klinik, THT, neurologi, obgyn, anestesi, hingga kardiologi. Tidak hanya sekadar menempatkan peserta pendidikan, sistem ini juga memastikan keberlangsungan proses pembelajaran dan pelayanan melalui monitoring rutin, visitasi lintas wilayah, dan evaluasi menyeluruh yang melibatkan pemerintah daerah dan institusi pendidikan.

Saya sendiri menjadi saksi langsung bagaimana koordinasi lintas institusi ini berjalan baik di UGM, USU dan Dinkes Sumatera Utara. Pada bulan Mei 2025, saya juga hadir dalam rapat koordinasi AHS yang digelar di FK USU bersama jejaring AHS lainnya. Pertemuan tersebut melibatkan para dekan fakultas kedokteran dari berbagai wilayah, direktur rumah sakit pendidikan utama, serta kepala dinas kesehatan provinsi.

Diskusi yang terjadi bukan hanya seremonial, tetapi betul-betul menjadi forum strategis untuk menyatukan visi, menyusun roadmap bersama, dan memperkuat komitmen lintas institusi dalam mempercepat transformasi pendidikan dokter spesialis.

Dukungan politik dari pemerintah daerah juga menjadi pendorong utama keberhasilan AHS. Gubernur Sumatera Utara, Muhammad Bobby Afif Nasution, dalam beberapa kesempatan menyatakan dukungannya terhadap inisiatif ini. Beliau menilai AHS sebagai solusi konkret dalam mengatasi kekurangan dokter spesialis di wilayah tertinggal dan terpencil, sekaligus memperkuat komitmen daerah untuk membangun sistem kesehatan yang merata dan berkelanjutan.

Lebih dari itu, Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara telah menjalin kerja sama strategis dengan FK USU dan Fakultas Kedokteran UGM untuk menyelenggarakan program tugas belajar dokter spesialis. Program ini menargetkan dokter-dokter asli dari Kepulauan Nias dan PNS kesehatan dari daerah, yang akan dibiayai penuh oleh Pemerintah Provinsi untuk menempuh pendidikan spesialis di FK USU maupun UGM. Program ini dirancang tidak hanya untuk mencetak tenaga spesialis, tetapi juga memastikan mereka kembali mengabdi ke daerah asal setelah menyelesaikan pendidikan.

Model kerja sama ini tidak hanya sejalan dengan visi AHS, tetapi juga mendukung pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Regulasi ini mempertegas peran pemerintah daerah dalam perencanaan dan pemanfaatan tenaga kesehatan, serta membuka ruang koordinasi antara pusat dan daerah yang lebih efektif dan berbasis kebutuhan lokal.

Capaian awal dari transformasi ini menunjukkan tren yang menjanjikan. Hingga tahun 2024, jumlah lulusan dokter spesialis meningkat lebih dari 30 persen dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Jumlah rumah sakit pendidikan meningkat menjadi 222 unit, dengan lebih dari 100 program studi spesialis baru yang dibuka. Lebih dari 1.600 dosen bersertifikat NIDK kini terlibat aktif dalam pendidikan spesialis, dan 16 provinsi telah memiliki tim koordinasi wilayah yang terdiri atas pemerintah daerah, universitas, dan rumah sakit penyelenggara.

Namun transformasi ini tentu tidak tanpa tantangan. Penataan sistem seleksi nasional, penguatan standar mutu pendidikan, pembenahan tata kelola rumah sakit pendidikan, serta isu-isu etik dan keselamatan dalam proses pendidikan masih menjadi pekerjaan rumah bersama. Diperlukan pengawasan dan komitmen dari semua pihak agar transformasi ini tidak berhenti pada tataran administratif, melainkan menghasilkan dampak yang dirasakan langsung oleh masyarakat.

Lebih dari sekadar output kuantitatif, masyarakat menantikan perubahan yang bisa mereka rasakan: layanan kesehatan yang lebih dekat, biaya yang lebih terjangkau, serta tenaga medis yang lebih responsif dan manusiawi. Harapan ini hanya bisa tercapai jika seluruh pihak menjalankan perannya dengan penuh tanggung jawab dan kolaboratif.

AHS adalah bukti bahwa transformasi pendidikan tinggi dapat menghadirkan solusi konkret untuk persoalan layanan publik. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa AHS merupakan manifestasi nyata dari gerakan #KampusBerdampak. Kampus tidak hanya menjadi penghasil ijazah, tetapi juga solusi. Kampus tidak lagi berdiri di menara gading, tetapi turun langsung ke tengah masyarakat, menyentuh persoalan riil dan menawarkan inovasi nyata.

Bagi Sumatera Utara, AHS adalah peluang besar. Dengan modal institusi pendidikan yang kuat, kepemimpinan daerah yang terbuka, dan komitmen berbagai pihak, Sumut bisa menjadi model nasional dalam pembangunan sistem kesehatan berbasis akademik. Tidak hanya memperbaiki kualitas layanan, tetapi juga menciptakan ekosistem kesehatan yang tangguh dan berkeadilan.

Mari kita jaga dan perkuat kolaborasi ini. Karena masa depan kesehatan masyarakat bukan hanya soal ketersediaan layanan, tetapi tentang keberpihakan kita bersama terhadap mereka yang paling membutuhkan.

Dengan AHS, kampus menjadi harapan. Bersama, kita wujudkan Sumatera Utara yang lebih sehat, lebih adil, dan lebih berdaya.

Berita kiriman dari: Dosen FKM USU, Pemerhati Kesehatan masyarakat

Baca Juga

Rekomendasi