
FORUM pers yang menarik. Berlangsung via zoom. Diadakan dua pekan lalu, berskala nasional. Topik dengan kalimat menohok : Pers Kini, Makin Rapuh ?
Ayo kalangan pers, bagaimana jawaban Anda ? Dan, ayo publik, apa komentar Anda ? Beda pendapat, biasa. Pro atas pendapat yang menyatakan memang pers makin rapuh ? Silakan, boleh-boleh saja.
Saya ungkap rangkuman sejumlah pendapat “pers kini makin rapuh”. Setidaknya lima indikator yakni :
1. Kebebasan pers di dunia masih terus diperjuangkan. Bagai tiada henti. Tiap tahun dalam acara seperti World Press Freedon Day (WPFD), lembaga pers independen bahkan yang bernaung di bawah UNESCO (lembaga dari PBB) merilis angka-angka peringkat Indeks Kemerdekaan Pers negara-negara. Sangat sedikit yang menggembirakan. Sebagian besar, dalam kondisi prihatin. Meski indeks itu tak seratus persen akurat.
2. Pemberitaan media massa tak lagi menjadi perhatian utama. Sebutan lain, kurang diperhitungkan.
Sebagai pembanding. Tempo lalu, berita media massa (terutama koran) begitu kuat pengaruhnya. Berita bisa menaikkan popularitas. Sebaliknya juga dapat menjatuhkan seseorang (baca : pejabat, tokoh, politisi, artis, siapapun !).
Informasi media menjadi catatan pejabat publik, sehingga fasilitas pelayanan publik yang rusak, segera diperbaiki. Kini ? Tak begitu lagi.
3. Kini, berbagai kegiatan tak mesti disiarkan media. Beda. Dulu, seolah-olah harus diberitakan. Aktivitas institusi (termasuk pejabat !) dan perusahaan swasta, mesti diberitakan. Dan, lembaga/perusahaan berlangganan media serta Bagian Humas punya klipping. Sekarang, tanpa langganan media.
4. Peran Humas/Public Relation (PR) sudah beralih, meski tak total. Sebelumnya fokus pada peningkatan kualitas dan kuantitas berita. Itu berlalu dan berganti dengan lebih fokus menyertai bagian pemasaran. Selain “jaga gawang” agar tiada berita negatif. Atau menetralisir jika muncul berita miring terhadap lembaga/perusahaan.
5. Terakhir. Ini tergolong runyam. Publik (baca: sebagian besar !) tak begitu peduli pada pemberitaan media. Segelintir orang masih setia pada media. Termasuk tentang keberadaan informasi. Umumnya mereka bilang begini : “Jika ada berita, ya bagus. Kalaupun tiada ya sudahlah”. Publik acuh ? Dengan jiwa besar, agaknya kita harus bilang : Itulah kenyataan terkini.
Selain indikasi tersebut, masih ada beberapa. Pendapat akademisi yang berkecimpung dalam ilmu jurnalistik/komunikasi, lebih serius memberi catatan atas pernyataan mengenai pers memasuki tahapan kerapuhan.
Saya ambil contoh. Tatkala sorotan tentang media butuh (= tergantung) iklan dari pemerintah. Itu pertanda sisi kerapuhan dalam upaya mempertahankan kesinambungan hidup media. Padahal tempo lalu, iklan dari pihak swasta merajai kolom-kolom koran dan durasi televisi.
Jika pers makin rapuh. Tak perlu malu membenarkan. Seraya mencari solusi tepat guna membangkitkan agar kembali menguat. Langkah nyata dengan keberanian mengambil kebijakan yang dilandasi pertimbangan matang, menjadi solusi satu dari sekian alternatif.
Sekali lagi. Jika memang menuju kerapuhan. Ayo, berbuat. Bersikap. Termasuk efisiensi ekstrem tanpa melanggar peraturan. Jalan di tempat, bermakna menanti saat “gulung tikar”. Semoga tidak !