Wahyu Ario Pratomo dan Arif Rahman, Dosen Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara (Analisadaily/Istimewa)
Oleh: Wahyu Ario Pratomo dan Arif Rahman, Dosen Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara
Di tengah ketidakpastian ekonomi dunia, Indonesia justru melaju kencang. Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Triwulan II-2025, perekonomian nasional tumbuh 5,12% (y-on-y), naik dari 4,67% di Triwulan I-2025. Pencapaian ini bukan sekadar angka, melainkan bukti bahwa mesin ekonomi kita berjalan lebih cepat dibandingkan banyak negara lain di ASEAN. Bandingkan saja, pada periode yang sama, ekonomi Malaysia hanya tumbuh 4,5%, Singapura 4,3%, dan Thailand bahkan tertahan di 2,3%. Jika membandingkannya dengan mitra dagang utama di luar ASEAN, performa Indonesia juga jauh di depan. Amerika Serikat misalnya, hanya mencatat pertumbuhan 2,0%, Korea Selatan 0,5%, sementara proyeksi pertumbuhan ekonomi global versi IMF untuk 2025 berada di angka 3,0%. Dengan capaian ini, Indonesia tak hanya berhasil mempertahankan momentum, tetapi juga keluar dari bayang-bayang proyeksi perlambatan global.
Mesin Pendorong: Konsumsi, Investasi, dan Ekspor
Pendorong utama kinerja ini datang dari tiga komponen yaknikonsumsi rumah tangga, investasi, dan ekspor barang dan jasa. Konsumsi rumah tangga tetap menjadi “raja” dalam struktur PDB, menyumbang 54,25% terhadap total ekonomi. Pada Triwulan II-2025, konsumsi rumah tangga tumbuh 4,97% (y-on-y), didorong oleh mobilitas tinggi masyarakat selama libur Hari Besar Keagamaan Nasional (seperti Idul Fitri, Waisak, Kenaikan Isa Almasih, Idul Adha), libur sekolah, dan pariwisata domestik. Belanja masyarakat, terutama pada makanan, transportasi, dan rekreasi, melonjak signifikan, diperkuat oleh program bantuan sosial dan bantuan subsidi upah (BSU) dari pemerintah.
Dari sisi investasi, Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) tumbuh solid 6,99% (y-on-y), berkontribusi 27,83% terhadap PDB. Kenaikan ini dipacu oleh belanja modal pemerintah yang melesat 30,37%, serta peningkatan impor barang modal seperti mesin dan peralatan yang naik 28,16%. Aktivitas konstruksi swasta maupun rumah tangga juga memberikan dorongan tambahan, menandakan optimisme pelaku usaha terhadap prospek ekonomi jangka menengah.
Ekspor barang dan jasa pun menunjukkan performa hebatnya, tumbuh 10,67% (y-on-y) dengan kontribusi 22,28% terhadap PDB. Lonjakan ekspor ini dipacu oleh tingginya permintaan global terhadap komoditas unggulan seperti minyak kelapa sawit (CPO), karet, besi baja, mesin dan peralatan listrik, hingga kendaraan dan komponennya. Tidak hanya itu, sektor pariwisata internasional juga berperan, dengan meningkatnya kunjungan wisatawan mancanegara yang mendorong nilai ekspor jasa.
Performa Sektoral: Transportasi, Perdagangan dan Industri Tetap Kuat
Jika ditilik dari sisi lapangan usaha, beberapa sektor mencatat pertumbuhan spektakuler. Transportasi dan pergudangan menjadi juara, melesat 15,28% (y-on-y), terdorong oleh lonjakan mobilitas pasca-libur panjang, pertumbuhan perdagangan, dan aktivitas logistik yang semakin sibuk. Informasi dan komunikasi juga mencatat pertumbuhan tinggi, 9,45%, seiring pesatnya penggunaan layanan digital, e-commerce, dan adopsi teknologi di berbagai lini bisnis.
Sektor konstruksi, yang sempat melemah di awal tahun, bangkit kembali dengan pertumbuhan 6,02% berkat dimulainya lagi sejumlah proyek infrastruktur transportasi, energi, dan perumahan. Meski pertumbuhannya tidak sedrastis sektor jasa, industri pengolahan tetap menjadi tulang punggung ekonomi nasional, tumbuh 4,05% dan menyumbang porsi terbesar PDB, yakni sekitar 18,6%. Kekuatan industri pengolahan terutama datang dari subsektor makanan-minuman, pengolahan kelapa sawit, serta produk manufaktur berbasis agroindustri yang punya keterkaitan kuat dengan sektor pertanian dan ekspor.
Pertumbuhan Ekonomi yang Lebih Inklusif
Kinerja ekonomi ini tidak hanya terasa di level makro, tetapi juga di tingkat kesejahteraan masyarakat. Per Maret 2025, tingkat kemiskinan nasional turun ke 8,47%, atau setara 23,85 juta orang, mencapai level terendah dalam dua dekade terakhir. Angka ini turun dari 8,57% pada September 2024 dan 9,03% pada Maret 2024.
Tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Februari 2025 juga menurun menjadi 4,76% dari 4,82% setahun sebelumnya. Meski jumlah penganggur secara absolut sedikit bertambah akibat bertambahnya angkatan kerja, data ini menunjukkan bahwa pasar kerja mampu menyerap tenaga kerja baru secara signifikan, terutama di sektor industri pengolahan, perdagangan, transportasi, dan konstruksi.
Korelasi positif antara pertumbuhan ekonomi, penurunan kemiskinan, dan perbaikan pasar kerja ini menandakan pertumbuhan yang relatif inklusif. Konsumsi rumah tangga yang besar memberi dampak langsung pada UMKM, sementara investasi dan ekspor mendorong penciptaan lapangan kerja di sektor padat karya dan sektor strategis lainnya.
Tantangan di Semester Kedua
Meski fondasi ekonomi terlihat kokoh, ada awan gelap yang mengintai di semester kedua 2025. Salah satu yang paling disorot adalah kebijakan perdagangan Amerika Serikat yang mulai berlaku 7 Agustus 2025, memberlakukan tarif impor 19% untuk sejumlah produk Indonesia. Kebijakan ini berpotensi menggerus daya saing ekspor, menekan industri pengolahan berbasis ekspor, dan memicu efek rambatan pada perdagangan global—mulai dari penurunan harga komoditas hingga terganggunya rantai pasok internasional.
Selain itu, dorongan konsumsi rumah tangga yang kuat di Triwulan II mungkin tidak terulang di Triwulan III dan IV, karena hilangnya faktor musiman seperti libur panjang dan momen keagamaan besar. Jika ekspor ikut melambat akibat tarif baru, maka laju pertumbuhan bisa terdampak.
Menghadapi tantangan ini, pemerintah memiliki tiga agenda strategis. Pertama, peningkatan kualitas sumber daya manusia, sesuai rencana strategis Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendiktisainstek) yang fokus pada penguatan pendidikan vokasi, riset dan inovasi, serta link-and-match dunia pendidikan dengan industri. Tenaga kerja yang terampil dan adaptif akan memperkuat daya saing ekspor, terutama di industri teknologi dan manufaktur modern.
Kedua, percepatan hilirisasi sumber daya alam, agar Indonesia tidak lagi hanya mengandalkan ekspor bahan mentah. Produk mineral, perkebunan, dan perikanan bernilai tambah tinggi akan memiliki posisi tawar lebih kuat di pasar global, termasuk di negara-negara yang menerapkan tarif. Diversifikasi pasar juga perlu digencarkan ke Jepang, China, dan kawasan non-tradisional.
Ketiga, menjaga stabilitas moneter yang sudah dikelola baik oleh Bank Indonesia. Hingga pertengahan 2025, inflasi tetap terkendali dan nilai tukar rupiah relatif stabil, memberikan kepastian bagi pelaku usaha dan investor. Stabilitas ini menjadi modal penting untuk menarik investasi dan menjaga kelancaran perdagangan.
Menatap Akhir Tahun dengan Optimis
Kombinasi pertumbuhan kuat, penurunan kemiskinan, dan stabilitas ekonomi menunjukkan bahwa Indonesia punya modal besar untuk tetap menjadi salah satu motor penggerak ekonomi Asia Tenggara. Meski tantangan eksternal seperti tarif impor AS membayangi, strategi yang tepat, dari peningkatan SDM, hilirisasi, hingga pengelolaan moneter, akan menjadi tameng yang efektif. Jika strategi ini dijalankan konsisten, bukan mustahil Indonesia dapat mempertahankan pertumbuhan di atas 5% hingga akhir tahun, sekaligus memperkuat posisi sebagai ekonomi besar yang resilien di tengah guncangan global.
(RZD)