
KEMERDEKAAN berpendapat, berekspresi dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (DUHAM PBB).
Dalam suasana HUT Ke 80 Proklamasi Kemerdekaan RI (1945-2025) coba kita lihat seberapa jauh tingkat kemerdekaan berekspresi dari rakyat. Secara umum, media massa menjadi wadah penyampaian aspirasi rakyat.
Tatkala ekspresi rakyat disalurkan media. Sesungguhnya dua hal awal dipetik. Pertama, satu dari sekian HAM terpenuhi. Kedua, kemerdekaan pers terwujud.
Dalam UU Nomor40/1999 tentang Pers disebutkan: Bahwa, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia (HAM) yang sangat hakiki, diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Bagi rakyat, media massa menjadi salah satu wadah utama saat menyalurkan aspirasi. Saat bersamaan, media memang memberi ruang luas bagi ekspresi rakyat. Ini tidak lain karena secara universal, salah satu fungsi jurnalis memang itulah.
Bagi pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi dan pembentuk opini berupaya melaksanakan peranan itu berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional.
Di Indonesia, secara umum dapat dikatakan rakyat dapat berekspresi maksimal dan media menyambut dengan memberi ruang luas untuk penyiarannya (= penyebarannya).
Tatkala sumbangsih pemikiran rakyat termasuk kritikkonstruktif yang bolehjadi "tajam" (= terbuka dan keras) kiranya dua hal harus dimakluminya. Pertama, jika dalam bentuk artikel dengan nama penulis, itu berarti tanggungjawab penuh jika memasuki ranah hukum, berada di puncak penulis.
Sebaliknya, jika ada inisiatif media melakukan wawancara dengan tokoh, publik atau siapapun, pernyataan dan sorotan tajam, menjadi tanggungjawab redaksi (= media). Mengapa begitu?
Ketentuan prinsip jurnalisme global. Artikel dengan pencantuman nama penulis, popular disebut by line story, jika bermasalah, menjadi tanggungjawab penulis. Meski dalam proses, pimpinan media dimintai keterangan. Dan, jika akibatnya tergolong fatal, bukan mustahil penegak hukum mungkin menjerat media dengan status dalam hukum pidana sebagai pihak "turut serta atau ikut membantu menyebarkan".
Sebaliknya, hasil wawancara, misalnya berakibat hukum. Pihak media bertanggungjawab penuh. Pertimbangannya: 1. Inisiatif wawancara dari pihak media. 2. Jika hasil wawancara tidak disiarkan, tentu tiada yang tersinggung atau berakibat hukum. 3. Sebelum wawancara ada konsensus, bahwa kritik itu menjadi tanggungjawab pihak media.
Secara umum, kemerdekaan rakyat berekspresi di Indonesia cukup baik. Pertama, ada proteksi yang tertera antara lain UUD 1945 dan UU Pers Nomor40/1999. Penjabarannya? Mungkin ada sedikit kendala. Misal, perorangan dipanggil pihak penegak hukum terkait materi ekspresi.
Dari sisi lain, mungkin pula pihak media mendapat teguran dari penguasa atas penyebaran aspirasi rakyat. Walau dalam tahun-tahun terakhir "pemanggilan" terhadap pihak media sangat jauh berkurang.
Kehadiran media siber (cyber media) ternyata memberi ruang lebih bagi rakyat dalam penyampaian aspirasi. Publik menyebut media online, menjadi wadah cepat dalam penyebaran pendapat.
Semoga sisi HAM bagi publik dalam berekspresi makin lebih baik di Tanah Air tercinta. Dan, publik kiranya tetap santun dan konstruktif dalam berekspresi.***