
Analisadaily.com-Medan.- Mahasiswa Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Sumatera Utara (Sumut) kecewa dengan putusan Pengadilan Negeri Medan yang memvonis dua terdakwa kasus penguasaan lahan ilegal dan alih fungsi kawasan konservasi Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut.
Menurut MAKI Sumut, vonis terhadap dua terdakwa, Alexander Halim alias Akuang dan Kepala Desa Tapak Kuda Imran terlalu ringan. MAKI Sumut menilai vonis ini mencerminkan kejahatan lingkungan masih belum dianggap serius sebagian lembaga peradilan.
Padahal, perusakan kawasan konservasi seperti Suaka Margasatwa Karang Gading berdampak langsung pada keberlangsungan ekosistem, kehidupan masyarakat sekitar dan keberlanjutan lingkungan hidup di Sumut.
"Keduanya hanya dijatuhi hukuman 10 tahun penjara, jauh di bawah tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang meminta 15 tahun. Putusan ini tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan dan kerugian negara yang ditimbulkan dan berpotensi menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum lingkungan di Indonesia," kata Koordinator MAKI Sumut, Ananda Rizki Tambunan, Selasa (19/8/2025).
Dikatakan Ananda, vonis 10 tahun untuk kejahatan yang merusak kawasan hutan lindung, merugikan negara miliaran rupiah, dan menguntungkan pelaku hingga hampir Rp 70 miliar adalah bentuk kemunduran dalam upaya perlindungan lingkungan hidup dan keadilan. Terlebih, alasan kesehatan dijadikan dasar untuk meringankan hukuman. Ini sangat tidak masuk akal.
"Berdasarkan fakta persidangan, kedua terdakwa terbukti secara sah menguasai 210 hektar lahan ilegal di dalam kawasan konservasi dan mengalihfungsikannya menjadi perkebunan sawit. Tindakan ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga menyebabkan kerugian ekologi jangka panjang. Negara dirugikan sebesar Rp10,5 miliar, sementara keuntungan ilegal yang diperoleh kedua terdakwa mencapai Rp69,6 miliar," kata Ananda
MAKI Sumut juga menyoroti proses persidangan yang penuh kejanggalan, di mana penundaan sidang dilakukan berulang kali tanpa penjelasan yang jelas kepada publik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa ada potensi gangguan dalam proses peradilan yang seharusnya berjalan secara independen dan transparan.
“Penundaan yang terjadi berkali-kali, diikuti dengan vonis yang tidak proporsional, menimbulkan tanda tanya besar di tengah masyarakat. Ketika pelaku kejahatan lingkungan dihukum ringan, publik berhak mempertanyakan keberpihakan hukum. Apakah kerusakan lingkungan bisa begitu mudah dimaafkan hanya karena alasan kesehatan?” ujar Ananda.
MAKI Sumut mendesak Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) untuk mengajukan banding terhadap putusan tersebut demi mengembalikan marwah hukum dan memberi efek jera kepada pelaku kejahatan lingkungan.
MAKI Sumut pun mendorong Komisi Yudisial untuk melakukan pemeriksaan etik terhadap majelis hakim yang menangani perkara ini, guna memastikan tidak ada pelanggaran dalam proses pengambilan putusan.
MAKI Sumut juga menyerukan KPK turut melakukan supervisi dan penelusuran lebih dalam terhadap kemungkinan keterlibatan aktor lain, baik dari sektor pemerintahan maupun swasta, yang memungkinkan terjadinya penguasaan dan eksploitasi ilegal di kawasan hutan lindung tersebut.
MAKI Sumut juga mendorong Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumut melaksanakan pemulihan ekologis di wilayah yang rusak, serta memperkuat sistem pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan di kawasan konservasi lainnya.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Medan menjatuhkan vonis 10 tahun penjara kepada dua terdakwa kasus korupsi penguasaan dan pengalihan fungsi kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat.
Putusan dibacakan pada sidang yang digelar Senin (11/8/2025) petang terhadap dua terdakwa, yaitu Alexander Halim alias Akuang alias Lim Sia Cheng, yang merupakan pemilik Koperasi Sinar Tani Makmur sekaligus pelaku utama penguasaan lahan, dan Imran, mantan Kepala Desa Tapak Kuda.
Keduanya juga dijatuhi hukuman denda masing-masing sebesar Rp 1 miliar, dengan ketentuan apabila tidak dibayar, akan digantikan dengan kurungan selama tiga bulan.
(NAI/NAI)