Peringati 75 Tahun Hubungan Diplomatik Indonesia-Tiongkok, Konjen RRT Medan Gelar Diskusi Panel

Peringati 75 Tahun Hubungan Diplomatik Indonesia-Tiongkok, Konjen RRT Medan Gelar Diskusi Panel
Para tokoh dan lainnya berfoto bersama usai Diskusi Panel (Analisa/istimewa)

Analisadaily.com, Medan - Konsulat Jenderal (Konjen) Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di Medan menggelar Diskusi Panel untuk Memperingati 80 Tahun Kemenangan Perang Perlawanan Rakyat Tiongkok melawan Agresi Jepang, Perang Anti-Fasis Sedunia serta peringatan 75 tahun terjalinnya hubungan diplomatik antara Tiongkok dan Indonesia serta peringatan 70 tahun Konferensi Bandung.

Diskusi ini digelar di kediaman Konsul Jenderal Republik Rakyat Tiongkok di Medan, Jalan Cut Nyak Dien Kecamatan Medan Polonia, Jumat (22/8/2025).

Hadir dalam diskusi itu Pj Konsul Jenderal (Konjen) Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di Medan, Xu Chunjuan, bersama Wakil Konjen, Song Jianming, para rektor dan perwakilannya dari beberapa universitas, media dan lainnya.

Dikatakan, pada 3 September nantinya, Tiongkok akan mengadakan peringatan akbar. Presiden Xi Jinping akan menghadiri serangkaian acara, menyampaikan pidato, dan menginspeksi pasukan dalam parade militer agung.

"Jadi hari ini kita berkumpul bersama untuk mengenang sejarah, menghormati para pahlawan, menjunjung perdamaian dan membangun masa depan. Perang Anti-Fasis Sedunia adalah perang terbesar dan paling merusak dalam sejarah manusia," ujarnya.

Perang itu menyebar ke seluruh Asia, Eropa, Afrika dan Oseania yang melibatkan sekitar 2 miliar orang dan menyebabkan lebih dari 100 juta korban jiwa. Di Asia, militerisme Jepang, di bawah panji “Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya”, dengan brutal menginvasi dan menjarah negara-negara tetangga, melakukan kejahatan keji, dan menciptakan serangkaian tragedi seperti “Pembantaian Nanjing”, “Pembantaian Singapura”, dan “Pembantaian Manila”.

Dalam perjuangan melawan agresi Jepang, warga Tionghoa perantauan di Sumatera katanya memberikan kontribusi yang tak terlupakan. Mereka mendirikan organisasi-organisasi anti-Jepang seperti Perhimpunan Anti-Jepang Tionghoa Perantauan Sumatera dan Liga Anti-Fasis Rakyat Sumatera, dan banyak individu pemberani gugur secara heroik.

"Monumen pahlawan 20 September di Medan, Pematangsiantar dan Bukittinggi masih menceritakan kisah sejarah tersebut dan merekam perjuangan abadi para pahlawan," katanya.

Penting untuk ditegaskan bahwa pengembalian Taiwan ke Tiongkok merupakan bagian penting dari kemenangan Perang Dunia Kedua dan tatanan internasional pascaperang. Baik Deklarasi Kairo maupun Deklarasi Potsdam secara jelas menetapkan bahwa Taiwan, yang direbut Jepang, harus dikembalikan ke Tiongkok.

Dokumen-dokumen ini, memiliki kekuatan hukum internasional, yang menegaskan kedaulatan Tiongkok atas Taiwan. Pada tahun 1971, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Resolusi 2758, yang menegaskan bahwa hanya ada satu Tiongkok di dunia dan Taiwan adalah bagian dari Tiongkok, dan bukan merupakan sebuah negara. Satu-satunya sebutan untuk Taiwan di PBB adalah “Provinsi Taiwan, Tiongkok” (Taiwan, Province of China).

Penderitaan sejarah dan kepedihan perang telah membuat rakyat Tiongkok semakin menghargai kedamaian dan ketenangan yang telah mereka peroleh dengan susah payah. "80 tahun yang lalu, Tiongkok sebagai negara pemenang, yang pertama menandatangani Piagam PBB. Sejak saat itu, Tiongkok senantiasa mengambil tindakan nyata untuk mempertahankan hasil kemenangan Perang Dunia Kedua, memelihara sistem internasional dengan PBB sebagai intinya, dan tatanan internasional berdasarkan hukum internasional, berpegang teguh pada norma-norma dasar hubungan internasional yang berlandaskan pada tujuan dan asas Piagam PBB, dan dengan teguh berperan sebagai pembangun perdamaian dunia, penyumbang pembangunan global, dan pembela tatanan internasional," ujarnya.

Selalu menjadikan masa lalu sebagai bahan pembelajaran masa sekarang. Lalu yang sangat disayangkan, dunia saat ini masih jauh dari kata damai. Perang berkecamuk di Eropa dan Timur Tengah, yang membangkitkan kembali anti-globalisasi dan hegemonisme. Berada di persimpangan jalan baru, yang dibutuhkan umat manusia bukanlah hukum rimba, melainkan kerja sama yang saling menguntungkan; bukan menumbangkan tatanan internasional pascaperang, tetapi mempertahankan hasil Perang Dunia kedua. Hanya dengan cara inilah baru dapat mencegah terulangnya tragedi sejarah, memperkuat fondasi perdamaian dan pembangunan, serta mewujudkan visi pembangunan komunitas senasib sepenanggungan umat manusia.

Tahun ini tidak hanya menandai peringatan 80 tahun kemenangan Perang Perlawanan Agresi Jepang dan peringatan 80 tahun pembebasan Taiwan, tetapi juga peringatan 75 tahun terjalinnya hubungan diplomatik antara Tiongkok dan Indonesia serta peringatan 70 tahun Konferensi Bandung.

"Baik Tiongkok maupun Indonesia, sebagai negara berkembang utama, ekonomi pasar berkembang, dan kekuatan utama di “Global South”, memiliki pengaruh yang signifikan dalam urusan internasional dan regional dan merupakan kekuatan penting dalam menjaga hasil kemenangan Perang Anti-Fasis Sedunia dan dengan tegas mempertahankan tujuan dan prinsip Piagam PBB.

"Kita harus bersama-sama melaksanakan konsensus penting yang dicapai oleh kedua kepala negara, secara kokoh memajukan kerja sama “lima pilar” yang meliputi politik, ekonomi, budaya, maritim, dan keamanan, serta terus memperdalam kemitraan strategis komprehensif Tiongkok-Indonesia. Kita harus mengibarkan tinggi bendera pembangunan bersama komunitas senasib sepenanggungan umat manusia, bekerja bersama menegakkan keadilan dan kesetaraan di tengah kekacauan dan perubahan dunia, mendorong sistem tata kelola global ke arah yang lebih adil dan masuk akal, memberikan kontribusi lebih besar bagi pembangunan yang damai dan stabil di kawasan Asia-Pasifik, dan menyuntikkan lebih banyak stabilitas dan energi positif ke dalam dunia yang penuh gejolak," ujarnya.

(NS/BR)

Baca Juga

Rekomendasi