
Analisadaily.com, Medan – Pada Sabtu (23/8/2025) lalu, layar-layar computer atau handphone para jurnalis dari sembilan media nasional dan lokal di Tanah Air menyala bersamaan. Mereka berkumpul secara daring dalam satu ruang diskusi yang penuh semangat: HWPL Indonesia Media Forum.
Heavenly Culture World Peace Restoration of Light (HWPL) Indonesia menggelar media forum bersama mitranya dengan mengusung tema “Saatnya Pers Merdeka dan Membawa Damai”, forum berdurasi 90 menit itu terasa lebih dari sekadar seminar virtual. Ia menjadi ruang refleksi, sekaligus ajakan bagi insan pers untuk merenungkan kembali: apa sebenarnya peran media di tengah derasnya arus informasi digital yang kerap dipenuhi disinformasi?
Forum dibuka dengan penayangan teaser film dokumenter dari Filipina, sebuah kisah inspiratif tentang bagaimana media bisa hadir sebagai kekuatan yang mempersatukan. Seusai itu, peserta dibagi ke dalam dua breakout room untuk berdiskusi: Apakah media masih bisa menjadi agen perdamaian di era digital ini? Haruskah memilih substansi atau sekadar sensasi?
Dalam diskusi, Walas dari Media Mimbar Bangsa menegaskan bahwa media tidak boleh berhenti menyuarakan perdamaian. Menurutnya, tulisan yang bernas mampu membentuk pola pikir masyarakat, apalagi bila diikuti kerja sama antara media besar dan media kecil. “Menulis perdamaian jangan berhenti di satu berita, tapi harus ditindaklanjuti dengan narasi yang menunjukkan bagaimana damai bisa tercipta,” ujarnya.
Hendry Nursal, Publicity Ambassador HWPL di Indonesia sekaligus jurnalis Jambi Daily dan Bicara Jambi, memandang media sebagai corong masyarakat. Ia mengingatkan bahwa konflik sering kali muncul dari ketidakadilan dan kesenjangan. “Media harus memperhalus narasi, jangan justru memperkeruh keadaan,” katanya.
Pandangan senada datang dari Ridwan Mubarok. Baginya, media tidak bisa hanya berorientasi pada keuntungan. “Kebebasan pers adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Prinsipnya harus berlandaskan hukum dan etika,” tegasnya.
Diskusi juga membuka gagasan baru: berita perdamaian tak selalu harus dikemas singkat, tapi bisa dijadikan special feature—liputan mendalam yang memberi ruang refleksi bagi pembaca. HWPL pun berkomitmen menggelar forum serupa secara reguler, sejalan dengan agenda internasional yang setiap tahun diperingati pada 14 Maret, 25 Mei, dan 18 September sebagai Hari Perdamaian Dunia.
Bahkan, HWPL membuka peluang kerja sama dengan media Indonesia, termasuk pelatihan jurnalistik perdamaian yang menyasar masyarakat luas.
Forum ini berakhir dengan sebuah penegasan bersama: kebebasan pers bukan hanya soal menyampaikan fakta, melainkan juga bagaimana media berpihak pada perdamaian. Di tengah derasnya arus digitalisasi, media diharapkan tetap berdiri sebagai pilar demokrasi, sekaligus agen perdamaian yang menghubungkan, bukan memecah.
Di layar yang mulai gelap seiring usainya forum, tersisa keyakinan baru. Bahwa di tangan pers yang merdeka dan bertanggung jawab, narasi perdamaian akan selalu menemukan jalannya.(mul)
(NAI)