Tiga Kejanggalan Isu BPA pada Galon Guna Ulang yang Perlu Dipahami Publik

Tiga Kejanggalan Isu BPA pada Galon Guna Ulang yang Perlu Dipahami Publik
Tiga Kejanggalan Isu BPA pada Galon Guna Ulang yang Perlu Dipahami Publik (Analisadaily/Ilustrasi)

Analisadaily.com, Jakarta - Isu bahaya Bisphenol A (BPA) pada galon guna ulang polikarbonat (PC) kerap muncul beberapa waktu belakangan. Narasi yang berkembang seringkali menimbulkan kekhawatiran, seolah-olah masyarakat sedang berada di ambang bahaya besar akibat air minum dari galon guna ulang.

Namun jika ditelusuri lebih dalam, terdapat sejumlah kejanggalan dalam cara isu ini digulirkan untuk dikonsumsi publik. Hal ini tak lepas agar timbul ketakutan masyarakat sehingga tidak lagi menggunakan galon guna ulang dan beralih ke kemasan sekali pakai.

"Sebab sebanyak 99,9 persen industri ini menggunakan galon tersebut. Hanya 0,1 yang menggunakan galon sekali pakai," kata Komisioner Komisi Pengawas Persaingan usaha (KPPU) Chandra Setiawan.

Setidaknya ada 3 hal janggal yang perlu diperhatikan dari bagaimana isu bahaya BPA ini dimainkan. Pertama, data riset yang tidak pernah ditampilkan utuh. Banyak publikasi soal BPA hanya menyebut berbahaya tanpa menjelaskan angka migrasi aktual dan membandingkannya dengan batas aman WHO, EFSA, atau FDA.

Lembaga-lembaga otoritas kesehatan obat dan makanan itu memang sepakat BPA merupakan senyawa. Namun, pelarangan penggunaan BPA sebagai kemasan pangan hanya dilakukan pada botol bayi mengingat penggunaan peralatan harus dipanaskan lebih dari 100 derajat celcius sehingga memicu migrasi BPA.

Sedangkan berbagai riset juga menunjukkan migrasi BPA dari galon polikarbonat jauh di bawah ambang batas aman. Kejanggalan ini menimbulkan kesan bahwa informasi disampaikan sepotong-sepotong, sehingga publik panik tanpa pemahaman ilmiah yang lengkap.

Doktor sains teknologi plastik dari Universitas Teknologi di Berlin, Jerman, Wiyu Wahono kemasan ber-BPA pada perlengkapan bayi dilarang mengingat TDI mereka yang kecil. TDI dihitung mengacu pada berat badan setiap konsumen. Pada orang dewasa dapat disimpulkan harus mengonsumsi 48 liter air atau dua galon perhari agar BPA benar-benar berdampak bagi tubuh.

"Jadi kalau dibuka (google) lebih banyak disinformasi (terkait BPA) dari pada yang benarnya," katanya.

Kejanggalan kedua yakni mengabaikan fakta bahwa galon guna ulang sudah dipakai puluhan tahun dan tidak menyebabkan masalah apapun. Galon PC bukan barang baru. Produk ini telah digunakan di seluruh dunia lebih dari 30 tahun, termasuk di negara-negara dengan regulasi pangan sangat ketat seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa.

Pakar Teknologi Pangan, Hermawan Seftiono menegaskan bahwa tidak pernah ada satupun catatan kasus penyakit yang diakibatkan mengonsumsi air minum dari galon guna ulang PC hingga saat ini. Dia menegaskan, artinya kemasan galon polikarbonat dan tutupnya aman digunakan untuk produk AMDK.

"Belum ada juga kasus di Indonesia dan di luar negeri juga terkena penyakit dari kandungan BPA ini," kata Kepala Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Trilogi ini.

BPOM hingga kemenperin juga telah menegaskan bahwa pemanfaatan galon guna ulang aman untuk dipakai sebagai kemasan pangan. Fakta-fakta tersebut membuktikan bahwa isu terkait bahaya BPA pada galon PC lebih nyaring dari bukti di lapangan.

Kejanggalan ketiga berkaitan dengan narasi keberlanjutan dan lingkungan yang tidak pernah menjadi bahasan. Padahal, galon guna ulang terbukti jauh lebih ramah lingkungan karena bisa dipakai ratusan kali sebelum akhirnya dipensiunkan.

Jika isu BPA dipakai untuk mendorong peralihan preferensi konsumen menggunakan galon sekali pakai maka sudah pasti memunculkan sebuah paradoks. Yakni sampah plastik meningkat, beban lingkungan bertambah, dan masyarakat menanggung dampak jangka panjang.

Penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat (LPEM) FEB UI menyatakan salah satu alasan konsumen memilih galon guna ulang adalah membantu meminimalisir dampak lingkungan. Riset menyatakan bahwa tanpa penggunaan galon guna ulang maka penggunaan kemasan sekali pakai akan meningkat yang pada akhirnya meningkatkan timbulan sampah hingga 770.000 ton per tahun.

"Akibatnya, emisi sampah plastik akan bertambah hingga 1.655.500 ton per tahun. Galon guna ulang bisa mengurangi sampah kemasan sekali pakai," kata Peneliti Ekonomi Lingkungan, LPEM FEB UI, Bisuk Abraham Sisungkunon.

Baca Juga

Rekomendasi