
DALAM praktek jurnalisme di manapun. Prinsip pemberitaan berimbang sangat diutamakan. Di negara manapun, redaksi media menerapkan hal itu dengan maksimal. Tidak kecuali pers di Indonesia.
Kalangan pers nasional di Tanah Air merujuk pada pasal-1 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang berbunyi : “… bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang dan tidak beritikad buruk”.
Sangat jelas dan tegas, dinyatakan berita berimbang. Ini bermakna pers nasional harus menerapkan. Namun masih ada satu-dua media yang kurang peduli.
Pertanyaan mungkin muncul : Apakah sulit penerapan berita berimbang ? Jawaban singkat : Tidak sukar, jika awak media taat pada KEJ.
Dalam beberapa forum pendidikan dan pelatihan pers. Saya masih menyaksikan satu-dua peserta mempertanyakan hal itu. Saya berpendapat, itu wajar dalam kaitannya ingin memperdalam makna berimbang, sekaligus mengetahui penjabaran dalam pemberitaan.
Penafsiran atas pasal-1 KEJ itu dinyatakan Dewan Pers dalam arti semua pihak mendapat kesempatan setara.
Bagi redaksi media, saat menyajikan berita, senantiasa mempertimbangkan dahulu, apakah berita itu berimbang atau belum. Terutama dalam berita terkait konflik antarpihak.
Mengapa ? Umumnya pemberitaan yang menyentuh pihak-pihak, menjadi hal penting. Tujuannya mempertimbangkan sisi berimbang itu, supaya semua pihak yang tersentuh dalam berita, tidak dirugikan dalam sisi apapun.
Misalnya, tidak pencemaran nama baik. Luput dari hal fitnah. Terhindar dari kemungkinan melahirkan isu yang menyinggung suku-agama, ras, antar golongan (SARA) dan sebagainya.
Berita berimbang yang diperhatikan redaksi, tentu menjadi berita yang dapat diterima publik. Kebijakan redaksi menjadi faktor penentu dalam sajian berita berimbang.
Artinya. Redaksi arif dan mengacu pada KEJ, diyakini akan melahirkan sajian media tergolong berimbang, khususnya untuk terkait isu korupsi, konflik organisasi, beda pendapat, dualisme kepemimpinan wadah/lembaga atau masalah yang masuk ranah hukum.
Secara umum. Sebenarnya jajaran redaksi di kantor media dalam olahan dan sebagai filter terakhir sebelum berita disiarkan dalam media massa. Tetap harus diingat, tatkala redaksi mengabaikan sisi berimbang, setidaknya akan lahir dua hal :
Pertama, pihak-pihak yang disebut atau diduga terkena dalam pemberitaan tersebut akan memberikan reaksi. Kedua, sekaligus publik akan menilai dan menyebut media tersebut tidak profesional serta mengabaikan KEJ.
Hal fatal. Bukan mustahil juga akan lahir sikap reaktif langsung memasuki ranah hukum. Mereka melaporkan ke Dewan Pers atau mungkin ke pihak kepolisian seraya menyebut seumpama pasal 310 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Sisi terbaik. Sangat baik jika media senantiasa peduli dan menjaga “berita yang berimbang”. Beri kesempatan sama. Para pihak menjelaskan sesuatu. Atau, awak media menghubungi pihak-pihak sehingga lahir berita berimbang.
Jika ditelaah secara sederhana, menerapkan berita berimbang tidaklah sulit. Hal penting, senantiasa ada kemauan redaksi. Awalnya, tentu reporter di lapangan selalu diberi bekal menerapkan perimbangan itu. Sehingga saat reporter meliput, spontan menerapkan perimbangan guna melengkapi liputan.
Mari tetap perhatikan agar berita itu berimbang jika menyangkut pihak-pihak. Tunjukkan sebagai media taat KEJ dan profesional.