
Etnomusikologi Sukses Gelar Workshop Tor-tor Sawan (Analisadaily/istimewa)
Analisadaily.com, Medan - Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah II Sumatera Utara dan Sanggar Seni Mataniari bekerja sama dengan Program Studi (Prodi) Etnomusikologi FIB USU menggelar Workshop Tortor Sawan.
Narasumber utama yang dihadirkan Intan Elisabet Sitohang, seorang mantan penari/seniman Opera Batak yang sudah berusia 80 tahun dan maestro musik tradisi Batak Toba Marsius Sitohang, yang juga adalah seniman Opera Batak yang yang sejak tahun akhir 1980an sudah menjadi dosen praktisi musik Batak Toba di prodi Etnomusikologi FIB USU.
Workshop diawali dengan pemaparan dari Kepala Program Studi (Kaprodi) Etnomusikologi, FIB USU Dra, Rithaony Hutajulu, MA. Sebagai peneliti opera Batak yang sudah banyak melakukan penelitian dan dokumentasi terhadap repertoar musik dan tari opera Batak.
Rithaony Hutajulu menjelaskan, Opera Batak adalah bentuk seni pertunjukan teater keliling yang muncul tahun 1920an yang merupakan tandingan lokal dari bentuk seni pertunjukan teater yang popular di Indonesia pada waktu itu seperti teater Bangsawan dari Malaysia dan Komedie Stambul dari Jawa yang banyak mempengaruhi munculnya bentuk-bentuk teater dari berbagai wilayah di Indonesia termasuk juga wilayah Sumatera Timur dan Tapanuli.
Dikatakan, tor-tor sawan adalah tarian ritual penyucian yang dijumpai di masyarakat Batak Toba. Namun lewat opera Batak tortor sawan diangkat menjadi pertunjukan panggung dan mengalami perkembangan koreografi sesuai dengan kebutuhan estetika tontonan.
"Karena sifat pertunjukan panggung yang tidak terkait dengan ritual, seiring dengan perkembangan Opera Batak, tortor Sawan telah dikembangkan jumlahnya mulai dari satu cawan air (sawan) hingga tujuh buah sawan untuk menarik penonton,"jelasnya.
Hadir dalam workshop ini Prof, Dr, Dardanila M.Hum Perwakilan Dekan FIB, sejumlah dosen prodi Etnomusikologi seperti Hubari Gulo SSn, MSn, Drs. Yoe Anto Ginting, MA, Drs Torang Naiborhu MHum dan Rahmatika Sholikhah, S.Sn., M.A. yang bertindak sebagai moderator kegiatan.
Inisiator Workshop yang juga seniman, influencer sekaligus Psikolog Sosial Kota Medan, Niesya Ridhania Harahap S.Psi, M.Si, dalam keterangan persnya mengatakan, kegiatan ini mendapatkan bantuan dari Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan 2025 dari Balai Pelestarian Kebudayaan Sumut. Niesya, berpendapat masih banyak seniman-seniman tari yang menampilkan tari tor tor sawan belum memiliki pengetahuan tentang asal-usul terciptanya tarian tor-tor sawan dan bagaimana koreografi originalnya.
Adapun tujuan dan manfaat workshop ini menurut Niesya Harahap yang juga Direktur Mataniari adalah untuk mengenal dan memahami tentang esensi dan struktur gerakan tari yang mendasari tor-tor Sawan.
"Sehingga kreasi dan kreativitas kedepannya yang akan dilakukan terhadap karya tortor Sawan masih mengakar sesuai konsep, artistik, estetika, dan etika originalnya,"jelasnya.
Niesya juga memberikan motivasi dan penjelasan psikologis terkait alasan muda-mudi semakin meninggalkan tradisi. “Dari sisi identitas dan perkembangan diri, masa remaja atau dewasa awal merupakan masa yang rentan dengan fase pencarian identitas atau jati diri. Dan referensi yang mereka ikuti umumnya dari kelompok sebaya/ seumuran yang lebih menekankan hidup modern, digital dan global sehingga tradisi sering dianggap kurang relevan dan kuno. Jadi sebenarnya kita harus bisa melihat bahwa tradisi itu bukan berarti kembali ke masa lalu, tetapi dengan mengenal akar budaya kita, semakin kuat identitas kita di tengah dunia yang terus berubah ini,"urainya.
Sementara itu, Intan Sitohang menyampaikan rasa harunya atas undangan memberikan materi dalam workshop ini. Ia merasa bangga akan minat penggagas dan Prodi Etnomusikologi untuk menghadirkannya di forum kampus.
Dengan menggunakan bahasa Batak dia menceritakan pengalaman suka dukanya bergabung di opera Batak, bagaimana pandangan masyarakat umum yang terkadang memberikan penilaian yang buruk kepada pemain Opera Batak dimasanya dulu.
Sementara Maestro Marsius Sitohang menceritakan bagaimana bersyukurnya beliau yang telah direkrut oleh prodi Etnomusikologi USU dan telah tampil diberbagai even internasional. ”Aku sudah tidak ingat lagi dikota-kota mana saja yang sudah kujalani, Cuma ke benua Afrika lah yang aku belum pernah, semua benua sudah kujalani,” ujarnya.
Marsius Sitohang sejak tahun 1987 telah menampilkan musik tradisi Batak Toba bersama kelompok Lembaga Kesenian USU ke berbagai even nasional dan internasional. Saat ini selain menjadi dosen praktisi di USU, Marsius juga bergabung dengan Sanggar Seni Mataniari yang didirikan oleh Rithaony Hutajulu dan sudah mengadakan pertunjukan di even internasional seperti Pasar Hamburg Jerman, dan Europhalia di Belanda, Belgia dan Spanyol.
Sekedar informasi, Intan Elisabet Sitohang adalah kakak kandung dari maestro musik Batak Marsius Sitohang, dimana mereka adalah anak-anak dari Mangumbang Sitohang yang merupakan anggota opera Batak pertama pimpinan Tilhang Gultom yang berperan sebagai koordinator musik pada masa Tilhang Gultom.
Para partisipan dalam workshop ini didominasi oleh mahasiswa prodi Etnomusikologi yang juga berpengalaman mempelajari musik dan tari tradisi Sumatera Utara.
Yang menarik dari workshop ini adalah ditampilkannya dua versi tor tor sawan dari era yang berbeda. Satu koreografi Tortor Sawan yang dibawakan oleh kelompok Cilpa Nusantara yang terdiri dari mahasiswa dan alumni prodi Etnomusikologi dengan versi koreografi oleh Rithaony Hutajulu.
Sebagai puncak kegiatan, ditengah kondisinya yang kurang sehat dan usia yang lanjut, Intan Elisabet Sitohang bersedia untuk menampilkan tortor sawan versi original yang diajarkan oleh ibunya br Simbolon yang merupakan penari pertama tortor Sawan di era Tilhang Gultom. Semua peserta workshop sangat kagum dengan keindahan gerakan tortor sawan dari seniman opera Batak yang sudah lanjut usia tersebut. Intan Elisabet Sitohang dengan penuh semangat masih mampu menarikan tortor sawan yang memiliki gerakan yang cukup berat dan perlu keseimbangan yang cukup. (YY/WITA)