
Konferensi Nasional RKUHAP 2025: Menuju Peradilan Pidana Responsif Gender dan Anak (Analisadaily/istimewa)
Analisadaily.com, Medan - Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan
Kriminologi (ASPERHUPIKI) bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara (FH USU) dan Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) dan Pesada Academy menyelenggarakan Konferensi Nasional “Jaminan Perlindungan Hak Perempuan Dan Anak Dalam RKUHAP 2025” di Gedung Peradilan Semu, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), Selasa (23/9/2025).
sepanjang 2023, terdapat 2.078 kasus kekerasan seksual. Sementara itu, data Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) menunjukkan bahwa 70% korban perdagangan orang adalah perempuan dan anak. Hal ini menegaskan perlunya reformasi yang lebih mendalam dalam sistem hukum acara pidana, terutama dalam perlindungan hak perempuan dan anak. Direktur Eksekutif PKPA Keumala Dewi mengatakan konfrensi ini mendorong agar forum ini tidak hanya menjadi ruang untuk membicarakan penegakan
hukum, tetapi juga memperkuat sistem perlindungan anak serta mendorong lembaga pemerintah untuk memberikan perhatian lebih kepada anak-anak dalam situasi ini. "Fokus utama adalah memastikan RKUHAP 2025 tidak hanya menjadi pembaruan prosedural, tetapi juga inkorporasi jaminan hak asasi manusia, khususnya perlindungan fisik, psikologis, dan
hukum bagi perempuan dan anak sebagai kelompok rentan dalam sistem peradilan pidana," katanya. Ia mengatakan acara ini untuk menghadirkan perspektif dari kelompok dampingan. Baik anak-anak dampingan PKPA maupun anak-anak dari keluarga survivor (anak yang orang tuanya menghadapi proses pemidanaan) telah diajak berkonsultasi untuk mendapatkan banyak cerita dan testimoni mengenai betapa sulitnya kehidupan mereka, bahkan sampai kehilangan hak-hak dasar akibat proses hukum yang dijalani orang tuanya. Dekan Fakultas Hukum USU, Dr. Mahmul, S.H., M.Hum., yang menegaskan hukum tidak hanya sebuah instrumen yang mengikat, tetapi juga harus mampu menegakkan keadilan dengan memanusiakan manusia. Oleh karena itu, kegiatan ini menjadi penting sebagai ruang diskusi untuk merumuskan rekomendasi-rekomendasi positif bagi pembentukan hukum di Indonesia agar lebih adil, humanis, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat khususnya kelompok rentan. Pada Konferensi Nasional ini turut dilaksanakan sesi Penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU). MoU ini dilakukan antara ASPERHUPIKI, FH USU, Yayasan PKPA serta Persada Academy dalam rangka memperkuat kolaborasi dan implementasi perlindungan hak perempuan dan anak dalam
konteks hukum acara pidana. Keynote speech Ketua Umum ASPERHUPIKI Fachrizal
Afandi, S.Psi., S.H., M.H., Ph.D., menegaskan pentingnya memperhatikan kerentanan
dalam penegakan hukum yang diatur dalam RKUHAP. “RKUHAP harus mampu menjawab berbagai kekurangan yang selama ini membuat perempuan dan anak rentan menjadi korban diskriminasi dan kekerasan dalam sistem peradilan pidana,” ujarnya. Saat ini, hukum di Indonesia masih cenderung berfokus pada penegakan hukum terhadap
laki-laki tanpa memperhatikan hak-hak yang melekat pada tindak pidana yang dilakukan oleh perempuan yang seharusnya tidak boleh diabaikan. Padahal, hukum acara pidana sejatinya dirancang sebagai instrumen untuk membatasi kewenangan aparat agar terhindar dari abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) serta memastikan keadilan berjalan secara proporsional. Hal ini juga ditekankan oleh Dr. Beniharmoni Harefa, S.H., M.A., yang menyampaikan RKUHAP perlu penyempurnaan, khususnya terkait perlindungan anak dan perempuan. Meskipun, beberapa aspek sudah mulai mengakomodasi prinsip restorative justice. "Penyempurnaan ini sangat penting agar sistem peradilan pidana di Indonesia benar-benar responsif terhadap kelompok rentan dan tidak hanya
menitikberatkan pada penghukuman semata, tetapi juga pada perlindungan dan pemulihan
korban," sebutnya. Sementara itu, Dr. Nathalina Naibaho, S.H., M.H., menekankan pentingnya sinkronisasi regulasi agar
perlindungan terhadap perempuan dan anak tidak hanya menjadi jargon, tetapi benar-benar
terjamin dalam praktik hukum acara pidana. Selanjutnya, Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum., turut menyoroti berbagai hambatan dari aspek regulasi, sosial, struktural dan kultural yang masih menjadi kendala dalam memastikan keadilan dapat diakses oleh kelompok rentan. Selain itu, Dr. Marlina, S.H., M.H., yang membahas secara komprehensif mengenai pendekatan diversi dan keadilan restoratif, agar proses hukum tidak hanya berfokus pada penghukuman, tetapi juga memberikan pemulihan bagi korban khususnya
perempuan dan anak yang terdampak. (WITA)