
Analisadaily.com, Medan - Sidang mediasi antara masyarakat adat Simangambat, Padang Lawas Utara, Sumatera Utara dan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) serta PT Agrinas Palma Nusantara digelar ruang mediasi Pengadilan Negeri Padangsidimpuan pada Kamis 25 September 2025 lalu.
Dalam sidang tersebut masyarakat adat menuntut perusahaan PT Agrinas Palma Nusantara untuk memberikan plasma 20 persen kepada masyarakat. Artinya kebun masyarakat minimal 20% dari areal perusahaan.
Di hadapan Satgas dan PT Agrinas dan tergugat lainnya, warga menyodorkan usulan jalan tengah, berupa komitmen tertulis, realisasi bertahap, dan pengawasan bersama.
Yang mengejutkan, negara kali ini tidak menutup telinga. Satgas PKH dan PT Agrinas mulai membuka diri, mengakui bahwa plasma memang amanat undang-undang, bukan sekadar “bonus sosial” dari perusahaan. Mereka mulai membuka diri pada usulan mediasi warga tersebut.
Hal ini juga menjadi perhatian Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus.
Ia mengapresiasi PT Agrinas Palma Nusantara, tergugat dalam mediasi PN Padangsidimpuan, memang masih berproses menata legal standing dan meminta dukungan DPR RI atas regulasi untuk percepatan pelepasan kawasan hutan.
"Namun, berbeda dengan puluhan korporasi swasta yang justru mengabaikan plasma, Agrinas justru membuka ruang dialog dan siap membicarakan kewajiban plasma bersama masyarakat," ucap Iskandar, Sabtu (4/9/2025).
Ia mengatakan masyarakat menghargai sikap ini. Bagi mereka, meski status hukum Agrinas belum sempurna, setidaknya BUMN tersebut telah menunjukkan komitmen berbeda, yakni mematuhi undang-undang, bukan melawannya.
Di era Presiden Prabowo Subianto, sambung Iskandar, ini adalah sinyal penting bahwa plasma 20% sudah masuk radar politik negara. Artinya, pemerintah menyadari plasma bukan sekadar pasal undang-undang, tapi instrumen kesejahteraan rakyat yang harus ditegakkan. Terlihat presiden mumpuni memonitor sampai ke level tersebut.
Iskandar menjabarkan mengapa plasma jadi isu krusial? Jawabannya ada di lembaran tebal Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI dua dekade terakhir. Data audit negara menyebut:
1. Keterlambatan realisasi plasma rata-rata 7,8–10 tahun, padahal hukum memberi batas maksimal hanya 3 tahun.
2. Hanya 12% perusahaan yang diawasi konsisten beri plasma.
3. Dana kemitraan salah alokasi hingga Rp2,3 triliun.
4. Ada 45% lahan plasma tak bersertifikat, rawan konflik agraria.
5. Sekitar 78% pembinaan teknis plasma tidak berlanjut.
"Nama-nama besar perusahaan sawit pun tercatat, diantaranya, Sinar Mas, Lonsum, Torganda, Wilmar, First Resources, Asian Agri, Astra Agro, Surya Dumai dan Musim Mas. Semua pernah terseret catatan merah plasma dalam audit BPK," bebernya.
Sementara, lanjutnya, isu plasma kini juga naik ke panggung politik. Di Pekanbaru, Ketua DPRD Riau, Kaderismanto, yakin semua fraksi akan mendukung pembentukan Panitia Khusus (Pansus Plasma 20%). Mereka sampai harus bentuk Pansus karena ketidak-patuhan terhadap pengalokasian plasma.
“Sudah terlalu banyak laporan dari warga tentang plasma ini. Pansus adalah komitmen kita membela rakyat,” ujar dia.
Bila Padangsidimpuan adalah panggung hukum, maka Riau adalah panggung politik. Keduanya memperlihatkan arah baru yaitu, plasma tidak lagi bisa diabaikan. Itu semua selaras di masa penerintahan saat ini.
Iskandar mengatakan, imperatif bukan pilihan. dasar hukum terkait plasma yakni UU No. 39/2014 tentang Perkebunan pada pasal 58 mewajibkan plasma minimal 20%, di pasal 61 memberi sanksi administratif, lalu di pasal 107 mengancam pidana 5 tahun penjara + Rp10 miliar denda.
"Selama ini aturan itu tegas dan imperatif. Yang kerap hilang hanyalah iktikad perusahaan dan ketegasan negara. Untung saat ini tidak sedemikian lagi," ujarnya.
Untuk itu IAW mengeluarkan rekomendasi untuk persoalan ini yaitu:
1. Ideal database plasma nasional harus terbuka, supaya publik tahu siapa yang patuh, siapa bandel.
2. Membentuk Pansus Plasma DPRD di semua Provinsi, sehingga model Riau perlu digandakan.
3. Sanksi yang tegas berupa pencabutan seluruh izin perusahaan yang mangkir.
4. Sesegera diaudit forensik dana plasma, supaya dilakukan pengusutan kerugian negara Rp2,3 triliun tahun 2018.
5. Koperasi masyarakat/petani plasma boleh bekerjasama dengan pihak manapun tetapi tidak boleh jadi boneka perusahaan.
"Mediasi di PN Padangsidimpuan menunjukkan satu hal, negara, lewat Satgas PKH dan PT Agrinas, mulai sadar bahwa plasma bukan pilihan, tapi kewajiban hukum," katanya.
Sementara DPRD Riau memberi contoh, isu plasma harus dibawa ke arena politik, bukan dibiarkan jadi konflik berkepanjangan di desa-desa.
"Bagi Indonesian Audit Watch, plasma adalah hak konstitusional rakyat, bukan kemurahan hati korporasi. Dua dekade temuan BPK sudah cukup jadi bukti. Syukurnya pemerintah era Presiden Prabowo sangat menyadari pentingnya plasma bagi rakyat," katanya.
Kini, pertanyaan tinggal satu, apakah Padangsidimpuan dan Riau akan menjadi awal babak baru penegakan plasma nasional, atau hanya catatan kecil dalam sejarah panjang pengkhianatan sawit?