Sofyan Tan (Analisadaily/Reza Perdana)
Analisadaily.com, Medan - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menggelar Bimbingan Teknis (Bimtek) bertema “Pencegahan dan Pemulihan Stunting di Kota Medan” pada Selasa, 21 Oktober 2025, di Hotel Four Points By Sheraton.
Acara ini menyoroti pentingnya identifikasi dini dan intervensi gizi yang tepat, terutama pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, dr Sofyan Tan menekankan bahwa pencegahan harus dimulai dengan pengetahuan tentang gejala awal. Ia membagikan formula sederhana untuk mendeteksi berat badan anak yang ideal di usia 1 tahun.
"Sebelum kita berbicara tentang pencegahan dan pemulihan, kita harus tahu dulu bagaimana seseorang yang didiagnosis. Yang pertama kita lihat itu adalah melihat tanda-tanda berat badan dia," ucapnya.
Disebutkan, untuk anak usia 1 tahun, berat badan idealnya adalah 3 kali lipat dari berat badan lahir. "Kalau berat badan dia lahir 3 kilo, maka pada saat dia usia 1 tahun kali 3, itulah normalnya. Jadi berkisar antara 8 hingga 9 kilo," katanya, menambahkan bahwa mengetahui gejala lebih awal akan sangat membantu.
Selain itu, orang tua perlu memperhatikan aspek lain seperti perkembangan kognitif dan fisik umum. Gejala stunting juga terlihat dari kondisi anak yang sering sakit-sakitan, bentuk kepala tidak sesuai usia, dan tanda gizi buruk parah seperti kulit bersisik dan kurang elastis, yang dikenal sebagai Kwashiorkor.
Sofyan Tan menegaskan, kunci utama keberhasilan intervensi terletak pada pencegahan yang dilakukan sejak masa kehamilan. "Pencegahan satu-satunya cara adalah pada saat dia hamil. Pembelahan sel otak yang mulai kencang itu adalah pada tiga bulan pertama," tegasnya.
Untuk mendukung pembelahan sel otak yang optimal, ia menyarankan asupan protein tinggi. "Maka asupan-asupan ini kasih dia protein yang tinggi, telur," sarannya. Sofyan Tan juga menekankan pentingnya suplementasi yang tepat, seperti zat besi dari bayam, untuk meningkatkan hemoglobin ibu hamil.
Pencegahan juga harus melibatkan pelayanan terukur. "Harus ada kartu yang kita sebut dengan KMS (Kartu Menuju Sehat). Kita bisa mengukur berat badannya, naiknya bagaimana, kemudian tinggi badannya berapa," kata beliau, seraya mengingatkan pentingnya memantau tekanan darah ibu hamil untuk mencegah kondisi berbahaya seperti eklampsia.
Anggota DPR RI ini juga berbagi pengalaman pribadinya saat menjadi dokter muda, mengisahkan perjuangan dramatis menyelamatkan seorang anak dengan gizi buruk akut di malam hujan. "Itulah harga kalau kamu jadi dokter yang baik dan peduli," kenangnya.
Kini, Sofyan Tan menerjemahkan pengabdiannya melalui aksi nyata di bidang politik dan sosial. "Hari ini saya enggak jadi dokter menyembuhkan penyakit fisik, tapi mengobati penyakit kanker (kemiskinan dan kebodohan) agar anak-anak pintar," ujarnya.
Aksi nyatanya meliputi pendirian fasilitas kesehatan dan pendidikan. Ia bakal membangun klinik mewah senilai Rp4 miliar dan berencana menggunakan mobil khusus untuk menjemput ibu-ibu hamil yang kurang mampu. "Nanti kalau dia sudah melahirkan, anaknya selama 5 tahun kita perhatiin, kemudian kita masukkan ke sekolah-sekolah," katanya, dengan komitmen menampung anak-anak miskin hingga jenjang kuliah.
Ia juga mengkritik program nasional seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), menyarankan agar fokusnya lebih diarahkan kepada kelompok rentan. "Sesungguhnya MBG itu menurut saya harusnya lebih mengarahkan kepada ibu-ibu hamil dan balita. Tapi sasaran kita adalah daerah 3T maupun daerah miskin kota," kritiknya.
Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi BRIN, Hastin Dyah K, SKM, M.Sc, memaparkan data dan metodologi diagnosis stunting. Ia menegaskan, intervensi gizi tidak dapat langsung mengubah tinggi badan dalam waktu singkat.
Hastin menjabarkan 3 parameter standar pengukuran gizi, yaitu Berat Badan menurut Umur (mendeteksi gizi buruk/baik). Tinggi Badan menurut Umur (mendeteksi stunting). Berat Badan menurut Tinggi Badan (mendeteksi wasting atau kondisi kurus).
Secara global, prevalensi balita stunting dunia pada 2022 mencapai 22,3% atau 148,1 juta jiwa. "Sebagian besar, lebih dari 50% nya itu kasusnya ada di Asia," ungkap Hastin.
Adapun di Indonesia, angka stunting menunjukkan tren penurunan konsisten, dari 37,6% (2013) hingga mencapai 21,5% (Survei Kesehatan Indonesia/SKI 2023).
Hastin memberikan apresiasi khusus bagi Provinsi Sumut karena berhasil menekan angka stunting hingga 18,9%, jauh di bawah rata-rata nasional. "Sumut mendapat penghargaan karena bisa menekan angka stunting," pujinya.
Data BRIN menunjukkan, puncak prevalensi stunting pada balita terjadi pada usia 24 hingga 35 bulan. "Ini semakin ke sini puncaknya memang ada di usia 24 sampai 35 bulan," tutup Hastin, menekankan intervensi gizi harus tepat waktu dan berkelanjutan.
(RZD/RZD)