ORGANISASI media di Indonesia, Serikat Perusahaan Pers (SPS) menyelenggarakan Rapat Kerja Nasional 2025 sekaligus ulang tahun ke 79.
Didirikan 8 Juni 1946 di Jogyakarta, awalnya bernama Serikat Penerbit Suratkabar (SPS). Seiring lahirnya media siber. Pada saat kongres di Denpasar, Bali, (2011) disepakati berganti nama dengan singkatan sama, SPS. Dan, anggotanya bukan hanya media cetak.
Rakernas 2025 dan penyerahan Anugerah SPS 2025 di kota Banda Aceh 20-21 Oktober. Lanjut 22 Oktober di kota Sabang acara khusus menggaungkan Deklarasi Sabang.
Mengapa dipilih Sabang ? Kota ini berada di Pulau Weh, paling ujung Barat wilayah Indonesia. Di sini titik kilometer nol Indonesia, sebutan populer dari Sabang sampai Merauke.
TIGA : Dari rilis panitia. Ada tiga butir isi deklarasi. Pertama, dukungan SPS atas gagasan Dewan Pers tentang Dana Jurnalisme Indonesia.
Ini dinilai bentuk komitmen negara mendukung jurnalisme independen, profesional dan berpihak pada kepentingan publik. Dana ini investasi bangsa, guna memastikan warga negara mendapat informasi yang benar.
Kedua, keberlanjutan ekonomi industri media. Kiranya pemerintah menghapus Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas produk media cetak. Penataan belanja iklan pemerintah agar transparan dan adil.
Model bisnis media yang inovatif dan berkeadilan. Kedaulatan informasi hanya biasa ditegakkan jika media kuat secara ekonomi. Dan, kedaulatan informasi menjadi hak rakyat.
Ketiga, literasi media untuk generasi muda. Komitmen SPS mendorong literasi media. SPS percaya, masa depan pers bergantung pada kaum muda yang mampu berpikir kritis, menghargai kebenaran dan menjunjung etika dalam mengakses informasi.
Deklarasi Sabang itu dibacakan Ketua Umum SPS Pusat Januar P.Ruswita dan Sekjen Asmono Wikan. Dinyatakan, deklarasi ini menjadi momentum penting dalam memperkuat peran media sebagai salah satu pilar demokrasi.
Dua slogan digemakan SPS Pusat yakni : “Pers Sehat, Bangsa Berdaulat”. Satu lagi : “Pers Maju, Sumber Daya Indonesia Melaju”.
OPTIMISME : Apa yang dapat dipetik dari deklarasi itu ? Saya merasakan ada sikap optimisme. Gagasan Dana Jurnalisme, menjadi langkah baru dalam kondisi media massa yang prihatin di era digital ini.
Tentu, penggunaan dana itu akan dirancang, sehingga melahirkan hal-hal baru sekaligus memantapkan fungsi dan peran pers nasional.
Begitu pula harapan SPS secara terbuka menuntut penghapusan pajak, cenderung ingin “menyelamatkan” kondisi media cetak di Tanah Air yang kini berada pada “titik nadir”.
Sebagian media cetak, radio bahkan juga satu-dua televisi berada pada posisi senada pepatah lama “Bagai kerakap tumbuh di batu. Hidup segan, mati tak mau”. Artinya, (maaf) ada yang megap-megap, tetapi berupaya hidup.
Sisi optimisme lain, saya melihat lirikan fokus pada generasi muda. Sudah dimaklumi, terutama sejak hadirnya internet, mereka sudah beralih wadah dalam mencari informasi.
Ketika kaum muda meninggalkan media cetak, lalu radio dan kini juga siaran televisi, itu bagian tantangan dari munculnya teknologi yang memudahkan dan mempercepat akses mereka dalam menjawab kebutuhan informasi.
Mungkinkah gerakan literasi media mampu menarik perhatian generasi muda ? Masih sebuah tandatanya.
Akhir kata. Realisasi deklarasi yang digaungkan dari Tanah Rencong itu, butuh waktu. Mari kita nantikan. Semoga terwujud dan tidak menjadi arsip atau tersimpan dalam laci.











