Analisadaily.com, Jakarta – Pembaharuan Hak Guna Usaha (HGU) PT Socfindo di Desa Simpang Gambus, Kabupaten Batubara, Sumatra Utara (Sumut) , tidak akan diterbitkan sebelum konflik sengketa tanah dengan masyarakat setempat diselesaikan.
Keputusan ini merupakan hasil kesepakatan rapat koordinasi yang digelar Anggota Badan Akuntabilitas Publik (BAP) DPD RI, Pdt. Penrad Siagian, di Kantor Kementerian ATR/BPN pada Senin, 27 Oktober 2025.
Rapat yang dihadiri perwakilan kunci Kementerian ATR/BPN ini berfokus pada penyelesaian sengketa tanah seluas 473 hektare yang diklaim masyarakat sebagai tanah leluhur.
Pdt. Penrad Siagian dalam pemaparannya menegaskan bahwa konflik ini telah berlangsung sejak 1967 dan harus segera diselesaikan.
"Proses pembaharuan HGU PT Socfindo akan berakhir dan akan diperbaharui pada tahun 2025 ini. Masyarakat berharap ada kebijakan dari pemerintah sehingga mereka merasakan bahwa republik ini ada manfaatnya bagi mereka setelah berjuang sejak 1967," tegas Penrad.
Ia menekankan bahwa secara kronologi dan dokumen, termasuk bukti pembayaran pajak masa Belanda dan Jepang serta keberadaan rumah dan kuburan lama, seluruhnya telah disampaikan ke berbagai instansi.
Inti permohonan masyarakat adalah mendapatkan kembali tanah mereka. "Kami bagian dari DPD RI melalui saya anggota BAP harus menyampaikan ini. Karena itu sudah masuk dalam BAP DPD RI, ini harus diselesaikan. Tidak bisa tidak selesai," tekan Penrad.
*Respons Kementerian ATR/BPN*Direktur Jenderal Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan Kementerian ATR/BPN, Iljas Tedjo Prijono, menyatakan bahwa pihaknya berusaha menyamakan persepsi antar direkturat jendereal di ATR BPN dengan anggota DPR RI yang menyalurkan aspirasi masyarakat.
Ia mengakui adanya perbedaan data luas lahan yang sangat mencolok, mencapai 419 hektare, antara pengukuran terbaru dan klaim masyarakat.
"Perbedaan seluas 419 hektare ini harus ada penjelasan secara teknis. Mungkin perlu ditinjau kembali alas hak dari perolehan yang dulu. Jangan-jangan memang ada alas hak yang tidak dimasukkan atau sebenarnya perlu dibebaskan tetapi dimasukkan. Mungkin perlu kita lakukan audit," ujar Iljas.
Pandangan senada disampaikan Direktur Penanganan Sengketa Pertanahan, Hendra Gunawan.
Menurutnya, adanya kontradiksi data memerlukan pendalaman lebih lanjut, termasuk aspek psikologis dan sosial masyarakat, sebelum keputusan akhir diambil.
"Secara aspek psikologis dan sosial perlu kita dalami kembali sehingga hari ini tidak bisa diputuskan. Nanti kebijakan apa yang bisa mengakomodir secara sosial maupun psikologis, ini yang perlu kita dalami," jelas Hendra.
Sementara itu, Kepala Subdirektorat Penetapan HGU, Muhamad Rahman, menyampaikan hasil pengecekan teknisnya.
Ia menemukan bahwa garis batas pada peta lama dan baru sebenarnya sama. "Jadi kalau bicara jarak, ini 1 km (lama) maka yang di sana (baru) juga 1 km. Saya yakin tidak ada perbedaan. Kemudian ada perbedaan luasan, berarti memang terjadi human error," papar Rahman.
Meski demikian, ia menegaskan bahwa persoalan luasan dan klaim masyarakat harus menjadi pertimbangan utama, terlebih kasus ini telah masuk ke BAP DPD RI.
Direktur Penanganan Sengketa Pertanahan, Eko Priyanggodo, menambahkan bahwa selisih luas yang mencapai ratusan hektare secara logika tidak masuk akal.
"Secara logika mindset kita, selisih banyak itu kayaknya enggak mungkin. Kalaupun salah ukur, paling enggak 2 hektare atau 20 hektare, batas toleransi 10 persen. Ini sampai ratusan hektare, kayaknya enggak mungkin," tandas Eko.
HGU Ditunda, Konflik Harus Diselesaikan Lebih Dulu
Sebagai penutup rapat, disepakati bahwa pembaharuan HGU PT Socfindo tidak akan diterbitkan sebelum penyelesaian konflik dengan masyarakat mencapai titik terang.
Langkah-langkah konkret yang akan diambil termasuk audit alas hak awal, pendalaman aspek sosial dan psikologis masyarakat, serta klarifikasi teknis atas selisih luas lahan yang signifikan.
Diketahui, konflik ini berawal dari masa pendudukan Jepang pada tahun 1942 silam, ketika tanah partikelir diambil alih menjadi tanah negara.
Pada 1943, masyarakat membuka lahan bekas perkebunan Belanda untuk bertahan hidup. Masyarakat terus mengelola tanah tersebut secara turun-temurun setelah Indonesia merdeka.
Akar permasalahan terjadi pada tahun 1979, di mana penggusuran paksa dilakukan PT Socfindo dengan bantuan aparat. Mereka menggusur 461 kepala keluarga yang menguasai lahan seluas 483 hektare.
Warga yang menolak mendapat tekanan dan dipaksa menerima ganti rugi yang tidak manusiawi.
Setelah perjuangan panjang, terbit keputusan penundaan pembaharuan HGU. Hal ini menjadi momentum penting bagi masyarakat yang didukung kelengkapan dokumen dari berbagai instansi pemerintah selama hampir 50 tahun.[]
(NAI/NAI)











