Menumbuhkan Motivasi Belajar di Tengah Ancaman Era Digital

Menumbuhkan Motivasi Belajar di Tengah Ancaman Era Digital
Menumbuhkan Motivasi Belajar di Tengah Ancaman Era Digital (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily.com, Medan - Temuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tentang penggunaan gawai pada anak sungguh mengejutkan. Sebanyak 76,8 persen anak diizinkan mengakses telepon pintar dan sejenisnya di luar jam belajar.

Satu dari 4 bocah Indonesia atau sekitar 25 persen anak memakai gawai itu lebih dari 5 jam per hari. Sekitar 34,8 persen menggunakan gawai 2-5 jam dan 36,5 persen untuk durasi 1-2 jam. Pemakaian gawai tanpa dibarengi aturan dari orang tua bahkan lebih besar lagi angkanya, yakni 79 persen.

Padahal temuan itu berdasarkan riset KPAI pada tahun 2020-2021. Angkanya boleh jadi meningkat hari-hari ini ketika penetrasi gawai beserta konten-kontennya makin masif ke anak-anak.

Indikasi penggunaan gawai berjam-jam pada anak-anak bisa dilihat di sekitar kita. Coba kita amati apa yang dilakukan anak-anak sekolah dasar (SD) setelah pulang sekolah.

Tak sedikit dari mereka yang langsung mengakses gawai untuk menonton video pendek atau bermain gim seperti Roblox. Bandingkan dengan mereka yang kembali membuka buku dan mengulang pelajaran hari itu setiba di rumah.

Kecenderungan anak-anak untuk mencari hiburan lewat gawai ketimbang membuka kembali buku pelajaran ini saya saksikan sendiri di Kabupaten Karo, Sumatera Utara.

Anak-anak bahkan balita tampak asyik menjelajahi TikTok selama berjam-jam. Media sosial itu diakses lewat gawai milik orang tua mereka.

Seperti ditunjukkan oleh sejumlah riset, aktivitas mengonsumsi konten digital berkualitas rendah secara berlebihan, termasuk menonton banyak video pendek dalam durasi panjang dapat berujung pada kondisi brain rot. Kondisi penurunan kognitif ini ditunjukkan oleh penurunan daya ingat dan konsentrasi hingga kesulitan berpikir kritis.

Dengan kondisi itu, tak heran bila laporan Bank Dunia tahun 2022 tentang learning poverty (kemiskinan belajar) menyebutkan bahwa lebih dari separuh anak Indonesia di akhir jenjang SD belum mampu membaca dengan baik.

Sementara, laporan PISA 2022 menunjukkan hanya seperempat siswa Indonesia berusia 15 tahun yang mencapai tingkat kemampuan membaca minimal. Capaian untuk kemampuan matematika bahkan lebih rendah lagi.

Namun fakta lamanya durasi anak-anak mengakses hiburan lewat gawai dibanding waktu belajar mereka menunjukkan sesuatu yang lebih mengkhawatirkan. Bisa jadi yang turun bahkan hilang dari anak-anak kita lebih dari sekadar kemampuan membaca dan berhitung, melainkan sesuatu yang lebih mendasar, yaitu motivasi belajar mereka.

Bukan Sekadar Ganti Kurikulum

Sudah jamak dalam anggapan masyarakat, seperti yang terjadi belakangan ini, bahwa seiring pergantian pemerintahan atau pejabat berubah pula konsep dan materi pembelajaran. Ganti menteri, ganti kurikulum. Padahal yang dibutuhkan siswa mungkin lebih dari sekadar penyempurnaan kurikulum.

Di era digital yang turut berdampak pada anak-anak ini, kurikulum pendidikan bukanlah sumber masalah, sehingga perubahan kurikulum bukanlah solusi. Dari situ dapat ditarik benang merah, bahwa akar masalahnya bukanlah anak tidak bisa belajar, melainkan mereka tidak mau belajar. Mereka tidak memiliki motivasi untuk belajar.

Tanpa motivasi belajar, mereka tidak akan tergugah untuk belajar. Mereka juga tak bakal peduli pada perubahan kurikulum. Akibatnya, kurikulum secanggih apapun juga tidak akan berjalan optimal.

Namun ketika anak memiliki semangat, rasa ingin tahu, dan antusiasme untuk belajar, setiap perubahan sistem, materi, bahkan tambahan waktu belajar akan memberi pengaruh pada mereka. Ini menjadi peluang bagi mereka untuk tumbuh dan mengasah kemampuan.

Mengacu self determination theory yang dikemukakan Ryan dan Deci (2000), motivasi belajar tumbuh ketika tiga syaratnya terpenuhi, yaitu saat seseorang merasa mampu, merasa diterima, dan punya kendali atas pilihannya.

Dalam konteks ini, anak akan termotivasi ketika belajar merupakan pilihannya sendiri, usaha belajarnya diakui, dan merasa dekat dengan pengajarnya.

Merujuk teori tersebut, seorang anak harus diberi kebebasan dalam mengembangkan metode belajarnya. Hal ini harus menjadi pedoman dan dilakukan orang tua dan guru secara kontinyu.

Sebagai contoh, guru dapat membebaskan anak memilih cara dalam menjawab pertanyaan, memuji usaha mereka meski hasilnya belum sempurna, dan tetap bersabar ketika anak lambat memahami materi.

Di rumah, orang tua dapat memberikan pilihan kapan anak ingin belajar, aktif bertanya serta mendengarkan cerita mereka tentang aktivitas di sekolah, atau sekadar menemani anak tanpa menghakimi saat anak melakukan kesalahan.

Melalui langkah-langkah itu, anak akan benar-benar merasa guru dan orang tua hadir untuk mendukung mereka dalam belajar. Alhasil, aktivitas belajar pun menjadi kegiatan yang dilakukan anak secara sukarela tanpa paksaan.

Supaya Anak “Ingin Belajar”

Strategi untuk mulai menumbuhkan motivasi belajar pada anak di tengah godaan gawai sudah diketahui. Tantangannya sekarang adalah bagaimana caranya memastikan lingkungan mereka kondusif, sehingga motivasi siswa untuk belajar terus tumbuh bahkan berkembang secara kontinyu.

Sejumlah pihak telah mencoba menjawab tantangan ini, seperti yang dilakukan Tanoto Foundation melalui pengembangan kapasitas guru dan orang tua agar mampu menciptakan pembelajaran yang lebih menarik.

Tak hanya berfokus pada peningkatan kemampuan mengajar, langkah Tanoto Foundation tersebut juga berupaya membangun ekosistem yang membuat siswa “ingin belajar”, bukan sekadar “harus belajar”.

Upaya ini menunjukkan hasil positif di Sumatera Utara. Setelah melalui serangkan pelatihan, para guru lebih percaya diri dan kreatif dalam mengajar. Mereka mampu menghadirkan suasana kelas yang menyenangkan dan interaktif. Selama proses belajar, guru mengarahkan siswa dengan sabar; menekankan pentingnya proses alih-alih hanya hasil akhir.

Sejalan dengan itu, pendekatan serupa juga menyentuh peran orang tua. Di Kecamatan Naman Teran, Kabupaten Karo, kegiatan pendampingan dilakukan dengan mengajak para orang tua menjadikan aktivitas belajar sebagai bagian dari rutinitas keluarga.

Mereka dilatih agar berani berinisiatif menciptakan kegiatan literasi dan numerasi sederhana di rumah tanpa harus menunggu pekerjaan rumah dari sekolah.

Ibu-ibu pun mengajak anak menghitung bahan masakan di dapur atau menaksir jarak saat pergi ke ladang. Ini membuat aktivitas belajar terasa alami dan menyenangkan.

Sejumlah orang tua menyatakan sebelumnya merasa tidak mampu membantu anak belajar. Namun setelah mendapatkan panduan aktivitas mingguan dalam pendampingan Tanoto Foundation, mereka menjadi lebih percaya diri memandu belajar anak.

“Sekarang malah anak saya yang mengajak belajar,” ujar seorang ibu sambil tersenyum menceritakan hasil pelatihan itu.

Motivasi belajar tumbuh melalui metode dan lingkungan belajar yang menyenangkan, menggugah, dan dekat dengan keseharian anak. Guru dan orang tua memiliki peran penting untuk menghadirkan metode dan lingkungan kondusif tersebut pada siswa.

Rasa percaya diri dan semangat yang muncul dari guru dan orang tua juga akan diserap anak, sehingga menebalkan motivasi belajar.

Anak-anak pun pada akhirnya dapat menikmati proses belajar. Mereka berani untuk mencoba, melakukan berbagai eksplorasi, dan tidak khawatir melakukan kesalahan saat belajar.

Dari praktik baik ini terlihat bahwa ketika ada ruang aman selama proses belajar, motivasi belajar anak dapat tumbuh dengan sendirinya. Bukan karena paksaan, melainkan karena rasa senang dan makna yang mereka temukan.

Dengan demikian, sesusah apapun pelajaran dan tugas yang diberikan tidak menjadikan mereka kapok apalagi enggan belajar. Ini malah memicu mereka untuk lebih giat belajar lagi.

Dalam jangka panjang, semangat belajar yang terpelihara inilah yang akan berkontribusi langsung pada peningkatan kemampuan literasi dan numerasi siswa, bahkan mencegah generasi masa depan Indonesia dari ancaman brainrot karena terlalu banyak penggunaan gawai di era digital ini.***

*Penulis merupakan Tanoto Foundation Fellows

Berita kiriman dari: Arief Rahman Nur Fadhilah

Baca Juga

Rekomendasi