 
								Dokter spesialis bedah saraf RSU Royal Prima, dr. Tommy Rizky Hutagalung, M.Ked (NeuSurg), Sp.BS., FINPS., FMD, dari Prima Parkinson Center (Analisadaily/Istimewa)
							 
							Analisadaily.com, Medan - Tidak sedikit masyarakat yang mengira tangan gemetar hanya tanda kelelahan atau stres. Padahal, gejala tersebut bisa menjadi tanda awal penyakit Parkinson — gangguan saraf progresif yang menyebabkan tubuh kaku, gerakan melambat, dan keseimbangan terganggu. 
Dokter spesialis bedah saraf RSU Royal Prima, dr. Tommy Rizky Hutagalung, M.Ked (NeuSurg), Sp.BS., FINPS., FMD, dari Prima Parkinson Center, mengingatkan pentingnya kewaspadaan dan deteksi dini terhadap penyakit ini.
									
“Penyakit Parkinson adalah gangguan neurodegeneratif progresif yang ditandai dengan hilangnya sel-sel saraf penghasil dopamin di otak, tepatnya pada bagian substantia nigra pars compacta,” jelas dr. Tommy, Jumat (31/10).
Menurutnya, secara klinis penyakit ini menyebabkan gejala motorik seperti perlambatan gerak (bradikinesia), kekakuan otot, tremor saat istirahat — terutama di tangan — serta gangguan keseimbangan dan postur tubuh.
“Dalam istilah sederhana, Parkinson membuat tubuh sulit bergerak cepat, menjadi kaku, dan sering disertai gemetar,” ujarnya.
Selain gangguan motorik, dr. Tommy menambahkan, pasien juga sering mengalami gejala non-motorik seperti gangguan tidur, sembelit, hilangnya penciuman (anosmia), gangguan kognitif, depresi, hingga gangguan fungsi tubuh otomatis (disautonomia).
“Parkinson bukan hanya soal gerakan, tapi juga bisa memengaruhi suasana hati, tidur, bahkan fungsi pencernaan,” katanya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa prevalensi penyakit Parkinson meningkat secara global dan kini menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius.
“Kasus Parkinson meningkat seiring bertambahnya usia penduduk dunia. Faktor risiko utama adalah usia lanjut, dengan prevalensi melonjak setelah 60 tahun,” jelasnya.
Selain faktor usia, dr. Tommy menyebut peningkatan diagnosis dini, kesadaran medis, serta faktor lingkungan dan genetik turut berperan dalam meningkatnya jumlah kasus. 
“Tren ini menuntut sistem kesehatan yang lebih siap dalam hal deteksi dini, layanan perawatan jangka panjang, dan dukungan sosial bagi pasien,” ujarnya.
Dalam penatalaksanaan medis, Parkinson tidak bisa disembuhkan, namun gejalanya dapat dikendalikan.
“Pengobatan bersifat multimodal dan bertujuan untuk memperbaiki kualitas hidup pasien,” katanya.
Menurut dr. Tommy, terapi farmakologis menjadi langkah utama, seperti penggunaan obat yang meningkatkan atau meniru efek dopamin — misalnya levodopa, agonis dopamin, inhibitor MAO-B, dan inhibitor COMT. Namun, seiring waktu, efektivitas obat dapat menurun, disertai munculnya fluktuasi motorik.
“Karena itu, terapi non-obat seperti fisioterapi, terapi okupasi, latihan bicara, serta dukungan nutrisi dan psikologis juga sangat penting,” jelasnya. 
“Untuk pasien dengan gejala berat yang sulit dikendalikan, tindakan bedah seperti stereotactic brain lesioning (SBL) dan deep brain stimulation (DBS) dapat menjadi pilihan,” sambungnya.
Di akhir penjelasannya, dr. Tommy menekankan pentingnya dukungan keluarga dan pendekatan multidisiplin.
“Parkinson memang tidak bisa disembuhkan, tapi bisa dikendalikan. Dengan pengobatan tepat dan dukungan lingkungan yang baik, pasien tetap bisa menjalani hidup aktif, produktif, dan bermakna,” pungkasnya.
(RZD)