 
								Burhanuddin diabadikan bersama anak-anak di Rumah Baca Kampung Nelayan Sebrang (Analisa/qodrat al qadri)
							 
							Kisah Burhanuddin Saragih dan Sahriaman Harahap yang Menjadi Energi untuk Menyalakan Harapan Masyarakat Kampung Nelayan Sebrang.
Senja perlahan menurunkan tirainya di Kampung Nelayang Sebrang, Kecamatan Belawan, Sumatera Utara. Cahaya jingga memantul lembut di permukaan air laut yang tenang, menciptakan kilau keemasan di antara riak-riak kecil. Di atas papan kayu yang menjadi jalan utama kampung, beberapa lelaki tampak tekun menambal jaring ikan yang kusut, sementara yang lain sibuk memperbaiki sampan mereka yang bersandar di depan rumah panggung. Bau asin laut berpadu dengan aroma ikan asin yang dijemur sejak siang, menghadirkan wangi khas pesisir yang akrab di hidung. Di sisi lain, para istri nelayan bergegas mengangkat jemuran sebelum azan magrib menggema dari surau kecil di tepi laut.
Setelah azan usai, suasana kampung perlahan berubah. Anak-anak berlarian menuju sebuah bangunan sederhana bercat hijau. Jaraknya tak jauh dari Masjid Baiturarahman yang menjadi satu-satunya masjid di Kampung Nelayan Sebrang. Bangunan sederhana itu disebut warga dengan Rumah Baca Kampung Nelayan. Sudah dua tahun belakangan ini, ruangan berukuran 12x14 meter ini setiap malamnya di isi dengan kegiatan anak-anak nelayan belajar. Dinding ruangannya terbuat dari papan. Atapnya kopak kapik. Meski begitu, dari ruangan ini, banyak mimpi yang sedang dibangun oleh ratusan anak-anak Kampung Nelayan Sebrang.
											
												 
												Anak-anak Kampung Nelayan berbagai usia dari anak hingga remaja mendapatkan pembelajaran ilmu hafal surah, dan koreksi bacaan oleh Burhanuddin. analisadaily/qodrat alqadri
											 Di dalam rumah baca, ada dua sosok nelayan yang sudah tak muda lagi duduk bersila. Yang satu memakai baju koko cream dan satu lagi memakai kaos hitam. Dua-duanya mengenakan lobe di atas kepalanya sambil menyimak suara anak-anak yang melantunkan hafalan Surat Ar-Rahman. Mereka adalah Burhanuddin Saragih (56) dan Sahriaman Harahap (58). Keduanya merupakan nelayan yang menolak menyerah pada nasib, dan memilih menjadi lentera bagi generasi muda di kampung nelayan.
Burhanuddin sendiri datang ke Kampung Nelayan Sebrang sejak tahun 2005. Di tahun ini pula ia memutuskan menetap di kampung kecil itu bersama tiga anaknya. Istrinya sudah meninggalkan ia lebih dulu. Pekerjaannya nelayan, tapi ia juga ahli dalam hal kelistrikan. Saat memutuskan tinggal di Kampung Nelayan Sebrang, pria yang akrab disapa Wak Udin itu miris melihat perilaku warga kampung yang membuang sampah sembarangan.
“Dulu mereka langsung saja membuang sampah dari depan pintu rumahnya ke laut. Dan saya enggak tahan lihatnya. Akhirnya saya pungut satu-satu,” kenangnya saat bercerita, Minggu (19/10/2025).
Awalnya warga menganggap sepele terhadap apa yang dilakukan Burhanuddin. Tetapi ia tetap tekun mengutip, memilah dan menjual botol plastik yang ia dapat dari depan rumah warga di Kampung Nelayan Sebrang. Setelah dijual ia membagi keuntungannya tetangga. Bantuan itu bisa membayar uang sekolah anaknya atau membeli beras. Bantuan ini untuk menanamkan kesadaran kepada tetangganya bahwa sampah juga bisa bernilai.
Perlahan, usaha ia itu membuahkan hasil. Beberapa warga mulai mengikuti jejaknya. Hingga Agustus 2024, Burhanuddin mendirikan Bank Sampah Horas Bah di Kampung Nelayan Sebrang. Pendirian Bank Sampah Horas Bah ini tidak terlepas dari peran PT Pertamina Persero dalam Kampung Pesisir Berdaya (KABAYA). “Saya dikenalkan kepling sama Pertamina. Baru akhirnya bank sampah ini terwujud,” ujarnya.
											
												 
												Burhanuddin berpose didekat tumpukkan sampah yang telah dikumpulkan, namun belum dipilah di Bank Sampah Horas Bah, Kampung Nelayan Seberang, Sumut, Minggu 26 Oktober 2025. analisadaily/qodrat alqadri
											 Setelah setahun berdiri, masyarakat Kampung Nelayan Sebrang lebih intens mengumpulkan sampah. Jauh berbeda dengan kebiasaan mereka sebelumnya. Dari 700 kepala keluarga yang ada di kampung itu, paling tidak sudah lebih 30 kepala keluarga kata Burhanuddin sadar untuk menyetorkan sampah rumah tangganya ke Bank Sampah Horas Bah. Bagi Burhanuddin ini memang masih jauh dari targetnya. “Ini masih angka yang kecil. Pelan-pelan kita bisa menyadarkan yang lain,” katanya.
Meskipun aksinya masih menyadarkan sebagian warga Kampung Nelayan Sebrang, tak mengurangi semangat Burhanuddin untuk terus mengubah perilaku para nelayan di sana. Paling tidak kata Burhanuddin, sudah ada delapan ibu rumah tangga di kampung itu yang terbantu secara ekonomi dari kehadiran Bank Sampah Horas Bah. Mereka setiap harinya bekerja memilah sampah plastik dan mengolah sampah menjadi lebih bernilai. Dengan mesin pencacah bantuan PT Pertamina, mereka telah berhasil mengubah limbah menjadi tas, meja belajar dan berbagai kerajinan lainnya.
“Hasilnya belum dijual luas, tapi sudah kami pamerkan. Buat bingkisan tamu, buat bukti kalau dari sampah pun kita bisa menghasilkan,” ujar Burhanuddin tersenyum.
Pendapatan tambahan mereka sekitar Rp200 ribu per bulan, kecil namun berarti. Bagi ibu-ibu di kampung yang hidup dari laut, jumlah itu sangat membantu pendapatan suaminya yang tak menentu.
Masalah lain
											
												 
												Burhanuddin saat membersihkan kotoran panel surya secara berkala yang ada di atas Bank Sampah Horas Bah. PLTS ini dihadirkan PT Pertamina untuk operasional bank sampah agar lebih produktif dan ekonomis Analisadaily/qodrat al qadri
											 Bukan hanya persoalan sampah, banyak masalah lain yang menjerat Kampung Nelayan Sebrang. Sebagai daerah yang terpencil, jaringan listrik PLN di kampung ini juga sering bermasalah. Akibatnya listrik sering padam dan membuat para nelayan tak bisa beraktivitas. Bahkan kadang dalam seminggu bisa dua hari listrik padam.
“Kalau mati listrik, kampung ini gelap total. Jalannya papan, bawahnya laut. Di sini banyak lansia, kita takutnya jatuh ke laut,” katanya.
Kegelapan itu mematikan banyak hal, termasuk produksi bank sampah berhenti, mesin tak bisa beroperasi, anak-anak tak bisa mengaji dan belajar di rumah baca. Bahkan para nelayan juga tak bisa melaut. Mereka tak bisa mengecas baterai yang dipakai untuk penerangan saat pergi melaut.
“Harus menyebrang dulu ke Belawan. Naik sampan dulu baru kita ngecas baterai. Dan itu harus kita tunggu hampir seharian di sana, baru bisa balik lagi ke sini dan mencari ikan,” kata Burhanuddin.
Bahkan untuk rumah baca, kalau listrik sudah mati, maka anak-anak tak belajar. Atau kadang pembelajaran dipindahkan ke masjid. Mereka bersyukur, karena pada November 2024, Pertamina kembali datang membantu masyarakat Kampung Nelayan Sebrang. Pertamina membawa Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas 4.400 VA. Keahlian listrik yang ia miliki menjadikan Burhanuddin salah satu operator untuk PLTS tersebut. Baru-baru ini dia mendapat pelatihan operasional PLTS di Jakarta. “Kalau tidak ada ini, mana bisa saya sampai Jakarta,” katanya.
Saat ini, PLTS tersebut diletak di Bank Sampah Horas Bah. Kegunaan tenaga surya ini salah satunya untuk operasional Bank Sampah Horas Bah agar lebih produktif dan bernilai ekonomis. Tetapi ternyata, PLTS ini bukan hanya membantu operasional Bank Sampah, melainkan mengubah wajah Kampung Nelayan Sebrang.
PLTS tersebut kini menjadi pusat energi baru di kampung mereka. Menerangi kampung, menghidupkan mesin pencacah bank sampah, memberi penerangan rumah baca, dan menjadi tempat nelayan bergantung untuk mengecas baterai sebelum pergi melaut.
“Kalau dulu mau melaut harus nyebrang ke Pelabuhan Belawan cuma buat ngecas baterai, sekarang cukup di kampung,” sambung Sahriaman Harahap, seorang nelayan yang juga menjadi penerang di kampung itu.
Sahriaman tinggal di kampung itu sejak 1970. Mulai tahun 1990 ia sudah menjadi nelayan. Baginya baterai itu penting untuk nelayan. Saat malam, nelayan menyalakan lampu di kapal untuk menarik cumi-cumi. Tanpa baterai, mereka tak bisa melaut. Kini, berkat PLTS, mereka bisa berlayar lebih hemat, lebih aman, dan lebih tenang tanpa takut listrik mati berhari-hari.
											
												 
												Berlatar rumah panggung, anak-anak di Kampung Nelayan Sebrang melintas berjalan ke rumah baca untuk belajar mengaji dan berteater/Analisadaily/qodrat al qadri
											 “Dulu kalau mati listrik, kampung seperti mati suri. Kita enggak bisa ngecas baterai. Sekarang ada PLTS, kalau listrik pada, numpang ngecas di sini,” ujarnya.
Rumah baca di tengah laut
Jika Burhanuddin menyalakan cahaya dari sampah dan panel surya, maka Sahriaman menyalakannya dari ilmu dan kasih sayang. Selain berprofesi sebagai seorang nelayan, Sahriaman juga merupakan pendiri dari Rumah Baca Kampung Nelayan Sebrang. Ia dibantu oleh Burhanuddin yang mantan BKM Masjid.
Rumah baca ini didirikan ia sejak dua tahun lalu. “Lupa tanggal pastinya. Yang pasti yang membantu saya Wak Udin,” ujar Sahriaman sambil menunjuk Burhanuddin.
Pendirian rumah baca ini bermula dari keprihatinan Sahriaman terhadap kondisi anak-anak di kampung itu. Banyak yang putus sekolah, terjerumus ke judi online dan terlibat penyalahgunaan narkoba, bahkan tak sedikit juga anak-anak di kampung itu yang hanya bermain di dermaga tanpa arah.
“Ada anak-anak yang saya tanya, masih mau sekolah? Mereka bilang ‘mau, wak’. Dari situ saya terpanggil,” tutur Sahriaman.
Awal mendirikan rumah baca hanya ada 20 anak, kini dua tahun berdiri, sudah lebih dari 125 anak yang datang setiap malam dengan penuh harapan agar masa depan mereka bisa lebih cerah. Di ruangan sederhana itu, semangat mereka tak pernah padam. Mereka belajar mengaji, membaca, bahkan bermain teater. Semuanya gratis. Tidak pernah dipungut biaya oleh Sahriaman maupun Baharuddin. Mereka juga dibantu oleh guru-guru dari kampung itu sendiri.
“Ini kebetulan listrik lagi menyala. Kalau mati, maka kami gunakan panel surya Pertamina,” katanya.
Banyak harapan yang ia ingin ia wujudkan dari kampung kecil itu. Ia ingin anak-anak di kampung itu tak bernasib sama dengan ia dan Burhanuddin. Ia ingin anak-anak itu tumbuh dengan harapan baru. Mereka bisa mendapat pendidikan dan bisa bercita-cita setinggi apapun. Meski pendidikan mereka berdua hanya tamat sekolah dasar, mereka berdua ingin anak-anak di Kampung Nelayan Sebrang bisa tamat perguruan tinggi.
“Kalau kita sudah seperti ini. Anak-anak di sini harus jadi orang hebat. Mengajaknya juga harus pakai cara berbeda. Dan saya yakin, perjuangan kami tidak akan pernah sia-sia,” kata Sahriaman.
Keduanya sadar bahwa perjuangan yang dilakukan mereka tidak mudah. Tapi dari usaha yang telah mereka lakukan, paling tidak, Ain seorang anak nelayan yang berumur 12 tahun tidak takut bermimpi menjadi guru dan youtuber.
“Cita-citanya jadi guru. Cuma mau jadi youtuber juga,” katanya. Ain sudah beberapa kali mendapatkan pelatihan teater di Rumah Baca Nelayan Sebrang. Setiap hari Ain sekolah menyebrang lautan. “Sekolahnya di SMP Hang Tuah. Tiap hari nyebrang pakai sampan,” katanya.
Selain bercita-cita menjadi seorang guru, Ain berharap juga bisa kuliah dan mendapatkan beasiswa. Harapan ini ia mimpikan agar ia bisa mengubah nasib orangtuanya dan keluar dari kemiskinan di Kampung Nelayan Sebrang.
Saat ini rumah baca tersebut memang belum tersentuh banyak bantuan. Kehadiran rumah baca diharapkan bisa menjadi penerang bagi anak-anak di Kampung Nelayan Sebrang. Pun begitu Bank Sampah Horas Bah. Program yang diinisiasi oleh PT Pertamina Patra Niaga Fuel Terminal Medan ini diharapkan sebagai inovasi sosial untuk mengatasi tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Kampung Nelayan Seberang.
Senior Supervisor Corporate Social Responsibility (CSR) Pertamina Region Sumbagut, Agustina Mandayati mengatakan ada beberapa permasalahan di Kampung Nelayan Sebrang. Pertama, masalah lingkungan, yakni akumulasi sampah yang parah akibat pasang surut air laut dan kurangnya sistem pengelolaan sampah yang optimal, mengancam kesehatan dan kebersihan lingkungan.
Kedua, kesulitan akses ekonomi dan pangan. Lokasi pemukiman yang terisolasi (hanya bisa diakses via perahu) menyebabkan tingginya biaya pasokan pangan, yang berdampak langsung pada rendahnya ketahanan pangan dan kerentanan ekonomi masyarakat.
“Kenapa kita fokus ke sini, karena berbagai permasalahan tadi. Dan di sini tinggi kelompok rentan, seperti nelayan, buruh, lansia dan janda,” katanya.
Pertamina juga memastikan program ini berkelanjutan melalui strategi yang berfokus pada sirkular ekonomi dan pemberdayaan masyarakat, yang diimplementasikan melalui tiga model program, yakni lewat Bank Sampah Horas Bah, bisa mengubah sampah menjadi peluang ekonomi (seperti budidaya maggot, pupuk organik, serta furniture sederhana). Kemudian ketahanan pangan, yakni membangun suplai pangan bergizi secara lokal (ikan dan sayuran), sehingga mengurangi ketergantungan pada pasokan luar yang memerlukan biaya tinggi dan memperkuat ekonomi lokal.
“Dan terakhir adalah pemberdayaan UMKM yakni menciptakan nilai tambah ekonomi yang memberdayakan kelompok rentan dengan meningkatkan keterampilan mereka,” ujar Agustina.
Jika program ini berhasil, maka tidak tertutup kemungkinan program yang sama akan dilakukan Pertamina untuk menyasar wilayah pesisir lainnya. Mereka berharap ada sosok seperti Burhanuddin dan Sahriaman lain yang menjadi energi dan penerang di daerah pesisir.
 
 
 
		
			Penulis:  Nirwansyah Sukartara
Editor:  Bambang Riyanto