Analisadaily.com, Medan - Di usia delapan tahun, bocah kecil bernama Marojahan Andrian Manalu sudah terbiasa melihat para seniman besar keluar-masuk Taman Budaya Sumatera Utara. Rumah orang tuanya berdiri tepat di seberang tempat para maestro berpentas, berdiskusi, dan berdebat tentang karya. Di situlah semua bermula. “Aku memang hidup dari lingkungan Taman Budaya,” kenang Ojax, sapaan akrabnya, Sabtu (3/11/2025).
Sejak kecil, hidupnya bersinggungan dengan panggung, suara gendang, dan aroma cat di balik layar. Orang tuanya berjualan di sekitar taman budaya. Dari mengantar makanan dan rokok untuk para seniman, Ojax kecil menyerap atmosfer seni yang hidup di sekitarnya. “Dari SD kelas dua, aku sudah tahu karya-karya para maestro. Walaupun belum berkesenian, tapi aku sudah terbiasa dengan dunia itu,” ujarnya.
Kini, di usia hampir empat puluh, nama Ojax Manalu dikenal luas di lingkaran seni pertunjukan Medan dan sekitarnya sebagai pengajar teater, art director, project manager Air In Arts, ketua Rumah Karya Indonesia (RKI), ketua Begawai Nusantara, stage manager, hingga konsultan festival. Lebih dari dua dekade ia menekuni dunia seni lewat jalur nonformal, menempuh pendidikan tinggi di bidang hukum hak cipta, dan kemudian menyelesaikan Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
Perjalanan Ojax tak selalu mulus. Ia sempat harus berhenti sekolah karena masalah keluarga. “SMA aku nggak selesai,” katanya jujur. Ia lalu bekerja di sebuah SPBU di Medan. Pagi bekerja, malam latihan teater. “Itu masa yang berat, tapi aku nggak mau lepas dari kesenian,” kenangnya.
Selepas itu, ia bergabung dengan komunitas teater Plot, lalu memutuskan untuk total di dunia seni. Ia menyelesaikan pendidikan lewat paket C, dan melanjutkan kuliah sambil terus berkarya. “Aku bekerja, latihan, membangun jaringan, dan mengelola kegiatan seni. Dari situ aku belajar banyak hal tentang tata kelola dan relasi lintas daerah,” ujarnya.
Keputusannya untuk total di dunia seni membawanya ke banyak panggung, dari Medan hingga Jerman. Tahun 2013, bersama kelompok teater Plot, ia melakukan tur Eropa. “Pulang dari Jerman, aku merasa harus lebih leluasa dan punya ideologi yang lebih tajam untuk anak muda,” ucapnya.
Rumah Karya Indonesia: Gerakan dari Medan
Dari gagasan itu lahirlah Rumah Karya Indonesia (RKI) pada 2014. Sebuah komunitas yang fokus pada tiga hal: peta seni, riset, dan publikasi. Produk awal RKI adalah Jong Batak Arts Festival, yang kini sudah berjalan lebih dari satu dekade dan selalu digelar setiap momentum Sumpah Pemuda.
“Semangatnya dari Sumpah Pemuda 1928,” kata Ojax.
“Kami ingin menunjukkan bahwa tradisi ini juga bagian dari Indonesia, dan anak muda perlu melihatnya bukan sebagai sesuatu yang usang, tapi sebagai ruang ekspresi yang sejajar dengan budaya pop," terangnya.
RKI menjadi wadah banyak seniman muda yang mencari ruang tampil, latihan, dan berkembang. Di tengah gempuran budaya digital dan industri hiburan kapitalis, RKI berusaha mempertahankan keseimbangan—antara ideologi dan keberlanjutan ekonomi.
“Anak-anak muda butuh panggung. Mereka latihan tiga bulan, tapi kadang nggak tahu mau tampil di mana. Nah, ruang itu yang kami sediakan,” jelasnya.
Jika ditanya tantangan terbesar dalam perjalanan panjangnya, Ojax tidak menyebut soal dana, fasilitas, atau pengakuan. Jawabannya sederhana tapi berat: komitmen.
“Yang paling berat itu bukan kekurangan dana, tapi mempertahankan komitmen,” katanya pelan. Ia melihat banyak kawan seniman yang berhenti di tengah jalan, entah karena masalah keluarga, pekerjaan, atau kehilangan arah. “Aku bisa bertahan karena komitmen. Orang mau bekerja sama, pemerintah mau berdialog, itu karena mereka tahu aku konsisten,” ujarnya.
Namun di balik kesungguhan itu, Ojax juga manusia biasa. Ia memahami betul bahwa seniman juga punya tanggung jawab sosial dan keluarga. “Aku belajar dari banyak peristiwa. Ada seniman besar yang meninggal sendirian di Taman Budaya, tanpa keluarga. Aku nggak mau seperti itu. Kesenian harus jalan, tapi keluarga juga harus stabil,” katanya.
Sebagai pegiat yang juga paham dunia tata kelola, Ojax tahu bagaimana menyeimbangkan idealisme dengan realitas. “Kota ini belum bisa menghargai kesenian, tapi sangat menghargai entertainment,” katanya getir. Karena itu, ia belajar mengelola dua sisi: ideologis dan industrial.
“Aku punya ideologiku sendiri, tapi juga industrialku. Kalau orang memakai pengetahuanku untuk proyek industri, aku tahu cara mengelolanya. Jadi seniku tetap hidup, tapi keluarga juga aman," bebernya.
Ojax juga aktif menjalin kemitraan dengan berbagai lembaga, termasuk perusahaan lewat program CSR. Ia pernah menggagas program Api Teater bersama PLN di Silalahi, dan mendirikan sanggar di Toba bersama Inalum. “CSR itu bisa menjadi pintu bagi pemberdayaan masyarakat lewat kesenian,” katanya.
Meski telah menginspirasi banyak seniman muda, Ojax belum berhenti bermimpi.
“Mimpiku sederhana,” katanya. “Aku ingin punya gedung sendiri, ruang pertunjukan yang bisa jadi basecamp buat kawan-kawan daerah. Mereka datang, tampil, tinggal, tanpa harus bingung nyari tempat," akunya.
Lebih jauh lagi, ia ingin melihat Medan dan Sumatera Utara kembali bersaing secara nasional. “Kita punya potensi besar. Cara berpikir senimannya nggak kalah. Tapi fasilitas dan dukungannya yang lemah. Itu yang harus diperbaiki,” ujarnya.
Kini, setelah hampir 25 tahun menapaki jalan sunyi kesenian, Ojax tak hanya dikenal sebagai pekerja seni di belakang layar, tapi juga sebagai penggerak, yang menyalakan api semangat bagi generasi berikutnya. “Aku cukup senang, walau belum puas,” katanya tersenyum.
“Karena setidaknya, hari ini, ruang-ruang seni itu sudah ada. Dan kita tidak perlu lagi menunggu izin untuk bermimpi," pungkasnya.
(DEL)











