Elemen Masyarakat Pertembakauan Soroti Raperda KTR Medan: Perlu Ditinjau Dampak Sosio Ekonomi

Elemen Masyarakat Pertembakauan Soroti Raperda KTR Medan: Perlu Ditinjau Dampak Sosio Ekonomi
Elemen Masyarakat Pertembakauan Soroti Raperda KTR Medan: Perlu Ditinjau Dampak Sosio Ekonomi (Analisadaily/Reza Perdana)

Analisadaily.com, Medan - Perwakilan berbagai elemen ekosistem pertembakauan menghadiri rapat dengar pendapat umum (RDPU) yang diinisiasi oleh Panitia Khusus Rancangan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Pansus Ranperda KTR) DPRD Kota Medan, Senin (10/11).

Di antara elemen yang hadir adalah Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Kota Medan, Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) Sumatera Utara, Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan, dan Minuman (FSP RTMM) Sumatera Utara.

Selain itu, turut hadir juga Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Sumatera Utara dan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sumatera Bagian Utara.

Dalam rapat tersebut, APPSI Kota Medan menyampaikan harapan agar DPRD Kota Medan dapat meninjau ulang pasal-pasal di dalam Ranperda KTR tersebut yang melarang total penjualan produk tembakau bagi pedagang, baik pedagang kecil, di pasar, pedagang kaki lima, warung kelontong hingga asongan. Sebab, pedagang-pedagang ini tengah merasakan dampak kondisi sosio ekonomi yang sulit saat ini.

"Jangan sampai Raperda KTR ini dirancang justru untuk menyakiti usaha rakyat kecil. Kami selama ini mandiri dan menggerakkan ekonomi Medan, kenapa malah ditindas dengan pelarangan penjualan yang membebani? Perlu dipahami bahwa kami berdagang adalah untuk menyambung hidup, bukan mengajari orang merokok," tegas Siddiq, Ketua DPD APPSI Kota Medan.

Siddiq memaparkan, saat ini di bawah naungan PD Pasar terdapat 52 unit pasar tradisional di Kota Medan, yang rata-rata berisi 200-350 pedagang di tiap pasar. Jika larangan total penjualan rokok di tempat umum seperti pasar diberlakukan, maka 18.000 pedagang akan merasakan dampak secara langsung.

"Larangan penjualan ini akan mengurangi pendapatan pedagang kecil, bahkan bisa menghilangkan mata pencaharian. Apa solusi dari DPRD Kota Medan untuk mengganti kehilangan kami ini?" tambahnya.

Pada kesempatan yang sama, P3I Sumatera Utara juga menolak pasal pelarangan pemasangan iklan media luar ruang produk tembakau dalam radius 500 meter dari seluruh KTR.

"Ini berimbas langsung pada keberlangsungan usaha sektor iklan. Habis semua titik iklan kami, tidak bisa beriklan satu Kota Medan. Di mana di Kota Medan ini yang tidak berada di dalam radius 500 meter dari KTR?” ujar Harry Pulungan, Sekretaris Jenderal P3I Sumatera Utara.

“Kami bukan anti aturan. Tapi bagaimana kami bisa hidup dengan larangan reklame dalam Raperda KTR ini? Masa kami harus pasang iklan di langit?" kata Harry menambahkan.

Padahal, menurutnya, selama ini iklan rokok berkontribusi besar terhadap pendapatan asli daerah (PAD) Kota Medan. Kontinuitasnya yang jelas juga membantu keberlangsungan usaha dan tenaga kerja yang terlibat di sektor reklame.

"Kami selalu taat dengan aturan yang berlaku. Termasuk tambahan pajak 25% yang dikenakan untuk iklan rokok. Larangan ini sangat memukul dan mematikan sektor periklanan," ucap Harry.

Terpisah, ahli hukum tata negara dari Universitas Sumatera Utara, Dr. Mirza Nasution menekankan bahwa legislatif dan eksekutif harus mengakomodir aspirasi masyarakat dalam menggodok Raperda KTR ini.

"Pansus Raperda KTR harus mampu memastikan bahwa rancangan yang disusun relevan dengan realitas di Kota Medan. Mereka perlu memaparkan data yang valid dan representatif terhadap kondisi riil, yang menunjukkan bahwa ada urgensi masalah sehingga Raperda KTR ini harus dibuat," kata Mirza.

Ia menjelaskan, regulasi dapat dibuat jika ada hal yang menggambarkan adanya dinamika atau perubahan yang secara nyata menyangkut kepentingan banyak orang.

"Bukan hanya untuk segelintir orang, tapi harus menjawab kebutuhan masyarakat secara menyeluruh. Raperda KTR ini harus dilengkapi kajian dan data yang jelas, yang dituangkan dalam naskah akademik (NA) atau daftar inventaris masalah (DIM) yang wajib dibuka legislatif dan eksekutif dan dipublikasikan ke masyarakat," jelas dosen yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) ini.

Mirza juga menambahkan bahwa pemerintah daerah, dalam hal ini DPRD dan Pemko Medan harus mampu menemukan titik seimbang dan memfasilitasi seluruh stakeholder.

“Harus equal pengaturan antara hak dan kewajiban. Tapi perlu ditekankan, sifatnya adalah pengaturan, bukan pelarangan," tutupnya.

(JW/RZD)

Baca Juga

Rekomendasi