Analisadaily.com, Medan-Di balik derasnya arus pekerja migran asal Sumatera Utara, berbagai persoalan mendasar dalam proses perekrutan kembali mencuat.
Lokakarya dan Pelatihan Fair Recruitment yang digelar KP2MI bersama Pemprov Sumut, ILO, JBM, dan APINDO, Senin 17 November 2025 menegaskan satu hal sumber masalah perlindungan PMI paling banyak justru terjadi sebelum mereka berangkat.
Data demi data dipaparkan. Sumut kini menjadi provinsi asal PMI terbesar ketujuh nasional, sekaligus provinsi kedelapan dengan kasus pelanggaran terbanyak. Polanya berulang—mulai dari informasi lowongan yang menyesatkan sampai pemotongan gaji dan penahanan dokumen.
“Kita bicara soal pilar ekonomi keluarga, tapi mereka masih menghadapi risiko yang sama dari tahun ke tahun,” tegas Kepala Disnaker Sumut, Yuliani Siregar, saat membuka kegiatan.
Mayoritas PMI asal Sumut adalah perempuan, terutama di sektor domestik. Namun di lapangan, pelanggaran justru banyak menyasar kelompok ini: tidak diberi kontrak, gaji rendah, hingga “ditempatkan” dengan dalih magang.
Temuan itu disampaikan langsung Jaringan Buruh Migran (JBM) dan APINDO—menandakan bahwa masalah bukan hanya pada oknum perekrut, tapi pada lemahnya sistem pengawasan yang selama ini bersifat administratif.
“Pendekatannya harus pakai data lapangan, dan perempuan harus punya ruang untuk bersuara,” kata Seknas JBM, Savitri Wisnuwardhani.
Sementara itu ILO melalui Program PROTECT menyoroti pentingnya membangun perlindungan dari akar rumput. Banyak PMI—terutama perempuan dan anak—berangkat tanpa informasi memadai. Itu sebabnya, ILO mendorong pemda memperkuat desa sebagai titik awal pendidikan migrasi aman.
“Kita butuh sistem yang inklusif. Perlindungan tidak bisa hanya dimulai setelah mereka bekerja di luar negeri,” ujar Koordinator PROTECT ILO Indonesia, Sinthia Harkrisnowo.
Sumut sendiri saat ini memiliki 46 perusahaan penempatan PMI namun pengawasan belum terintegrasi."Dengan jumlah P3MI yang mencapai 46 di Sumut, kebutuhan akan pengawasan yang terkoordinasi makin mendesak," sambung Sinthia.
Direktur Layanan Pengaduan dan Advokasi PMI Firman Yulianto, bahkan menyebut banyak kasus bermula dari “cek kosong” proses perekrutan: PMI menandatangani kontrak tanpa tahu isi, biaya ilegal, atau dijanjikan pekerjaan yang berbeda dari kenyataan. “Ini pekerjaan rumah besar. Tapi kita sudah satu meja, artinya langkah perbaikan bisa dipercepat,” tukasnya.
Menuju Pembenahan Tata Kelola Migrasi Kerja
Lokakarya ini menjadi titik temu antara pemerintah, P3MI, pelaku usaha, hingga organisasi masyarakat sipil. Selain mematangkan penyusunan revisi UU PPMI, forum ini juga mendorong lahirnya kode etik P3MI berbasis fair recruitment yang sedang difinalkan JBM dan APINDO.
Tujuan akhirnya jelas: memastikan tiap PMI berangkat dengan perlindungan penuh, informasi yang transparan, dan mekanisme pengawasan yang benar-benar hidup.Karena migrasi kerja bukan hanya soal mencari nafkah—tetapi soal martabat manusia dan keselamatan warga negara
(ARU/NAI)










