Analisadaily.com, Jakarta - Sesepuh masyarakat Simalungun, Dr. Sarmedi Purba, SpOG, menyampaikan keprihatinan mendalam atas situasi yang tengah mengguncang Tanah Simalungun. Di tengah kebanggaan atas penetapan Tuan Rondahaim Saragih sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 116/TK Tahun 2025, Dr. Sarmedi justru mengingatkan bahwa nilai-nilai perjuangan yang diwariskan sang pahlawan kini terancam oleh konflik internal yang mengusik tatanan adat dan sosial masyarakat Simalungun.
Menurutnya, strategi perang Tuan Rondahaim bukan hanya soal angkat senjata, tetapi juga tentang kepatuhan terhadap adat dan istiadat Simalungun. Ia membangun benteng sosial-budaya untuk melawan taktik pecah-belah kolonial Belanda. Namun kini, nilai-nilai itu diuji oleh klaim sepihak atas tanah adat di Nagori Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, yang dilakukan oleh 41 kepala keluarga terhadap ribuan hektare tanah yang selama ini dihuni oleh sekitar 250 kepala keluarga masyarakat asli Simalungun.
Dr. Sarmedi mengingatkan Presiden Prabowo Subianto akan potensi konflik horizontal yang bisa meledak sewaktu-waktu jika isu ini terus dipolitisasi. Ia menilai bahwa klaim tersebut tidak hanya tidak berdasar, tetapi juga mencederai sejarah dan hukum adat Simalungun. Sebagai langkah antisipatif, Aliansi Masyarakat Simalungun telah melaporkan BRM ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), kantor pusat partainya, dan Komnas HAM atas dugaan pelanggaran kode etik dan potensi pelanggaran hak asasi masyarakat Simalungun.
Salah satu pernyataan yang menuai kontroversi adalah klaim bahwa masyarakat Sihaporas telah diberikan lahan dua ribu hektare oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Pernyataan ini langsung dibantah oleh Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA), yang menegaskan bahwa hingga kini belum ada Surat Keputusan Menteri terkait pengakuan Hutan Adat di wilayah tersebut karena belum adanya Peraturan Daerah tentang Hutan Adat di Kabupaten Simalungun.
Ketua Bidang Hukum DPP PPABS, Hermanto H. Sipayung, menyebut klaim tersebut sangat berbahaya karena mencederai sejarah peradaban dan eksistensi hukum adat Simalungun. Ia menegaskan bahwa tanah adat adalah warisan leluhur yang hanya dapat dikelola oleh keturunan asli Simalungun, bukan oleh kelompok yang baru menempati wilayah tersebut.
Dr. Sarmedi juga menanggapi klaim dari kelompok yang mengatasnamakan Lembaga Adat Keturunan Pomparan Ompu Manontang Laut Ambarita Sihaporas (LAMTORAS). Ia menyatakan bahwa sejarah mencatat leluhur marga Ambarita hanya diberi izin untuk bermukim dan bertani, bukan untuk mengklaim tanah tersebut sebagai tanah ulayat mereka. Ia menilai bahwa testimoni dari oknum LSM dan lembaga adat yang menyebut kelompok tersebut sebagai korban pelanggaran HAM justru merupakan bentuk pembalikan fakta.
"Justru kami, masyarakat asli Simalungun, yang menjadi korban pelanggaran HAM akibat klaim sepihak yang tidak memiliki dasar hukum maupun sejarah," tegasnya.
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa tuntutan dari kelompok pendatang tersebut telah merendahkan harkat dan martabat suku Simalungun dengan menyebut ribuan hektare tanah sebagai tanah adat marga Siallagan dan Ambarita. "Ini adalah bentuk vulgar dari pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakat Simalungun," ujarnya.
Direktur Eksekutif NCBI, Juliaman Saragih, menilai bahwa klaim sepihak atas tanah adat di Simalungun merupakan proyek multi-tahun yang terus berulang sejak 2012 hingga 2025. Ia menyebut bahwa substansi dan pola gerakan tersebut tidak pernah berubah, meskipun telah berkali-kali dibantah oleh pemerintah daerah dan kelompok adat. Ia menegaskan bahwa tidak pernah ada pengakuan resmi terhadap masyarakat adat di luar SISADAPUR di wilayah Simalungun.
"Konfirmasi fakta sejarah ini telah disampaikan ke berbagai lembaga politik, kementerian terkait, hingga Presiden Republik Indonesia. Tapi anehnya, klaim sesat ini justru didukung oleh satu-satunya politisi yang berasal dari daerah pemilihan Simalungun. Dukungan politik itu bahkan diterjemahkan selaras dengan kebijakan partainya," pungkas Juliaman.
Di tengah semua kegaduhan ini, Dr. Sarmedi menyerukan agar pengakuan terhadap Tuan Rondahaim Saragih sebagai Pahlawan Nasional dijadikan momentum untuk memperkuat identitas dan kehormatan masyarakat Simalungun.
"Jangan biarkan warisan perjuangan kami dikaburkan oleh kepentingan politik sesaat. Tanoh Simalungun bukan ladang klaim. Ia adalah warisan yang harus dijaga dengan hati," tutupnya.
(NAI/NAI)











