Ketua DPW SHI Sumatera Utara, Hendra Hasibuan (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Batang Toru - Sarekat Hijau Indonesia menyampaikan keprihatinan mendalam atas kerusakan ekologis, banjir bandang, dan hilangnya ruang hidup masyarakat di kawasan Batang Toru.
Ketua DPW SHI Sumatera Utara, Hendra Hasibuan mengatakan, kerusakan tersebut bukan hanya akibat fenomena alam, tetapi buah dari proses panjang ekspansi Industri Ektraktif (perkebunan kelapa sawit, pertambangan emas, dan pembangkit listrik tenaga air), pembukaan hutan, dan alih fungsi lahan yang terjadi sejak awal 1990-an hingga saat ini.
“Sebelum masuknya Industri Ekstraktif, masyarakat di sekitar BatangToru hidup dalam pola sosial-ekologis yang sangat harmonis dengan alam,” kata Hendra, Kamis (27/11/2025).
Disebutkannya, hutan bukan hanya lanskap hijau, tetapi fondasi kehidupan: sumber pangan, air, obat, budaya, sekaligus ruang spiritual. Pertanian tradisional, padi ladang, jagung, ubi, kopi kampung—ditopang oleh sistem agroforestri dengan pohon keras, tanaman rempah, kemenyan, rotan, damar, dan hasil hutan bukan kayu lainnya. Pola pengelolaan lahan ini tidak merusak, justru menjaga stabilitas Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru selama puluhan tahun.
Dalam banyak kesempatan, masyarakat menjelaskan bahwa mereka tidak pernah mengalami banjir besar seperti yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Sungai Batang Toru dahulu stabil, air jernih, dan berfungsi konsisten sebagai sumber kehidupan.
“Hal ini terjadi karena tutupan hutan masih terjaga, tanah masih memiliki daya serap tinggi, dan aktivitas masyarakat dilakukan dengan prinsip selektivitas serta keberlanjutan,” sebutnya.
Namun, sambung Hendra, harmoni tersebut mulai pecah ketika investasi besar masuk membawa logika ekonomi yang berorientasi pada akumulasi modal. Jalan perusahaan dibuka, hutan ditebang, bukit digunduli, dan lahan-lahan ulayat beralih menjadi HGU.
Mesin berat menggantikan tenaga manusia; suara burung berganti dengan deru ekskavator. Pembukaan hutan dalam skala luas menyebabkan tanah kehilangan kemampuan menyerap air, sehingga aliran permukaan meningkat drastis. Dalam kondisi ini, hujan deras sedikit saja mudah berubah menjadi banjir bandang dan longsor.
Kondisi ini juga mencerminkan kegagalan negara dalam menjamin ruang hidup masyarakat, negara seharusnya hadir sebagai pelindung kepentingan publik, namun dalam praktiknya sering kali memihak pada kepentingan investasi besar atau pemodal.
Hendra juga menyoroti kebijakan tata ruang yang tidak berpihak pada rakyat kecil, lemahnya pengawasan terhadap perusahaan, serta pemberian izin yang tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan telah menghasilkan konsekuensi ekologis yang kini harus ditanggung masyarakat.
“Penting untuk dipahami bahwa kerusakan ekosistem Batang Toru bukan hanya kerusakan ekologis, tetapi kerusakan sosial. Ketahanan pangan masyarakat melemah karena hilangnya kebun-kebun campuran dan ruang tanam tradisional. Kemandirian ekonomi terganggu karena masyarakat berubah dari pemilik lahan menjadi buruh di tanah sendiri. Identitas budaya yang selama puluhan tahun menyatu dengan hutan pun tergeser oleh logika pasar,” Hendra menuturkan.
Kini, lanjutnya, ketika banjir bandang menghantam, longsor dan erosi terjadi, tidak hanya melihat rumah-rumah rusak atau lahan hanyut. Tetapi menyaksikan bukti nyata bahwa sistem ekologis ekosistem Batang Toru telah runtuh.
Hulu sungai yang dulu hijau kini gundul; lereng yang dulu kuat kini rentan longsor. Masyarakat yang dulu aman dari bencana kini hidup dalam ketakutan setiap musim hujan tiba.
Oleh karena situasi dan kondisi ini tidak hanya bisa dikaji sebagai bencana alam semata, situasi dan kondisi ini harus dikaji sebagai bencana ekologis.
“Dengan ini Sarekat Hijau Indonesia menegaskan, bahwa situasi ini harus menjadi alarm serius bagi pemerintah daerah maupun nasional. Tidak boleh lagi ada pembiaran terhadap pembukaan lahan baru, tidak boleh lagi ada izin yang diterbitkan tanpa kajian lingkungan yang ketat, dan tidak boleh lagi masyarakat menjadi korban dari kebijakan ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir pihak,” tegasnya.
SHI mendesak pemerintah untuk:
1. Melakukan audit dan mengevaluasi secara menyeluruh terhadap seluruh izin Industri Ektraktif dan alih fungsi lahan (izin yang sudah ada dan izin yang akan diterbitkan di sekitar ekosistem Batang Toru.
2. Menghentikan sementara ekspansi sawit dan kegiatan industri ekstraktif yang berpotensi merusak DAS Batang Toru.
3. Memulihkan kawasan hulu dengan program rehabilitasi hutan berbasis masyarakat.
4. Mengembalikan ruang hidup rakyat, termasuk menguatkan hak kelola masyarakat lokal/adat dan petani lokal.
5. Membangun sistem peringatan dini dan mitigasi bencana yang memadai untuk melindungi warga.
“Kami percaya bahwa ekosistem Batang Toru masih bisa diselamatkan. Namun itu hanya mungkin jika negara berani menata ulang arah pembangunan, menghentikan praktik eksploitasi yang tidak terkendali, dan menempatkan keseimbangan ekologis sebagai fondasi kebijakan,” pungkasnya.
Ekositem Batang Toru pernah menjadi benteng kehidupan. Jangan biarkan berubah menjadi bukti kegagalan manusia menjaga masa depan.
(REL/RZD)