Analisadaily.com, Medan-Anggota DPRD Sumatera Utara sekaligus Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Medan Hasyim SE mendesak pemerintah pusat segera menetapkan musibah banjir dan longsor yang melanda sejumlah propinsi di Indonesia terutama Sumatera Utara sebagai bencana nasional.
Menurutnya, skala bencana yang sudah terjadi tidak lagi memungkinkan penanganan maksimal hanya oleh pemerintah daerah.“Data korban dan tingkat kerusakan sudah memenuhi semua kriteria: korban masif, wilayah luas, serta infrastruktur dan kapasitas daerah kewalahan,” tegas Hasyim.
Diketahui, banjir besar dan longsor melanda sejumlah wilayah seperti Medan, Deliserdang, Langkat, Serdang Bedagai, Sibolga, Humbang Hasundutan, Toba, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Utara. Bencana serupa juga menghantam Aceh, Sumatera Barat, Riau, dan beberapa provinsi lain di Indonesia.
Korban jiwa akibat gelombang banjir dan longsor yang melanda sejumlah provinsi di Pulau Sumatera terus bertambah. Berdasarkan data resmi BNPB per 5 Desember 2025, total sudah 836 orang meninggal, 509 orang hilang, dan sekitar 2.700 orang luka-luka.
Dari angka itu, di Provinsi Sumatera Utara (Sumut) tercatat 311 korban meninggal. Selain itu, kerusakan meluas, misalnya lebih dari 10.500 rumah rusak bahkan rata dengan tanah dihantam banjir dan longsor, serta ratusan fasilitas umum—termasuk jembatan, bangunan publik dan fasilitas sosial—terdampak parah.
Hasyim menilai, lambannya keputusan pemerintah pusat untuk mengakui skala bencana ini berpotensi memperburuk kondisi kemanusiaan. Ia menegaskan bahwa penundaan status bencana nasional bukan hanya soal administratif, tetapi menyangkut nyawa manusia yang membutuhkan percepatan logistik, evakuasi, dan peralatan berat.
“Kita bicara ratusan nyawa hilang, ratusan orang masih hilang, puluhan ribu rumah rusak. Dalam situasi sebesar ini, negara tidak boleh terkesan ragu atau menunggu tekanan publik terlebih dahulu,” katanya.
Ia juga menekankan perlunya investigasi serius terhadap potensi kelalaian struktural, mulai dari tata kelola lingkungan hingga lemahnya pengawasan terhadap perambahan hutan. Menurutnya, tanpa audit lingkungan yang tegas, bencana serupa hanya tinggal menunggu waktu untuk kembali menghantam masyarakat.
“Kalau akar masalahnya tidak dibedah, maka setiap tahun kita akan membuat daftar korban baru. Negara harus berani menindak siapa pun yang merusak hutan, bahkan jika pelakunya memiliki kekuatan ekonomi atau politik,” tegasnya.
Menurut Hasyim, penetapan bencana nasional penting agar seluruh sumber daya negara — mulai dari lembaga pusat hingga TNI/Polri, Kementerian Sosial, BNPB, sampai pemerintah daerah — bisa dikerahkan penuh, tanpa birokrasi provinsi.
“Penanganan lewat level daerah saja sudah tidak cukup,” katanya.
Ia menambahkan distribusi bantuan pangan dan sembako masih tersendat di banyak wilayah terdampak, terutama di daerah terpencil di Sumut seperti Tapanuli Tengah, bagian timur dan pegunungan. “Banyak warga belum kebagian bahan pokok karena jalan rusak atau jembatan hanyut. Ini menunjukkan betapa kritisnya situasi,” ujarnya.
Tak hanya itu, Hasyim juga mengaitkan musibah ini dengan kondisi lingkungan — yakni maraknya perambahan hutan dan illegal logging di hulu sungai dan dataran tinggi. Ia menegaskan bahwa hilangnya hutan memperparah risiko banjir dan longsor. “Hutan sudah rusak, maka air tidak punya resapan — kita seperti memancing bencana secara sistematis,” kata Hasyim.
Sebagai bagian dari PDI Perjuangan, Hasyim mengingatkan instruksi dari ketua umum partainya, Megawati Soekarnoputri, yang lama menyerukan agar kader menanam pohon dan menjaga lingkungan. Menurut Hasyim, kebijakan penghijauan sejatinya bukanlah sekadar slogan, melainkan penyelamat masa depan.
Hasyim menegaskan PDI Perjuangan konsisten mendesak status nasional agar negara hadir secara penuh — bukan hanya lewat bantuan sesaat, tapi juga lewat rekonstruksi, rehabilitasi lingkungan, dan pencegahan jangka panjang. “Kalau memang skalanya nasional, maka tanggung jawabnya juga nasional,” pungkasnya.
Dengan data resmi BNPB kini tersedia, desakan agar bencana ini diakui secara nasional bukan hanya politik — melainkan panggilan kemanusiaan dan tanggung jawab negara.
(ARU/NAI)











