Dari Audit ke Dakwaan: Ujian Presiden Prabowo Serentak Menyeret Korporasi, Pejabat, dan Mafia Alam Sumatera

Dari Audit ke Dakwaan: Ujian Presiden Prabowo Serentak Menyeret Korporasi, Pejabat, dan Mafia Alam Sumatera
Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily.com, Medan - Air bah itu datang seperti keputusan yang sudah lama ditetapkan. Ia tidak berdebat, tidak bernegosiasi. Ia hanya menagih apa yang ditanam manusia selama 20 tahun: hutan yang dibabat, sungai dipersempit, lereng digali, izin diteken tanpa nurani.

Di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, ratusan nyawa terenggut. Jutaan orang kehilangan rumah. Negara berduka. Tetapi sesungguhnya, negara juga sedang bercermin.

"Bencana hidrometeorologis ini bukan sekadar musibah. Ia dokumentasi akhir dari kegagalan sistemik yang sudah diperingatkan sejak lama, secara resmi, tertulis, dan berulang oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Inilah saatnya publik dan penegak hukum membaca ulang sejarah itu, bukan sebagai arsip, tetapi sebagai dasar dakwaan. Ini adalah ikhtiar untuk menyatukan fakta audit, dasar hukum, dan jeritan korban dalam satu alur yang utuh, agar terang di mata publik, dan tegas di tangan aparat penegak hukum," ujar Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Minggu (7/12).

Menurutnya, lebih dari dua dekade, BPK mencatat dengan rapi satu pola kegagalan yang berulang: perencanaan kebencanaan yang lemah, pemanfaatan ruang menyimpang, sistem peringatan dini tak menjangkau desa, mitigasi yang kalah anggaran dibanding tanggap darurat, serta pengawasan izin lingkungan yang rapuh. Semua itu tertulis dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) dari tahun ke tahun. Negara sudah diperingatkan secara konstitusional. Tetapi di lapangan, peringatan itu seperti gema di ruang kosong.

Kini, katanya, banjir bandang dan longsor datang sebagai “kalimat penutup” dari laporan panjang itu. Yang tertimbun bukan hanya rumah, tetapi juga bukti bahwa pembiaran telah berubah menjadi sebab kematian. Sayangnya, masih ada yang berpura-pura lupa, bahwa LHP BPK adalah alat bukti yang sah dalam hukum pidana Indonesia. Pasal 8 ayat (1) UU No. 15 tahun 2006 tentang BPK secara tegas menyatakan bahwa hasil pemeriksaan BPK dapat digunakan sebagai alat bukti permulaan dalam proses penyidikan tindak pidana. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 31/PUU-X/2012 kemudian menguatkan kedudukan itu. Bahkan dalam praktiknya, puluhan perkara besar, termasuk korupsi bansos, dibangun dari temuan audit BPK.

Dalam konteks bencana Sumatera, sambungnya, artinya sangat jelas, yaitu tanpa menunggu laporan masyarakat sekalipun, maka temuan BPK tentang pengelolaan DAS, tata ruang, kehutanan, perizinan, dan mitigasi bencana sudah cukup untuk memulai penyidikan pidana!

Tiga ujung tombak penegakan hukum

Presiden sebagai kepala pemerintahan memiliki tiga instrumen utama yang dapat digerakkan secara serentak dan saling menguatkan menyidik kasus bencana Sumatera: 1. Polri, menyidik pidana lingkungan, kehutanan, dan TPPU yang memiliki pintu masuk pidana paling luas. Korporasi dan aktor lapangan dapat dijerat dengan:

- Pasal 98 dan 99 UU No. 32 tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup: Perusakan lingkungan yang menimbulkan korban manusia, dengan ancaman pidana berat.

- UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan jo. UU No. 18 tahun 2013: untuk perambahan kawasan hutan dan kerusakan hulu DAS.

- Pasal 359 KUHP terkait kelalaian yang menyebabkan matinya orang.

- UU No. 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang: jika keuntungan korporasi berasal dari pembukaan lahan ilegal, tambang tanpa izin, atau rekayasa AMDAL. Di sini yang disasar bukan hanya operator di lapangan, tetapi juga direksi, komisaris, pemodal, dan kontraktor pembuka lahan.

2. Kejaksaan, institusi penyidik yang mumpuni sidik Tipikor dan gugatan pemulihan lingkungan karena memegang dua senjata sekaligus. Pertama, pidana korupsi melalui Pasal 2 dan 3 UU Tipikor terhadap pejabat yang menyalahgunakan kewenangan dalam pemberian izin, pembiaran pelanggaran, atau manipulasi kebijakan tata ruang yang berujung pada kerugian keuangan negara dan korban massal.

Kedua, gugatan perdata negara berdasarkan Pasal 90 UU Lingkungan Hidup untuk memaksa korporasi membayar biaya pemulihan ekosistem. Artinya, jalur hukum ini bukan teori, ia sudah pernah menang. Bahkan melalui mekanisme class action, kejaksaan dapat mewakili kepentingan masyarakat korban bencana.

3. KPK, untuk habisi mafia perizinan dan korupsi struktural, bisa memasuki ruang ketika terdapat suap, gratifikasi, atau konspirasi antara pejabat dan korporasi. Korupsi sektor lingkungan selalu berdampak luas, dan bencana ini adalah bukti empirisnya.

"Dengan koordinasi bersama PPATK, KPK dapat mengikuti jejak uang dari pembukaan hutan, dari tambang ilegal, hingga dari izin yang diperdagangkan. Di sinilah kejahatan tidak hanya dilihat sebagai pelanggaran lingkungan, tetapi sebagai korupsi struktural yang mematikan," tegas Iskandar.

Iskandar Sitorus menyebut, di era digital, kamera warga adalah saksi yang tidak bisa disuap. Foto dan video pembukaan hutan, aliran lumpur tambang, sungai yang berubah warna, hingga jebolnya tanggul, semuanya adalah alat bukti sah menurut Pasal 184 KUHAP jo. UU ITE.

Dengan verifikasi forensik digital melalui metadata, waktu, lokasi, dan URL, bukti dari media sosial menjadi petunjuk yang kuat.

Jika bukti digital warga disandingkan dengan:

1. LHP BPK, sebagai bukti administratif,

2. Citra satelit KLHK/LAPAN, sebagai bukti ilmiah

3. Data curah hujan dan debit ekstrem dari BMKG sebagai bukti kausalitas

4. Data aliran dana dari PPATK sebagai bukti finansial, maka terbentuklah rantai pembuktian yang hampir sempurna.

Titik kritis: oknum pejabat tidak boleh kebal

Inilah simpul keadilan yang selama ini sering dihindari. Pejabat di kementerian dan lembaga teknis, serta pemerintah daerah, yang:

- Memberi izin menyimpang dari RTRW,

- Mengabaikan AMDAL dan RKL-RPL,

- Tidak menindaklanjuti rekomendasi BPK bertahun-tahun, tidak bisa lagi bersembunyi di balik frasa “kebijakan lama”. LHP BPK adalah dokumen resmi negara yang berlaku sampai ditindaklanjuti.

Pengabaian sistemik yang berujung pada korban jiwa dapat dijerat dengan:

- Pasal 3 UU Tipikor terkait penyalahgunaan kewenangan,

- Pasal 359 KUHP terkait kelalaian yang menyebabkan kematian,

- Pasal 55 dan 56 KUHP terkait penyertaan.

Bencana ini menunjukkan bahwa kelalaian birokrasi bukan lagi sekadar pelanggaran administrasi, ia telah berubah menjadi faktor kematian.

Ujian sejarah bagi pemerintahan Presiden Prabowo

Presiden Prabowo memulai masa jabatannya bukan dengan situasi normal, melainkan dengan warisan krisis ekologis yang akut. Ia mewarisi tiga hal sekaligus:

1. Bencana lingkungan terbesar dalam satu dekade terakhir,

2. Tumpukan LHP BPK yang merekam sebabnya sejak 20 tahun lalu,

3. Harapan jutaan korban yang kehilangan segalanya.

Jika hari ini Presiden memerintahkan: Polri bergerak dengan pidana lingkungan dan TPPU, Kejaksaan menggugat pemulihan ekologis hingga triliunan rupiah, KPK membongkar mafia perizinan dari pusat sampai daerah, maka inilah penegakan hukum lingkungan terbesar dalam sejarah republik. Inilah titik balik, bahwa saat negara tidak lagi sekadar memadamkan api bencana, tetapi memutus sumbu penyebabnya.

"Namun jika LHP BPK kembali masuk laci, jika yang ditangkap hanya operator kecil di lapangan sementara pemberi izin tetap bebas, maka kita sedang menabung bencana yang lebih besar untuk lima sampai sepuluh tahun ke depan," tukasnya.

Di hadapan korban, sejarah tidak ditulis oleh pidato. Ia ditulis oleh keberanian menegakkan hukum, itu harus tanpa tebang pilih! Dan di hadapan sejarah itu pula, hanya ada satu pilihan yang benar, yakni mengubah audit menjadi dakwaan, dan dakwaan menjadi keadilan.

(HEN/RZD)

Baca Juga

Rekomendasi