SAYA sering menyebut : Wanita dalam berita. Mengapa ? Secara umum dalam media massa, wanita dalam berita memang tergolong dominan. Jika tiada berita spesifik, setidaknya berita hiburan terkait wanita. Seumpama, penampilan artis atau kehidupannya. Peragaan busana. Penyanyi. Bahkan dalam sajian seni-budaya sepeti adat istiadat, tetap ada foto wanita.
Menyambut Hari Ibu 22 Desember. Di Tanah Air, serangkaian kegiatan diselenggarakan komunitas perempuan. Mulai dari seminar sampai lomba memasak nasi goreng. Namun, di beberapa kota di Indonesia, perkumpulan perempuan (= wanita) memilih forum seminar atau dialog dengan tema seputar "pemberitaan terbaik terkait perempuan".
Fokus itu sangat tepat. Media massa dengan aneka liputan wanita, kiranya tetap memperhatikan sisi-sisi yang menjaga harkat dan martabat wanita dalam pemberitaan.
Dalam forum semacam itu, selalu suara tajam dilontarkan peserta (baca : perempuan). Utamanya, mereka minta perhatian pihak pers, antara lain :
Pertama, pemberitaan tergolong asusila, kiranya tidak menyudutkan pihak perempuan. Pemberitaan harus berimbang. Seumpama terjadi (maaf) kasus perkosaan, jangan pihak perempuan yang semata-mata disalahkan.
Berita dengan dalih, perempuan itu mengenakan busana seksi, menggoda kaum pria. Kalimat atau ungkapan seperti itu, tidak tepat. Faktor lain yang rasional semestinya diutarakan pihak media.
Kedua, pajangan foto sebagai "foto syur", mestinya redaksi lebih selektif. Kalau pihak media ingin melariskan media dengan cara itu, kiranya dengan pilihan foto yang wajar.
Ketiga, berita yang mengandung unsur seks, agaknya menjadi perhatian media. Sajian dengan rangkaian kata atau kalimat yang kadangkala menjurus porno, mungkin tak patut.
Keempat, hal tergolong pornografi, mestinya dipastikan pihak redaksi melalui penyaringan (filter) yang ketat. Sebab, sajian itu mempengaruhi generasi muda. Sebab, semua media massa kini dapat diakses dengan gampang.
Itu semua. Ungkapan dari kaum perempuan, kenyataan dalam pemberitaan media massa.
Tentu pengecualian disajikan media "orang dewasa" harus mengikuti ketentuan yang ditetapkan pihak Dewan Pers. Misalnya, sisi konten, kemasan sampai peredarannya.
Jika sisi-sisi yang dikeluhkan komunitas perempuan tersebut dikaitkan dengan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Setidaknya ada tiga pasal yang langsung terkena.
Pasal-4 KEJ : "… tidak membuat berita cabul …". Penafsiran disebutkan, cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
Berikutnya. Pasal-5 KEJ : "… tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila …".
Selanjutnya. Pasal-8 KEJ : "… tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan jenis kelamin …".
Kita yakin. Redaksi media sangat memperhatikan tiga pasal KEJ itu. Terutama media arus utama, berupaya taat pada penerapan KEJ. Namun masih dijumpai satu-dua media terkesan kurang peduli pada tiga pasal KEJ ini.
Terbukti, adanya pengaduan dari publik. Atau reaksi publik yang kita dengar langsung dalam forum seminar atau dialog pers. Hal itu semestinya terus diperhatikan redaksi media.
Menjadi tugas media dengan sajian terbaik bagi publik, termasuk berita terkait wanita dengan menjaga harkat dan martabat kaum perempuan. Sisi ini agar menjadi prinsip kuat redaksi media.
Sehingga, kaum perempuan senang membaca atau menyaksikan siaran media. Kiranya "wanita dalam berita" yang sejak dulu disiarkan, tetaplah sebagai informasi bermutu.











