Analisadaily.com, Aceh Tamiang - Air memang telah surut di sebagian wilayah Aceh Tamiang. Namun jejaknya tertinggal di tempat yang tidak bisa berdusta, daun-daun pohon setinggi tujuh meter yang memutih oleh lumpur. Di sanalah batas kebenaran berada. Bukan di podium, bukan di rapat, melainkan di alam yang telah memberi kesaksian.
Minggu, (14/12) rombongan Mitra Arsitektur Indonesia (MAI) kembali menembus jalur nasional menuju Kecamatan Sungai Liput, Simpang Kanan, Aceh Tamiang. Ini adalah kunjungan kemanusiaan kedua mereka, setelah sebelumnya juga menyalurkan bantuan untuk korban banjir dan longsor di wilayah Sumatera.
Air, lumpur, dan logika yang sederhana
“Kalau daun pohon setinggi itu berlumpur, artinya air pernah sampai ke sana,” kata Syahlan Jukri, Founder MAI, arsitek, yang ikut langsung dalam konvoi bantuan.
Logikanya sederhana, nyaris elementer. Bila air sudah mencapai daun, maka atap rumah pasti lebih dulu terendam. Dan bila atap terendam, maka runtuh hanyalah soal waktu. Di Aceh Tamiang, logika itu terlihat nyata, rumah-rumah roboh, atap hancur, listrik padam total, sinyal komunikasi terputus. Negara seolah ikut tenggelam bersama lumpur.
Di jalan nasional menuju Sungai Liput, kemacetan panjang tak terelakkan. Bukan oleh kendaraan biasa, melainkan oleh barisan relawan. SPBU dipadati mobil bantuan. Di satu sisi, ini pemandangan yang mengharukan. Di sisi lain, ia menyisakan pertanyaan, di mana sistem, ketika solidaritas harus bekerja sendiri?
Bantuan yang datang dari hati, bukan anggaran
MAI menyalurkan bantuan hasil donasi anggota dan simpatisan senilai Rp16 juta, yang dibagi dua, untuk korban banjir Aceh Tamiang dan Tanjungpura Langkat, Sumatera Utara.
Dana itu dibagikan dalam bentuk menjadi barang kebutuhan harian seperti baju layak pakai, makanan dan minuman, obat-obatan, minyak kayu putih, balsem, hingga kebutuhan mendesak seperti kelambu, ember, gayung, dan alas tidur.
“Kami mendesak membawa bantuan itu karena warga sudah mulai sakit-sakitan,” ujar Syahlan. Penyakit datang bukan hanya dari air kotor, tapi dari ketidakpastian yang terlalu lama.
Bencana yang tak lagi sekadar alam
Di banyak diskusi publik, banjir kerap disebut musibah. Tapi di lapangan, ia lebih mirip akumulasi dari pembiaran. Dari hulu yang rusak, tata ruang yang longgar, hingga kebijakan yang sering datang setelah berita reda.
Laporan-laporan sebelumnya telah mencatat adanya perusahaan-perusahaan yang diduga berkontribusi pada kerusakan lingkungan di Sumatera. Negara sedang menyelidik. Publik menunggu. Tapi korban tidak bisa menunggu terlalu lama.
Di titik inilah, kehadiran MAI menjadi penting, bukan karena besar kecilnya bantuan, melainkan karena pesan moralnya bahwa, profesional, arsitek, dan warga sipil bisa bergerak tanpa menunggu status bencana nasional ditetapkan.
Belum berhenti di sini
“Konvoi ini tidak berhenti sampai di sini. Kami akan datang lagi,” kata Syahlan.
Kalimat itu terdengar sederhana, tapi di tengah lumpur yang mengering di daun dan dinding rumah, ia menjadi janji kemanusiaan. Bahwa di saat negara masih menghitung dan menahan, ada warga yang memilih berjalan.
Banjir Aceh Tamiang, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat mungkin akan hilang dari layar televisi. Tapi lumpur di daun pohon setinggi tujuh meter itu akan lama diingat alam. Ia menjadi catatan hening, bahwa bencana bukan sekadar hujan, melainkan juga keputusan-keputusan yang terlalu lama ditunda.
Di antara puing atap dan listrik yang padam, suara itu bertanya pelan, apakah kita sedang menghadapi bencana alam, atau kegagalan kolektif menjaga rumah bersama bernama Sumatera.
(RRS/NAI)











