Perselingkuhan digital adalah bentuk kedekatan emosional atau romantis yang dilakukan secara online dengan orang lain selain pasangan resmi. Hal ini dapat terjadi melalui media sosial, aplikasi chatting, maupun platform komunikasi privat lainnya. Meski tidak melibatkan kontak fisik, perselingkuhan digital tetap menyebabkan luka emosional yang mendalam.
Salah satu bentuk yang paling sering terjadi adalah micro cheating yaitu perilaku kecil yang tampak sepele tetapi sebenarnya sudah melampaui batas contohnya seperti menghapus chat, menyembunyikan notifikasi, stalking akun tertentu, memberi perhatian berlebihan, hingga flirting melalui pesan.
Media sosial juga membuat seseorang lebih mudah mencari pengakuan atau perhatian dari orang lain, tanpa sadar bahwa hal itu merupakan awal dari perselingkuhan.
Perkembangan teknologi digital pada era modern membawa banyak perubahan dalam cara manusia berinteraksi. Kemudahan komunikasi, akses informasi, dan media sosial memang menawarkan banyak manfaat. Namun, di balik itu semua, teknologi juga membuka peluang munculnya perilaku menyimpang yang sebelumnya tidak dikenal dalam hubungan tradisional.
Salah satu yang paling menonjol adalah perselingkuhan digital, atau modern infidelity, yang kini menjadi ancaman nyata bagi generasi Z generasi yang tumbuh dan terbiasa hidup dengan internet serta media sosial sejak kecil, sehingga sangat rentan bagi mereka selalu terhubung dengan dunia digital yang menyediakan ruang komunikasi instan dan rahasia.
Berbagai data memperkuat bahwa fenomena ini semakin meningkat. Survei Psychology Today tahun 2023 menunjukkan bahwa 47 persen anak muda menganggap micro cheating adalah bentuk perselingkuhan dan 62 persen pernah melakukannya tanpa sadar. Laporan Relationship Counselling Institute tahun 2024 menemukan bahwa 1 dari 3 pasangan usia 17–25 tahun mengalami konflik akibat aktivitas digital seperti DM tersembunyi atau flirty chat.
Di Indonesia, riset Populix pada tahun 2023 mencatat 38 persen generasi Z merasa terluka oleh interaksi online pasangannya, dan 29 persen pernah mendapati pasangannya menghapus riwayat chat. Data ini menunjukkan bahwa perselingkuhan digital bukan sekadar isu moral, tetapi fenomena sosial yang berdampak nyata terhadap kesehatan hubungan generasi muda.
Dampak psikologisnya juga tidak dapat diabaikan. Perselingkuhan digital dapat memicu kecemasan, rasa tidak aman, kurang percaya diri, hingga trauma emosional. Hubungan yang awalnya stabil dapat berubah menjadi rapuh karena hilangnya kepercayaan.
Dari perspektif Islam, tindakan yang mengarah pada kedekatan emosional atau menggoda lawan jenis, meski tanpa sentuhan fisik, tetap dianggap sebagai perbuatan yang mendekati zina. Islam mengajarkan pentingnya menjaga pandangan, menjaga hati, serta membatasi interaksi dengan non mahram. Karena itu, perselingkuhan digital termasuk bentuk pengkhianatan (khiyanat), sebab seseorang memberikan perhatian atau perasaan yang seharusnya hanya diberikan kepada pasangan sahnya.
Teknologi tidak mengubah nilai moral, yang namanya pengkhianatan tetaplah pengkhianatan, baik dilakukan secara fisik maupun digital. Budaya media sosial yang menonjolkan pencitraan, perhatian, dan validasi publik membuat anak muda mudah tergoda dengan terbukanya ruang interaksi yang tidak sehat. Selain itu, beban hidup, rasa kesepian, serta kebutuhan akan pengakuan sering mendorong generasi Z mencari pelarian emosional melalui hubungan virtual.
Ironisnya, pernikahan muda maupun hubungan jangka panjang pun tidak lepas dari ancaman ini. Ketidakmatangan emosi dan komunikasi yang lemah serta kecemburuan akan membuat pasangan muda sulit menghadapi godaan digital dan menjadi faktor utama keretakan suatu hubungan. Oleh karena itu, kesadaran dalam menggunakan media social juga menjadi kunci penting dalam suatu hubungan agar dapat memahami bahwa menjaga hubungan bukan hanya soal apa yang dilakukan secara langsung, tetapi juga bagaimana berinteraksi di dunia digital.
Literasi digital, komunikasi terbuka, dan kedewasaan emosional harus berjalan seiring agar teknologi benar-benar menjadi sarana memperkuat hubungan, bukan sebaliknya. Jika tidak diatasi dengan baik, perselingkuhan digital dapat menimbulkan gangguan mental seperti kecemasan berat, overthinking, depresi, maupun rasa bersalah pada pelakunya.
Pada akhirnya, perselingkuhan digital merupakan tantangan besar di era modern yang tidak boleh dianggap remeh. Fenomena ini dapat merusak hubungan, melemahkan nilai moral, serta mengganggu kesehatan mental generasi mendatang. Oleh karena itu, kesadaran, pendidikan, dan komitmen menjadi langkah penting untuk menjaga hubungan dari godaan dunia digital yang semakin kompleks.











