Bencana ekologis yang terus berulang di berbagai wilayah Indonesia, khususnya di Sumatera, adalah sinyal keras bahwa pendekatan parsial tidak lagi memadai. Di satu sisi, kepedulian Pemerintah Pusat dan Daerah, Ormas, NGO, serta elemen masyarakat dalam tahapan penyelamatan, pemulihan, rehabilitasi, rekonstruksi, dan trauma healing patut diapresiasi. Namun di sisi lain, tanpa ketegasan struktural dan kebijakan tegas yang menyentuh akar masalah, seluruh upaya kemanusiaan tersebut berisiko hanya menjadi respons sementara atas tragedi yang akan terus berulang.
Fakta menunjukkan bahwa banyak bencana banjir, longsor, dan banjir bandang tidak murni disebabkan faktor alam, melainkan akumulasi dari kerusakan kawasan hutan, pembiaran pelanggaran izin, serta lemahnya pengawasan aktivitas eksploitasi sumber daya alam. Oleh karena itu, langkah yang tidak bisa ditawar adalah ketegasan pemerintah pusat dan daerah dalam menertibkan izin serta memberlakukan pemberhentian sementara (moratorium/stanvas) terhadap seluruh aktivitas di kawasan hutan, khususnya di wilayah rawan bencana seperti Sumatera.
Secara regulatif, Indonesia telah memiliki landasan hukum yang kuat. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana secara tegas menempatkan negara sebagai penanggung jawab utama dalam mencegah kerusakan lingkungan yang berpotensi menimbulkan bencana. Ketidaktegasan dalam penegakan hukum atas izin bermasalah berarti pengingkaran terhadap mandat undang-undang itu sendiri.
Lebih jauh, dalam perspektif internasional, Indonesia telah meratifikasi berbagai kesepakatan global seperti Paris Agreement, Convention on Biological Diversity (CBD), serta berkomitmen pada Sustainable Development Goals (SDGs). Seluruh instrumen internasional tersebut menegaskan kewajiban negara untuk melindungi ekosistem hutan, mencegah degradasi lingkungan, dan meminimalkan risiko bencana berbasis iklim. Ketika aktivitas di kawasan hutan tetap dibiarkan tanpa kontrol ketat, maka Indonesia secara moral dan politis telah mengabaikan komitmen globalnya.
Moratorium atau stanvas aktivitas kawasan hutan bukanlah langkah anti-investasi, melainkan kebijakan korektif dan preventif. Negara-negara seperti Brasil, Kosta Rika, dan bahkan beberapa negara Uni Eropa telah membuktikan bahwa pengetatan izin dan penghentian sementara aktivitas ekstraktif di kawasan sensitif justru mampu menurunkan risiko bencana, memulihkan ekosistem, dan pada akhirnya menciptakan pembangunan berkelanjutan yang lebih kuat dan berkeadilan.
Tanpa ketegasan ini, pemerintah akan terus terjebak dalam siklus reaktif: bencana terjadi, bantuan digelontorkan, rehabilitasi dilakukan, lalu bencana kembali terulang di lokasi yang sama atau berpindah ke wilayah lain. Ini bukan hanya pemborosan anggaran negara, tetapi juga pengabaian terhadap hak dasar rakyat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyatakan :
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Pasal ini menegaskan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak konstitusional warga negara, bukan sekadar kebijakan administratif atau pilihan politik. Dalam konteks bencana di Sumatera dan wilayah Indonesia lainnya, Pasal 28H menjadi dasar hukum paling kuat untuk menuntut ketegasan pemerintah dalam pencegahan, karena dengan Merusak lingkungan sama dengan melanggar konstitusi dan Membiarkan kerusakan sama dengan pengingkaran dan pelanggaran negara terhadap Pasal 28H UUD 1945.
Harus ditegaskan kembali, jika pemerintah pusat dan daerah tidak segera mengambil langkah tegas dalam penertiban izin dan penghentian sementara aktivitas di kawasan hutan, maka tidak menutup kemungkinan bencana yang lebih besar akan terjadi—baik di lokasi bencana saat ini maupun di daerah lain di seluruh wilayah Indonesia. Skala kerusakan akan semakin meluas, korban jiwa berpotensi bertambah, dan beban sosial-ekonomi negara akan kian berat.
Kini, yang ditunggu rakyat bukan sekadar empati dan bantuan pascabencana, melainkan keberanian politik dan ketegasan kebijakan. Pemerintah pusat dan daerah harus berdiri tegak sebagai penjaga amanah konstitusi, regulator nasional, dan mitra komunitas internasional. Ketegasan hari ini adalah penyelamatan masa depan. Tanpa itu, bencana bukan lagi kemungkinan, melainkan kepastian yang menunggu (Penulis adalah Mahasiswa S3 Manajemen Sustanability UMSU).











