Soal Bencana di Sumatera

Abdul Rahim Siregar : Pemerintah Harus Berani Moratorium Kawasan Hutan

Abdul Rahim Siregar : Pemerintah Harus Berani Moratorium Kawasan Hutan
Abdul Rahim Siregar : Pemerintah Harus Berani Moratorium Kawasan Hutan (Analisadaily/istimewa)

Analisadaily.com, Medan - Gelombang bencana banjir dan longsor yang terus berulang di Sumatera kembali memantik kritik keras dan konstruktif terhadap lemahnya kebijakan dan ketegasan negara. Abdul Rahim Siregar, ST, MT, Anggota Komisi D DPRD Sumatera Utara, menegaskan bahwa penanganan bencana tidak boleh berhenti pada aspek kemanusiaan semata.

Menurutnya, tanpa keberanian politik untuk menertibkan izin dan menghentikan sementara (moratorium/stanvas) seluruh aktivitas di kawasan hutan, Indonesia hanya sedang “menunda bencana yang lebih besar”.

“Di satu sisi kita mengapresiasi kepedulian Pemerintah Pusat dan Daerah, Ormas, NGO, serta seluruh elemen masyarakat dalam penyelamatan, pemulihan, rehabilitasi, rekonstruksi, dan trauma healing. Tapi di sisi lain, akar persoalan justru dibiarkan. Ini tidak adil bagi rakyat,” tegas politisi PKS yang juga menjabat Sekretaris Fraksi PKS DPRD Sumut tersebut dalam keterangan persnya, Kamis (25/12/2025).

Abdul Rahim menekankan bahwa mayoritas bencana ekologis hari ini bukan murni faktor alam, melainkan akumulasi dari kerusakan kawasan hutan, pembiaran izin bermasalah, serta lemahnya pengawasan aktivitas eksploitasi sumber daya alam. Karena itu, ia mendesak pemerintah pusat (Presiden dan DPR RI ) dan daerah (Gubernur/Bupati/Walikota dan DPRD ) segera mengambil langkah tegas, tidak hanya ucapan semata tapi dengan aksi berani dengan menertibkan seluruh izin kehutanan dan memberlakukan penghentian sementara aktivitas di kawasan hutan, khususnya di Sumatera yang tingkat kerawanannya masih sangat tinggi.

Sebagai Anggota Badan Anggaran DPRD Sumut, Abdul Rahim mengingatkan bahwa pembiaran ini juga berdampak langsung pada keuangan negara. “Setiap bencana selalu diikuti pengeluaran besar dari APBN dan APBD. Jika pencegahan tidak dilakukan secara serius dan berkelanjutan, negara akan terus menghabiskan anggaran (baca : uang rakyat) untuk memperbaiki kerusakan yang seharusnya bisa dicegah sejak dini / awal,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa tuntutan ketegasan ini memiliki dasar hukum yang sangat kuat. Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

“Ini bukan soal opini, ini soal konstitusi dan regulasi di negeri ini. Ketika negara membiarkan hutan rusak dan bencana terus berulang, maka negara sedang lalai memenuhi hak konstitusional rakyat,” kata Abdul Rahim, yang juga Kandidat Doktor Manajemen Sustainability di UMSU.

Dalam perspektif global, Abdul Rahim menyebut Indonesia telah terikat dengan berbagai komitmen internasional seperti Paris Agreement, Convention on Biological Diversity (CBD), dan Sustainable Development Goals (SDGs). Semua kesepakatan itu menempatkan negara pada kewajiban melindungi ekosistem dan menekan risiko bencana berbasis iklim. “Kalau aktivitas di kawasan hutan tetap dibiarkan tanpa kontrol ketat, maka kita bukan hanya melanggar konstitusi, tapi juga mengingkari komitmen internasional,” tegasnya.

Ketua Umum Forum Masyarakat Dalihan Natolu (FORMADANA) dan Ketua Umum Terpilih Keluarga Alumni Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAKAMMI) Sumut ini juga mengingatkan dampak sosial jangka panjang jika ketegasan tidak segera diambil. “Jika pemerintah pusat dan daerah terus gamang, ragu dan setengah hati, jangan kaget bila bencana yang lebih besar akan terjadi, baik di lokasi yang sama maupun di wilayah lain di Indonesia. Ini soal keselamatan rakyat dan masa depan generasi,” ujarnya lantang.

Abdul Rahim menutup pernyataannya dengan pesan keras: rakyat tidak hanya membutuhkan empati pascabencana, tetapi kepemimpinan yang berani dan tegas. “Ketegasan hari ini adalah penyelamatan masa depan. Tanpa itu, bencana bukan lagi kemungkinan, tetapi kepastian yang tinggal menunggu waktu,” pungkasnya.

(NAI/NAI)

Baca Juga

Rekomendasi