Dr. Khairul Mufti Rambe, M.H.I. (Analisadaily/Istimewa)
Oleh: Dr. Khairul Mufti Rambe, M.H.I
FIKIH, sebagai kerangka hukum dalam Islam, tidak hanya mengatur persoalanibadah, tetapi juga menjangkau berbagai dimensi kehidupan, termasuk pengelolaanlingkungan hidup. Dalam kaitan tersebut, konsep Fikih Energi Berkeadilan munculsebagai bentuk ijtihad kontemporer sebuah upaya serius merumuskan solusi baruberdasarkan prinsip-prinsip syariah untuk merespons tantangan modern yang berkaitandengan krisis energi dan degradasi lingkungan.
Hal ini sejalan dengan konsep maslahah (kebaikan bersama) dalam Islam, di mana setiap keputusan yang diambil harus mempertimbangkan manfaat terbesar bagi umatmanusia dan alam semesta. Dalam hal ini, ijtihad Muhammadiyah menawarkanpendekatan yang lebih progresif dan berorientasi pada keberlanjutan (sustainability).
Konsep keadilan dalam fikih ini tidak hanya terbatas pada dimensi sosial, tetapijuga mencakup keadilan ekologis. Setiap aktivitas pemanfaatan energi harusmemperhitungkan dampaknya terhadap lingkungan dan komunitas di sekitarnya. Dengan demikian, eksploitasi sumber daya alam termasuk kegiatan pertambangan wajibdilakukan secara hati-hati, disertai upaya pemulihan ekosistem dan mekanismepengawasan yang ketat agar tidak menimbulkan kerusakan jangka panjang.
Pembahasan mengenai energi sering dianggap sebagai domain teknis urusaninsinyur, perusahaan listrik, dan negara. Padahal, energi adalah kebutuhan dasarmasyarakat untuk beribadah, belajar, bekerja, serta menjalankan kehidupan yang bermartabat. Dalam konteks Islam, pengelolaan energi menyentuh wilayah fikih, etika, dan keadilan sosial.
Salah satu inovasi sosial yang muncul belakangan ini adalah “sedekah energi”, yakni penyaluran dana infak, sedekah, atau wakaf untuk menyediakan ataumeningkatkan akses energi bagi masyarakat, terutama melalui energi terbarukan sepertipanel surya. Konsep ini lahir sebagai respons atas kebutuhan masyarakat yang belummendapatkan suplai energi yang memadai, serta untuk mendukung agenda keberlanjutan lingkungan.
Fikih Sebagai Perspektif
Pengembangan energi terbarukan merupakan bagian dari kemajuan ilmupengetahuan dan teknologi yang wajar terjadi dalam proses rekayasa teknis. Bidang initermasuk urusan keduniaan yang secara prinsip diserahkan kepada kreativitas dan inovasi akal manusia. Selama perkembangan teknologi tersebut tidak menimbulkanmudarat menurut perspektif Islam, maka pada dasarnya tidak ada larangan untukmengembangkannya. Namun demikian, muncul pertanyaan: mengapa inovasi energiterbarukan tetap memerlukan legitimasi atau dukungan pandangan keagamaan (fikih)?
Sebagai gagasan dan gerakan baik, inovasi energi terbarukan membutuhkanbanyak dukungan. Bukan sekedar dukungan sosial, ekonomi, dan politik, tetapi juga dukungan moral keagamaan agar semuanya dapat berjalan secara serasi dan seimbang. Dukungan ini bukan untuk melegitimasi, melainkan untuk memastikan kemaslahatanmelekat serta tidak ada efek kemafsadatan dalam inovasi energi terbarukan ini baikuntuk jangka pendek maupun jangka panjang.
Fikih energi terbarukan tidak berfokus pada penentuan hukum halal atau haram, tetapi menempatkan konsep dan praktik energi terbarukan dalam perspektif agama, khususnya terkait aspek kemaslahatan dan potensi kemafsadatan bagi masyarakat, baiksaat digunakan maupun dalam dampak jangka panjangnya. Pengalaman dalampersiapan dan pengelolaan pembangunan PLTS di Tanjung Jabung Timur dan Solok Selatan menunjukkan adanya berbagai persoalan sosial yang membutuhkan penjelasanagama. Karena itu, fikih hadir untuk memberikan respons dan panduan atas problem-problem tersebut, sekaligus menjadi pintu masuk untuk menerapkan metodologi ushulfiqh seperti kaidah kebahasaan, konsep ma?la?ah mursalah, dan kaidah pensyariatandalam menilai legitimasi penggunaan energi terbarukan serta memastikan tercapainyakemaslahatan yang berkelanjutan.
Pemenuhan Energi sebagai Mashlahat
Syaikh Yusuf Qaradlawi menyatakan bahwa menjaga lingkungan hidup termasukkebutuhan mendasar (min adl-dlaruriyyat al-khams) yang menyangkut kepentinganagama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. Karena tujuan besar syariat Islam (maqashidasy-syari’ah) adalah menjaga kemaslahatan hambaNya, baik di dunia maupun di akhirat, masa sekarang maupun masa yang akan datang. Oleh sebab itu, kata Imam ‘Izzuddin ibnu Abdissalam, sudah bisa dipastikan bahwa seluruh syariat Islam mengandung kemaslahatan.
Dan seluruh syariat (Islam) itu maslahat, baik dalam bentuk menolakkemafsadatan maupun menarik kemaslahatan.
Kutipan ini memberi artian, bahwa kemaslahatan pertama adalah menjaga agama (hifdhu ad-din). Dan agama menyeru kepada segenap umat manusia untuk berbuat baikdan adil, termasuk berbuat baik dan adil kepada lingkungan tempat di mana ia hidup(QS. an-Nahl: 90). Maka dari itu, merusak lingkungan hidup termasuk mencederaikeadilan. Bumi dan seluruh isinya diamanahkan kepada umat manusia untuk diurus dan dipelihara sebaik-baiknya (QS. al-A’raf: 128). Pemiliknya adalah Allah SWT. Oleh karena itu, sebagai pemegang amanah, sudah seharusnya manusia menjaga dan memelihara alam itu dengan sebaik-baiknya, amanah, dan bertanggung jawab.
Dan menjaga jiwa (hifdhu an-nafs) sebagai bagian yang kedua dalam Maqasid. Menjaga dan memelihara lingkungan hidup juga bagian dari menjaga jiwa. Menjagajiwa artinya memelihara keselamatan, kesehatan, dan juga kehidupan manusia. Tidak diragukan lagi bahwa kerusakan lingkungan hidup dapat mengancam jiwa manusia. Al-Qur’an sendiri secara tegas mengangkat setinggi-tingginya harkat dan martabatmanusia, juga menghargai lingkungan hidup tempat manusia hidup di dalamnya. Ini terungkap dalam beberapa firman Allah di bawah ini:
Barang siapa membunuh orang (tanpa bersalah) atau membuat kerusakan di bumi, maka sama halnya ia membunuh seluruh umat manusia. Barang siapamenghidupi manusia, maka ia sama halnya menghidupi seluruh umatmanusia.” Q.S al-Maidah : 32.
Dengan demikian, sudah menjadi kewajiban pemerintah (negara) untukmembangun, mengelola, serta menjaga kepentingan umum sebagai bentuk pemenuhanterhadap hajat hidup rakyatnya. Ini adalah amanat agama dan konstitusi sekaligus. Namun, dalam membangun dan mengelola kepentingan umum, pemerintah harus selaluberorientasi pada kemaslahatan publik (al-mashlahat al-‘ammah) sebagai pijakan dan dasar bagi perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Kemaslahatan publik adalah sesuatuyang terbaik dan terpenting (al-aham) untuk kehidupan rakyat.
Jika penggunaan energi terbarukan, khususnya energi surya, dipandang lebihmaslahat dan memiliki mafsadat yang lebih ringan dibanding dengan penggunaan energifosil, maka mengubah kebijakan energi yang lebih maslahat, ramah lingkungan, dan mudah diakses rakyat banyak tentu adalah suatu kebijaksanaan yang patut dipilih.
Kesimpulan
Kajian fikih energi terbarukan menunjukkan bahwa pemanfaatan teknologi energibersih tidak hanya dipandang dari aspek halal dan haram, tetapi juga dari sudut pandangkemaslahatan dan kemafsadatan yang mungkin timbul dalam masyarakat. Berbagaipersoalan sosial yang muncul dalam implementasi proyek energi terbarukan, sepertipembangunan PLTS, menuntut adanya panduan keagamaan yang lebih aplikatif. Oleh karena itu, penerapan metodologi ushul fiqh meliputi kaidah kebahasaan, konsepma?la?ah mursalah, serta kaidah pensyariatan menjadi sangat penting untuk menilailegitimasi penggunaan energi terbarukan dan memastikan terwujudnya maslahat yang berkelanjutan. Dengan demikian, fikih hadir sebagai respons dan pedoman dalammenyelesaikan persoalan kontemporer, sekaligus memperkuat peran ulama dalammemberikan solusi yang relevan dengan perkembangan zaman.
(BR)