Musik Arabi

Oleh: Shafwan Hadi Umry. Syair dalam seni Arabi merupakan satu bentuk kesenian yang memainkan peranan penting di kalangan masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam. Dia menjadi media penyampaian perasaan kasih sayang, kebanggaan, kecaman, pujian dan perjuangan.

Kebanyakan bentuk syair Arab ketika itu berbentuk naratif (bercerita), di samping berbentuk lirik. Syair lirik berisi pemujaan diri, sindiran, ratapan, percintaan dan lain-lain. Syair berbentuk madah (pujian) dipakai untuk memperkenalkan suku-suku tertentu di lapangan masyarakat pra-Islam. Memuji raja-raja Arab demi mendapat hadiah. Di samping itu, ada juga madah yang diciptakan untuk ketua kabilah atau pahlawan suku-suku Arab.

Setelah kedatangan Islam, syair berbentuk madah (madh) berkembang secara meluas masa Dinasti Umayyah dengan para penyairnya yang terkenal seperti Jaris, Firzadah, dan al-Akhtal. Syair berbentuk ratapan sebagai satu bentuk syair yang paling indah dalam kesenian Arabi. Dia diciptakan dalam suasana hati yang dirundung duka. Syair percintaan (al-ghazal) merupakan syair untuk menyatakan perasaan cinta terhadap seorang gadis.

Jadlidar Abd Rahim “seniman pemusik gambus” menulis bahwa masyarakat Arab (lama) ketika hendak melagukan syair yang bertema munajat dan salawat mereka selalu merujuk kepada satu maqam (tempat). Sumber maqam lagu Arab yang digunakan untuk membaca ayat suci al-Quran dan nyanyian lain bersumber Islam yang terdengar melalui nasyid dan qasidah beraliran Arab Iraqi, Arfab Ijazi, dan Arab Masri”.(2005:4)

Menurut pemusik gambus kelahiran Bedagai ini dan menghabiskan sebagian masa hidupnya di Sabah Malaysia, menyatakan, “ketiga aliran musik itu terdapat tujuh maqam lagu yang memainkan peran penting dalam memperkaya perbendaharaan lagu-lagu dan nyanyian Islam. Maqam lagu itu dinamakan maqamatus sab’ah yang berarti himpunan tujuh maqam. Kemudian nama-nama maqam (tempat/himpunan) itu menjadi rangkaian kalimat yang disebut Biharimrin, Jasadin, sika, dan dukah.

Lagu Arab Masri yang banyak dikenal dan dinyanyikan para guru qasidah (munsyidin) di daerah ini ialah bayali, ras masri, soba, hijaz, jaharka, nahwand, sika Masri, dan al- Ajami.

Musik Dakwah

Nama Jalidar Abd Rahim cukup dikenal di kalangan pemusik gambus bernuansa dakwah, bukan saja di Sumatera Utara tetapi juga di Malaysia. Setelah menamatkan sekolah rendah di Bedagai, dia pindah ke Tanjung Balai tahun 1967. Ayahnya bertugas sebagai polisi mulai bergabung dengan orkes el-Surayya Cabang Tanjung Balai dan menjadi orang kedua dalam memimpin orkes tersebut. Bakat dan kemampuannya menyebabkan dia berkenalan dan berguru pada komponis seniman besar Prof Ahmad Baqi.

Setelah beberapa tahun di daerah ini, Jalidar hijrah ke Sabah dan menetap selaku guru agama. Ketua Menteri Sabah Tun Datuk Mustapha Harun mengajak Jalidar bersama beberapa rekannya dari Medan untuk membantu gerakan dakwah di negeri Sabah.

Oleh karena darah seni yang menggelora dalam tubuhnya, dia tidak dapat meninggalkan lagu-lagu bernuansa “irama padang pasir” dan mencoba mendirikan perkumpulan musik nasyid.

Pada bidang seni nasyid di Sabah akhirnya dia dikenal sebagai salah seorang perintis musik nasyid dan sejumlah lagu-lagu ciptaannya menyebabkan dia dinobatkan sebagai pemusik terbaik peringkat kebangsaan Malaysia.

Sejak itu nama Jalidar mulai meramaikan dunia blantika musik Islami. Ia pun membentuk orkes nasyid Noor el-Kawakib dan aktif mengikuti kegiatan lomba dan festival musik dan merekamkan sejumlah ciptaannya. Kiprah dan dakwah melalui musik ini menyebabkannya mendapat penghargaan tertinggi di Sabah. Anugerah yang diterimanya ialah Anugerah Al-Farabi yang langsung diserahkan TYT Tun Datuk Seri Panglima H. Sakaran Dandai tahun 2001.

Salah satu lahirnya lagu ciptaan Ahmad Baqi,”Kinibalu” yang sangat populer menjadi pujaan ramai di Indonesia-Malaysia termasuk andil dan jasa promosi sang murid yang mengundang sang guru Ahmad Baqi ke Sabah. H. Ahmad Baqi pernah menjadi tamu utama bagi pemerintah Negeri Bagian Sabah.

Musafir Seniman

Jalidar tak ubah bagai seorang kelana, dan bagi sang kelana jalan yang ditempuhnya tak pernah tamat. Minggu lalu seniman ini tiba-tiba ada di Medan dan menawarkan sebuah pertemuan dengan penulis di suatu tempat. Pertemuan itu diawali setelah dia membaca artikel “Pengembangan Musik Islami Dewasa ini” (Analisa, 12 April 2009).

Dalam pertemuan itu, Jalidar menghimbau dan mengajak para musisi gambus dan nasyid untuk kembali menggairahkan lagu “irama padang pasir” ini. Tidak sekadar melestarikan, tetapi menciptakan dan menggubah lagu dan musik bernuansa dakwah di dalam konteks kemasan modern.

Karya terbaru lagu nasyid H. Jaidar dalam kiprah musik (1999-2009) menghasilkan dua produksi rekaman yang khusus diproduksi di Indonesia yakni Balai Asahan dan Setanggi Serdang Bedagai. Jalidar dengan penuh nostalgia tersenyum sambil mengenang kembali perjuangan dan kiprahnya dalam musik gambus. Dia mencatat beberapa nama yang menghiasi taman sastra musik Islami antara lain Bahrum Bey, Mas’ud, Muhlis bin Ghazali Hasan, Rivai Abdul Manaf (pemimpin Orkestra El-Kawakib) yang pernah menghibur peserta Konferensi Islam Asia Afrika zaman Soekarno.

Kemudian lapangan seni baca al-Quran tersebutlah nama H. Azrai Abdul Rauf, H. Khuwailid Daulay, Azis Muslim dan H. Hasan Basri. Kemudian dalam bidang qasidah para munsyidin seperti Ridwan Pulli, Usman Gundur, Hasan Jawa, Muihtar Baijuri, Nur Asiah Djamil, Qariah dan qari Nurhamidah, Rahmat Lubis, dan lain-lain.

Jalidar mengusulkan diantaranya yang masih hidup sepatutnya perlu dianugerahi ‘sago hati’ atau hadiah atas jasa dan amalnya di bidang seni Islami oleh Pemerintah kabupaten dan kota. Ini membangkitkan motivasi dan membangun kembali potensi diri dalam aktualisasi budi pekerti bangsa yang seperti terobek-robek oleh kemelut hidup sekuler dan perlunya para seniman memberi kontri.

 Penulis Dosen UMN Al-Washliyah Medan.

()

Baca Juga

Rekomendasi