Mengkaji Makna Ziarah ke Gua Hira

Oleh: H. Rahmat Hidayat Nasution

Usai pelaksanaan wukuf di Arafah dan tawaf ifadhah nantinya, bagi jemaah haji Indonesia yang berangkat pada kelompok terbang gelombang kedua, biasanya memanfaatkan waktu mereka saat berada di Mekah dengan melakukan thawaf sunnah dan berziarah ke tempat-tempat bersejarah. 

Salah satu tempat bersejarah yang tak terlewatkan para jamaah haji adalah, ziarah atau mengunjungi gua Hira. Gua yang menjadi sejarah tempat Rasulullah Saw. pertama kali menerima wahyu.

Di dalam kitab “Hayatu Muhammad” dimaktubkan bahwa Muhammad bin Abdullah di saat usianya 40 tahun lebih banyak menghabiskan waktunya bertahannus atau menyendiri di dalam gua Hira. Bertahannus atau menyendiri merupakan tradisi yang berkembang di Arab saat itu untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Harapan dari bertahannus sendiri adalah, agar Tuhan memberikan tambahan rezeki dan pengetahuan. 

Di situs Wikipedia dicatat, bahwa gua Hira berada di arah-timur laut Masjidil Haram, dengan tinggi 621 meter. Panjang guanya sendiri adalah 6 meter, dengan pintu masuk yang cukup kecil. Lebarnya kira-kira 1,30 meter. Bila melihat gua tersebut secara langsung, dengan tinggi 2 meter hanya akan mampu ditempati oleh dua orang.

Rasulullah SAW. memilih gua Hira sebagai tempat bertahannus memiliki akar sejarah. Bukan sekedar pilihan begitu saja. Di dalam kitab Muqaddimah fi Tarikh al-Akhar yang ditulis oleh Sulaiman Bashir disebutkan, bahwa gua Hira adalah gua yang kerap dikunjungi atau tempat yang biasa diziarahi oleh umat-umat terdahulu untuk bertahannus (mengasingkan diri). Umumnya, masyarakat Quraisy bertahannus di bulan Ramadhan. 

Hal ini selaras dengan sejarah diturunkannya al-Qur’an pertama kali terjadi di bulan suci Ramadhan. Menurut Syeikh Muhammad Al-Ghazali, di gua Hira Muhammad bin Abdullah beribadah, menyucikan hati dan membersihkannya. Di saat sedang asyik beribadah kepada Allah, turunlah surat al-‘Alaq ayat 1-5. 1. bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah.Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam.Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Makna Ziarah ke Gua Hira

Bagi para jemaah haji, ziarah ke gua Hira bukan sekedar untuk melihat tempat Rasulullah SAW. bertahannus saja. Tapi, jadikanlah pedoman apa yang dilakukan Muhammad bin Abdullah saat sedang beribadah dan seperti apa perilakunya pasca turun wahyu pertama al-Qur’an. Bila Rasulullah SAW. ingin mendapatkan rezeki dan pengetahuan dengan cara bertahannus di gua hira. Tentu saja, Rasulullah sebelum bertahannus sudah bekerja dan meninggalkan bekal untuk isterinya, Khadijah. Maka, menjadi pelajaran bagi para jamaah haji ketika mengunjungi gua Hira menjadikan pelajaran, bila ingin mendapatkan rezeki dan pengetahuan lebih dari saat ini adalah, dengan cara mendekatkan diri kepada Allah SWT., namun tak melupakan bekerja secara fisik.

Pelajaran monotaisme atau mengesakan Allah SWT. adalah makna utama dari ziarah ke gua Hira. Mengakui bahwa hanya Allah SWT. Tuhan pemberi rezeki dan pengetahuan, sehingga tak mengherankan bila ayat pertama bicara tentang rezeki harus diawali dengan mengesakan Allah SWT. dan memiliki ilmu. Tanpa ada ilmu, proses pencarian rezeki bakal mengalami kesusahan. Namun memiliki ilmu tanpa pernah dekat dengan Allah SWT. pun bakal sulit mendapatkan rezeki dari Tuhan. Dekat dengan Allah dan memiliki ilmu adalah kunci utama mendapatkan rezeki dari Allah SWT. Inilah inti dasar dari makna ziarah ke Gua Hira. 

Satu lagi, pasca Rasulullah SAW. mendapatkan wahyu pertama yang berisi anjuran membaca, beliau menjadi pribadi yang santun, memikat dan elegan. Pasalnya, Rasulullah SAW. mengamalkan apa yang dianjurkan Allah SWT., yaitu membaca. Yang dibaca Rasulullah SAW. ada dua, yaitu al-Qur’an dan alam semesta yang disaksikannya. 

Tak mengherankan, saat Rasulullah SAW. menyampaikan pesan dakwah tauhid kepada khalayak Quraisy saat itu dilakukan dengan santun, meski beliau berkali-kali mendapatkan tekanan dan ancaman. Rasulullah SAW. sudah membaca apa yang bakal dialami dengan melihat dan memahami psikologis yang dimiliki oleh masyarakat Quraisy. Bukan tangung-tanggung, 13 tahun Rasulullah bersabar menghadapi masyarakat Quraisy dan istiqomah menyebarkan agama tauhid.Tak sekali pun Rasulullah SAW. melayani tekanan dan kecaman yang dilakukan oleh masyarakat Quraisy. Semua itu, hasil proses pembacaan Rasulullah SAW., baik dari wahyu Allah SWT maupun kehidupan masyarakat Quraisy saat itu.

Karena itu, ziarah ke gua Hira mestinya menjadi pelajaran juga bagi para jamaah haji atau jamaah umroh yang berkesempatan mengunjunginya. Dalam hidup ini dibutuhkan pembacaan, baik melalui Kalam Tuhan maupun alam. Dibutuhkan kesabaran yang tiada batas untuk meraih keberhasilan. Andai saja Rasulullah SAW. saat menyebarkan dakwah di Mekah tidak bersabar, tentu Islam tidak akan diklaim sebagai agama rahmatan lil ‘alamin. 

Apa yang dialami Rasulullah SAW. selama menyebarkan dakwah di Mekah meski penuh dengan tekanan dan ancaman namun tetap bersabar hingga Allah memerintahkannya hijrah (pindah) ke Madinah, barangkali mengilhami Syeikh Ahmad bin Muhammad ‘Athaillah menuliskan di dalam kitab Hikam, “Adalah termasuk orang bodoh, mereka meninggalkan apa yang sudah dimilikinya, karena hendak mencari yang baru dalam satu waktu, padahal Allah SWT telah memlih baginya pada waktu itu”. 

Bila dilihat dari sejarah, Rasulullah SAW. pindah (hijrah) dari Mekah bukan karena tidak menyukai tinggal di Mekah, tapi lantaran perintah Allah SWT. Hal ini dapat dipahami dari perkataan Rasulullah, “Demi Allah, Sesungguhnya engkau (Mekah) bumi Allah yang paling baik dan paling dicintai. Jikalau aku tidak dikeluarkan dari Mekah, niscaya aku tidak akan pernah keluar.” (HR. Tirmidzi).

Walhasil, bila ingin mendapatkan rezeki dan dekat dengan Allah, caranya adalah dengan mengasingkan diri. Namun mengasingkan diri di sini bukan mesti tinggal di hutan atau di bukit. Mengasingkan diri maksudnya adalah, lebih banyak mengingat Allah SWT. dan mengasingkan diri dari keinginan duniawi. Bukan sekedar lantunan zikir yang dimaksud dengan zikir, tapi juga pembacaan terhadap apa yang diberikan-Nya, baik melalui Al-Qur’an maupun alam semesta. 

Penulis adalah Anggota Komisi Informasi, Komunikasi dan Hubungan Luar Negeri MUI Kota Medan

()

Baca Juga

Rekomendasi