Medan, (Analisa). Banyak regulasi untuk membangun Pabrik Kelapa Sawit (PKS), salah satunya mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) RI nomor 98 tahun 2013. Yang intinya mengharuskan setiap pendirian PKS minimal memiliki produksi bahan baku 20 persen dari kebun sendiri. “Jika regulasi pasal 10 dan 11 Permentan itu tidak terpenuhi, maka Izin Usaha Perkebunan-Pengolahan (IUP-P) Kelapa Sawit tidak bisa dikeluarkan pemerintah,” ungkap Lawyer PT Lonsum, Boni Sianipar kepada Analisa di Medan, kemarin.
Menurutnya, sangat mengherankan Pemkab Langkat bisa mengeluarkan izin kepada PT Langkat Sawit Hijau Pratama (LSHP) di Dusun Perpulungan, Desa Simpang Pulau Rambong, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat. Saat kini, pembangunan PKS milik PT LSHP yang tidak punya kebun sendiri itu sudah mendekati tahap akhir. Menjadi pertanyaan bagi Boni Sianipar, dari mana PKS itu nantinya akan memasok bahan baku tandan buah segar (TBS) kelapa sawit yang akan diolah.
Semetara mereka sendiri tidak punya kebun pemasok bahan baku untuk PKS, yang direncanakan memiliki kapasitas olah sekitar 20 ton per jam. Secara rasio, untuk kapasitas PKS 20 ton per jam, minimal LSHP harus memiliki kebun kelapa sawit seluas 4 ribu hektar. “Luas kebun sawit milik warga stempat sangat terbatas, mau dari mana dipasok bahan baku?” imbuhnya.
Selama ini, hasil panen kelapa sawit warga sudah ditampung di empat PKS sekitar. Yakni PKS PT Ukindo, PKS Langkat Nusantara Kepong (LNK-patungan PTPN2 dengan Kepong Malaysia), PT Amal Tani, dan PT Raja Tengah. Rawan Kriminal Keberadaan PKS milik PT LSHP dikhawatirkan akan memicu kerawanan kriminalitas, terutama pencurian hasil produksi di tiga kebun milik PT Lonsum.
Yakni Kebun Turangie yang memiliki PKS Turagie Oil Mill, Pulau Rambong, dan Bungara. Terutama Kebun Pulau Rambong yang persis bersebelahan. “Kita sangat khawatir. Apalagi lokasi PKS itu berada di hulu (paling ujung) yang keberadaan kebun rakyatnya juga sangat terbatas. Bisa-bisa pencurian TBS akan semakin marak nantinya,” jelas Sianipar.
Tidak itu saja, PKS PT LSHP yang persis berada di bibir Sungai Kuala Nibung itu, juga dikhawatirkan limbahnya akan mencemari dan merusak ekosistem sungai. Padahal sungai itu selama ini digunakan sebagai sumber kehidupan warga setempat untuk MCK.
Selain tidak memiliki kebun sendiri dan ancaman kerusakan lingkungan, banyak regulasi lainnya yang dlanggar. Termasuk kajian terhadap dampak lingkungan AMDAL/UKL-UPL. Karena hingga proses pembangunan PKS itu hampir selesai, PT Lonsum sebagai perusahaan terdekat dari PKS itu belum pernah diajak berkoordinasi untuk persyaratan izin gangguan.
Ada aturan main dalam membangun PKS khsusnya menyangkut lingkungan hidup. Semestinya PKS LSHP memresentasikan kajian analisa dampak lingkungan kepada seluruh stakeholder, termasuk kepada PT Lonsum sebagai perkebunan yang persis di sebelahnya. Mencermati hal tersebut, Boni Sianipar mendesak pemkab setempat untuk bertindak tegas, dengan menghentikan pembangunan PKS itu. Sebab PT LSHP juga dinilai tidak beritikad baik, upaya negosiasi yang sebelumnya dilakukan, sampai sekarang tidak membuahkan hasil.
Renegosiasi Disinggung kemungkinan dilakukan renegosiasi, Sianipar mengatakan pihaknya memang masih menunggu jawaban dari PT LSHP. Pada pertemuan 21 Juni lalu di Medan, Direksi PT LSHP diwakili Sekteratis Direksi Utari Dewi Pane berjanji akan menyampaikan keberatan PT Lonsum kepada pimpinannya.
“Sampai sekarang tidak ada jawaban,” katanya. Saat pertemuan itu, PT Lonsum menyampaikan keberatan dan mendesak PT LSHP menghentikan proses pembangunan PKS-nya, atau setidaknya merelokasi PKS itu dari tempat yang bersebelahan dengan kebun Lonsum. Empat bulan berlalu tetap tidak ada jawaban, malah proses pembangunannya terus berlanjut. Secara terpisah Anggota DPRD Sumut, Satrya Yudha yang dihubungi Analisa, Selasa (21/10) mendesak Pemkab Langkat meninjau kembali perizinan PKS PT LSHP tersebut.
“Urgensinya apa? Kalau memang mengabaikan regulasi dan menimbulkan keresahan bagi perusahaan di sekitarnya, ya jangan dipaksanakan.” Pertumbuhan ekonomi di Sumut secara umum memang harus kita dukung, namun tidak berarti mengabaikan landasan ekonomi yang sudah terbangun dari perusahaan perkebunan yang memang sudah sehat sebelumnya. Apalagi kalau pendirian sebuah PKS tidak sesuai aturan yang ada. Masalah kelestarian lingkungan juga harus diperhatikan serius. “Kalau hulu sungai akhirnya akan tercemar, dipastikan akan menjadiancaman kesehatan kepada masyarakat. Ini menjadi persoalan serius yang harus segera ditangani,” tegasnya. (rio)