Hari Surat Internasional 9 Oktober

Evolusi Surat yang Mengubah Zaman

Oleh: Muhamad Gunari. Di zaman digital ketika manusia men­jadi pem-ber-hala gadget dengan ting­kat ketergantungan tinggi dan hampir separoh penduduk Bumi terkoneksi in­ternet, surat tradi­sio­nal berbubuh tanda ta­ngan menjadi ba­rang langka. Ke­ma­juan teknologi telah meng­geser format ko­munikasi jarak jauh lewat surat men­jadi format komunikasi digital dengan beragam pilihan.

Surat elektronik melalui e-mail pun sudah mulai ditingalkan. Untuk komuni­kasi pribadi, orang lebih memilih me­man­­faat­kan  ponsel pintar. Dalam pe­rang­kat canggih itu, berbagai fitur  laya­nan komunikasi tersedia, mulai dari so­sial media,  konten layanan pesan singkat, hingga layanan komunikasi audio visual yang bisa nampak gambar. Penerima surat (pesan) pun tidak perlu menunggu lama, bahkan kalau perlu bisa langsung mem­balasnya.

Jasa kurir pengantar surat digan­tikan perangkat yang ukurannya tidak lebih dari satu genggaman. Sudah langka kita dengar lon­ceng sepeda pengantar surat di depan ru­mah, menunggu salah seorang peng­hu­ninya membuka pintu. Layanan pos dan jasa kurir yang sekarang masih bisa kita lihat, antara lain kiriman paket barang, do­kumen dan uang (wesel). Untuk surat-su­rat pribadi, kartu ucapan dan kartu pos ber­perangko, sudah jarang kita temukan dibawa petugas pos.

Sebuah catatan yang mengutip keterangan pejabat PT Pos  Indonesia (Persero), surat berperangko kini hanya me­nyumbang  5,2 persen dari total pen­da­patan perusahaan itu. Surat dan logistik (ki­riman barang), menyumbang omzet ter­besar sekitar 52 persen dari total om­zet. Namun dari 52 persen tersebut, la­ya­nan surat berperangko hanya ber­kon­tri­busi 10 persen, atau hanya 5,2 persen.  

Data tersebut menegaskan, meng­ajak masyarakat kembali berminat dengan la­yanan surat berperangko, sangat sulit. Un­tunglah komunitas filatelis masih eksis, sehingga  menjadi harapan bahwa era perangko tetap ada.

Bergesernya format komunikasi dari surat tradisional ke surat digital, tidak hanya berdampak pada penurunan la­ya­nan pos di Indonesia, namun di ber­bagai belahan dunia.  Salah satunya di Selandia Baru. Akibat terus menurunnya layanan surat tradisional, Kantor Pos Se­landia Baru memecat 120 pe­ga­wainya. Layanan surat tradisional di ne­gara tersebut terus turun sekitar dela­pan persen per tahun. Penurunan pe­manfaatan komunikasi surat ber­pe­rangko merupakan fenomena global yang dihadapi operator pos di seluruh d­unia. Agar tetap bertahan, opera­tor pos ter­paksa melakukan pe­nyesuaian de­ngan melakukan inovasi pelayanan.

Mengubah Zaman

Sejarah surat menyurat di Indonesia sudah dimulai sebelum kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara (Indonesia), yaitu pada masa Kerajaan Kutai, Taru­ma­negara, Pajajaran, Majapahit, Sri­wi­jaya, dan Mataram. Hubungan ko­mu­nikasi yang terjalin pada masa kerajaan-ke­rajaan itu memang hanya terbatas pada hu­bungan antar raja saja.

Bentuknya masih sangat sederhana. Para raja itu menggunakan kulit kayu, potongan bambu, daun lontar, dan kulit binatang untuk berkirim surat/pesan. Setelah bangsa Eropa masuk ke kawasan Nusantara, kegiatan surat menyurat mulai meng­gunakan kertas. Pengantar surat ti­dak lagi dilaksanakan kurir pribadi. Me­reka mengenalkan kita dengan  jasa pe­ngiriman surat yang dinamakan kantor pos.

Dengan jasa kantor pos kegiatan surat menyurat semakin populer. Pertukaran informasi melalui komunikasi surat berkembang pesat. Surat tidak hanya sebagai komunikasi dagang, memberi kabar kondisi priba­di atau keluarga saja. Dengan jasa pos,  memungkinkan orang menyata­kan pendapat dan berdiskusi jarak jauh melalui korespondensi.

Korespondensi merupakan aktivi­tas bergengsi dan populer pada zamannya. Para intelektual melaku­kan kores­pon­densi dengan menuang­kan gagasan, ber­tukar pikiran dan berdiskusi jarak jauh me­lalui surat. Karena itulah, surat zaman dulu isinya panjang-panjang karena me­muat buah pikiran.

Surat-surat hasil korespondensi RA Kar­tini dengan sahabatnya di Belanda, berhasil merevolusi cara pandang terhadap kaum wanita Indonesia.  Kumpulan surat  yang memuat buah pikiran brilian tentang emansipasi wanita itu, kemudian di­terbitkan dalam bentuk buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”.    Lebih dari sekadar media komunikasi, ternyata surat meru­pakan karya in­te­lek­tual yang me­mung­kinkan menjadi media me­nawarkan konsep pem­baharuan za­man dan peradaban ma­nusia yang lebih ber­martabat.

Pada era 60-an, kabarnya sastrawan Sumatera Utara rajin berkorespon­densi dengan sastrawan Jakarta dan daerah lain­nya. Dalam korespondensi itu mereka me­lakukan diskusi dan berbagi pengeta­hu­an. Dari hasil diskusi itu berhasil di­lahir­kan pemikiran-pemikiran baru yang berkontribusi terhadap perkem­ba­ngan sastra Indonesia.

Evolusi

Sejarah mencatat, surat-surat yang memuat pemikiran cerdas dan ber­kon­tri­busi terhadap pembaharuan zaman, di­tulis ketika sarana komuni­kasi serba ter­batas. Agar surat bisa sampai pada pe­nerimanya, membu­tuh­kan waktu berhari-hari. Itu pun kalau kurir  tidak salah alamat.

Kini “kurir” informasi digantikan internet. Surat telah berevolusi dalam berbagai format menyesuaikan ragam layanan komunikasi berbasis internet. Media berkore­s­pondensi pun banyak pilihannya yang bisa dilakukan mela­lui grup-grup komunitas media sosial.

Di tengah kemudahan itu, justeru surat kehilangan harga. Tak ada emosi mendebarkan ketika menerima pe­san surat elektronik Media sosial, bila boleh kita ana­logikan sebagai wadah surat atau pesan terbuka, tidak lebih sekadar tempat menabur kelakar dan gosip ketimbang ‘korespondensi’ yang melahirkan gagasan-gagasan baru.

Memang dalam beberapa penge­cualian, media sosial berhasil menjadi media diskusi menuangkan gagasan maupun gerakan menggalang solidaritas untuk berbagai tujuan. Sebutlah gerakan kemanusiaan, petisi mencari keadilan dan solidaritas social lainnya. Namun eporia internet tak jarang melahirkan “kecelakaan” komunikasi akibat saat mengek­spresikan pikiran tidak melalui proses kesadaran mempertimbangkan berbagai aspek norma komunikasi.

“Kecelakaan” itu kemudian melahir­kan pro­tes, bahkan gugatan hukum dari pihak yang tidak se­nang karena tersakiti ‘kata-kata’ yang nyeplos di media sosial.  Sesuatu yang tidak akan terjadi ketika korespon­densi berlangsung melalui surat tradisional, dimana penu­lisnya menimbang dengan cermat tulisannya. Tak jarang kertas surat berulang-ulang diremas, lalu dibuang ke tong sampah.

Sebaliknya, komunikasi tertulis versi media sosial sangat spontan, bahkan, kadang-kadang tidak menimbang kesantunan umum. Padahal, media sosial pada ghalibnya merupakan ruang publik dengan norma-normanya. Ini karena media sosial rentan terhadap pemalsuan identitas akun sehingga menyulitkan korban kata-kata minta pertanggung­jawaban. Sesuatu yang tidak terjadi pada zaman surat tradisional, karena kalimat surat ditulis  se­penuh hati dengan pertanggungjawaban yang dibubuhkan tanda tangan. ***

Penulis peminat masalah sosial dan budaya.

()

Baca Juga

Rekomendasi