Oleh: Muhamad Gunari. Di zaman digital ketika manusia menjadi pem-ber-hala gadget dengan tingkat ketergantungan tinggi dan hampir separoh penduduk Bumi terkoneksi internet, surat tradisional berbubuh tanda tangan menjadi barang langka. Kemajuan teknologi telah menggeser format komunikasi jarak jauh lewat surat menjadi format komunikasi digital dengan beragam pilihan.
Surat elektronik melalui e-mail pun sudah mulai ditingalkan. Untuk komunikasi pribadi, orang lebih memilih memanfaatkan ponsel pintar. Dalam perangkat canggih itu, berbagai fitur layanan komunikasi tersedia, mulai dari sosial media, konten layanan pesan singkat, hingga layanan komunikasi audio visual yang bisa nampak gambar. Penerima surat (pesan) pun tidak perlu menunggu lama, bahkan kalau perlu bisa langsung membalasnya.
Jasa kurir pengantar surat digantikan perangkat yang ukurannya tidak lebih dari satu genggaman. Sudah langka kita dengar lonceng sepeda pengantar surat di depan rumah, menunggu salah seorang penghuninya membuka pintu. Layanan pos dan jasa kurir yang sekarang masih bisa kita lihat, antara lain kiriman paket barang, dokumen dan uang (wesel). Untuk surat-surat pribadi, kartu ucapan dan kartu pos berperangko, sudah jarang kita temukan dibawa petugas pos.
Sebuah catatan yang mengutip keterangan pejabat PT Pos Indonesia (Persero), surat berperangko kini hanya menyumbang 5,2 persen dari total pendapatan perusahaan itu. Surat dan logistik (kiriman barang), menyumbang omzet terbesar sekitar 52 persen dari total omzet. Namun dari 52 persen tersebut, layanan surat berperangko hanya berkontribusi 10 persen, atau hanya 5,2 persen.
Data tersebut menegaskan, mengajak masyarakat kembali berminat dengan layanan surat berperangko, sangat sulit. Untunglah komunitas filatelis masih eksis, sehingga menjadi harapan bahwa era perangko tetap ada.
Bergesernya format komunikasi dari surat tradisional ke surat digital, tidak hanya berdampak pada penurunan layanan pos di Indonesia, namun di berbagai belahan dunia. Salah satunya di Selandia Baru. Akibat terus menurunnya layanan surat tradisional, Kantor Pos Selandia Baru memecat 120 pegawainya. Layanan surat tradisional di negara tersebut terus turun sekitar delapan persen per tahun. Penurunan pemanfaatan komunikasi surat berperangko merupakan fenomena global yang dihadapi operator pos di seluruh dunia. Agar tetap bertahan, operator pos terpaksa melakukan penyesuaian dengan melakukan inovasi pelayanan.
Mengubah Zaman
Sejarah surat menyurat di Indonesia sudah dimulai sebelum kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara (Indonesia), yaitu pada masa Kerajaan Kutai, Tarumanegara, Pajajaran, Majapahit, Sriwijaya, dan Mataram. Hubungan komunikasi yang terjalin pada masa kerajaan-kerajaan itu memang hanya terbatas pada hubungan antar raja saja.
Bentuknya masih sangat sederhana. Para raja itu menggunakan kulit kayu, potongan bambu, daun lontar, dan kulit binatang untuk berkirim surat/pesan. Setelah bangsa Eropa masuk ke kawasan Nusantara, kegiatan surat menyurat mulai menggunakan kertas. Pengantar surat tidak lagi dilaksanakan kurir pribadi. Mereka mengenalkan kita dengan jasa pengiriman surat yang dinamakan kantor pos.
Dengan jasa kantor pos kegiatan surat menyurat semakin populer. Pertukaran informasi melalui komunikasi surat berkembang pesat. Surat tidak hanya sebagai komunikasi dagang, memberi kabar kondisi pribadi atau keluarga saja. Dengan jasa pos, memungkinkan orang menyatakan pendapat dan berdiskusi jarak jauh melalui korespondensi.
Korespondensi merupakan aktivitas bergengsi dan populer pada zamannya. Para intelektual melakukan korespondensi dengan menuangkan gagasan, bertukar pikiran dan berdiskusi jarak jauh melalui surat. Karena itulah, surat zaman dulu isinya panjang-panjang karena memuat buah pikiran.
Surat-surat hasil korespondensi RA Kartini dengan sahabatnya di Belanda, berhasil merevolusi cara pandang terhadap kaum wanita Indonesia. Kumpulan surat yang memuat buah pikiran brilian tentang emansipasi wanita itu, kemudian diterbitkan dalam bentuk buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Lebih dari sekadar media komunikasi, ternyata surat merupakan karya intelektual yang memungkinkan menjadi media menawarkan konsep pembaharuan zaman dan peradaban manusia yang lebih bermartabat.
Pada era 60-an, kabarnya sastrawan Sumatera Utara rajin berkorespondensi dengan sastrawan Jakarta dan daerah lainnya. Dalam korespondensi itu mereka melakukan diskusi dan berbagi pengetahuan. Dari hasil diskusi itu berhasil dilahirkan pemikiran-pemikiran baru yang berkontribusi terhadap perkembangan sastra Indonesia.
Evolusi
Sejarah mencatat, surat-surat yang memuat pemikiran cerdas dan berkontribusi terhadap pembaharuan zaman, ditulis ketika sarana komunikasi serba terbatas. Agar surat bisa sampai pada penerimanya, membutuhkan waktu berhari-hari. Itu pun kalau kurir tidak salah alamat.
Kini “kurir” informasi digantikan internet. Surat telah berevolusi dalam berbagai format menyesuaikan ragam layanan komunikasi berbasis internet. Media berkorespondensi pun banyak pilihannya yang bisa dilakukan melalui grup-grup komunitas media sosial.
Di tengah kemudahan itu, justeru surat kehilangan harga. Tak ada emosi mendebarkan ketika menerima pesan surat elektronik Media sosial, bila boleh kita analogikan sebagai wadah surat atau pesan terbuka, tidak lebih sekadar tempat menabur kelakar dan gosip ketimbang ‘korespondensi’ yang melahirkan gagasan-gagasan baru.
Memang dalam beberapa pengecualian, media sosial berhasil menjadi media diskusi menuangkan gagasan maupun gerakan menggalang solidaritas untuk berbagai tujuan. Sebutlah gerakan kemanusiaan, petisi mencari keadilan dan solidaritas social lainnya. Namun eporia internet tak jarang melahirkan “kecelakaan” komunikasi akibat saat mengekspresikan pikiran tidak melalui proses kesadaran mempertimbangkan berbagai aspek norma komunikasi.
“Kecelakaan” itu kemudian melahirkan protes, bahkan gugatan hukum dari pihak yang tidak senang karena tersakiti ‘kata-kata’ yang nyeplos di media sosial. Sesuatu yang tidak akan terjadi ketika korespondensi berlangsung melalui surat tradisional, dimana penulisnya menimbang dengan cermat tulisannya. Tak jarang kertas surat berulang-ulang diremas, lalu dibuang ke tong sampah.
Sebaliknya, komunikasi tertulis versi media sosial sangat spontan, bahkan, kadang-kadang tidak menimbang kesantunan umum. Padahal, media sosial pada ghalibnya merupakan ruang publik dengan norma-normanya. Ini karena media sosial rentan terhadap pemalsuan identitas akun sehingga menyulitkan korban kata-kata minta pertanggungjawaban. Sesuatu yang tidak terjadi pada zaman surat tradisional, karena kalimat surat ditulis sepenuh hati dengan pertanggungjawaban yang dibubuhkan tanda tangan. ***
Penulis peminat masalah sosial dan budaya.